Tata Kelola Korporasi BUMN Rapuh, Tersandera Praktik Rasuwah
Merebaknya kasus korupsi di lingkungan perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cukup disayangkan. Pencegahan terhadap praktik rasuwah ini, ternyata mengalami kegagalan.
Dengan terseretnya sejumlah direktur, bahkan direktur utama, menunjukkan tata kelola korporasi semua BUMN perlu diperbaki.
"Kami selalu beharap di BUMN itu tata lelolanya diperbaiki, mereka harus jadi contoh pelaksanaan tata kelola korporasi yang baik, harusnya itu mereka jadi contoh," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif.
Sayangnya, meksi demikian, harapan itu kerap tidak terpenuhi ketika sejumlah pejabat di beberapa BUMN terjerat kasus dugaan korupsi.
"Itu yang kami sesalkan. Apa yang ditulis di kertas selalu dengan apa yang dilakukan itu kadang berbeda. Itu yang kita sesalkan. Kita sudah lakukan upaya pencegahan tetapi tetap juga ada itu terjadi," ucap dia.
KPK, kata Laode, sudah beberapa kali menggelar sosialisasi program pencegahan korupsi terhadap korporasi. Selain itu, KPK sudah menerbitkan dan mendistribusikan buku panduan pencegahan korupsi ke berbagai korporasi.
"Buku panduan pencegahan di korporasi itu kan bisa diikuti. Sebagain besar perusahaan juga sudah adopsi misalnya ISO nomor berapa itu, tentang larangan suap menyuap," kata Laode, dikutip ngopibareng.id, Rabu, 4 September.
Seperti diketahui, Operasi tangkap tangan ( OTT) dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin 2 September dan Selasa 3 September, berhasil membogkar dugaan kasus korupsi terkait pejabat badan usaha milik negara.
Akhirnya, KPK menetapkan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (PT PN III) Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PT PN III I Kadek Kertha Laksana sebagai tersangka kasus suap terkait distribusi gula.
KPK juga menetapkan pemilik PT Fajar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi sebagai tersangka. Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan pada hari tersebut.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers, Selasa 3 September malam.
Dalam kasus ini, Dolly diduga menerima fee 345.000 dollar Singapura dari Pieko terkait dengan distribusi gula yang menjadi lingkup pekerjaan PT PN III. Laode mengatakan, pada awal tahun 2019, perusahaan Pieko ditunjuk menjadi pihak swasta dalam skema long term contract dengan PTPN III.
Dalam kontrak ini, perusahaan Pieko mendapat kuota untuk mengimpor gula secara rutin setiap bulan selama kontrak tersebut. "Di PTPN III terdapat aturan internal mengenai kajian penetapan harga gula bulanan.
Pada penetapan harga gula tersebut disepakati oleh tiga komponen yaitu PTPN III, PNO (Pieko), dan seorang berinisial ASB selaku Ketua Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia," kata Laode.
Pada 31 Agustus 2019, Pieko, Dolly (DPU), dan ASB bertemu di Hotel Shangrila. Dalam pertemuan itu, diduga Dolly meminta uang ke Pieko untuk menyelesaikan urusan pribadinya.
"Terdapat permintaan DPU ke PNO karena DPU membutuhkan uang terkait persoalan pribadinya untuk menyelesaikannya melalui ASB," kata Laode.
Menindaklanjuti pertemuan tersebut, Dolly meminta Direktur Pemasaran PT PN III I Kadek Kertha Laksana menemui Pieko guna mengurus permintaan uang itu. Uang 345.000 dollar Singapura itu diantar ke kantor PT PN III dan diserahkan ke Kadek.
Kronologi OTT
Informasi dugaan permintaan uang dari Dolly kepada Pieko rupanya diketahui oleh KPK dan menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menggelar operasi tangkap tangan padaaa Senin lalu.
Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK mengamankan lima orang yaitu Kadek, pengelola money changer bernama Freddy Tandou, dan orang kepercayaan pemilik PT Fajar Mulia Transindo Pieko Njoto Setiadi bernama Ramlin.
Kemudian, Direktur Utama PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara Edward S Ginting dan pegawainya bernama Corry Luca.
Pada Senin 2 September 2019, Pieko diduga meminta Freddy mencairkan sejumlah uang yang rencananya diberikan kepada Dolly.
"PNO kemudian memerintahkan RM (Ramlin) untuk mengambil uang dari kantor money changer FT (Freddy) dan menyerahkan kepada CLU (Corry) pukul 17.00 WIB di Kantor PT PN di Kuningan, Jakarta.
CLU mengantarkan uang sejumlah 345.000 dollar Singapura ke IKL (Kadek)," kata Laode.
Pada pukul 20.00 WIB, tim KPK mengamankan Corry di rumahnya. Lalu, pukul 20.30 WIB, tim KPK mengamankan Ramlin di kantornya.
"Tim kemudian bergerak ke kantor IKL dan mengamankan IKL dan EG (Edward) di Jakarta pukul 21.00 WIB. FT kemudian diamankan di kantornya pukul 09.00 pagi, Selasa 3 September 2019," ujar Laode.
KPK menetapkan Dolly dan Kadek sebagai tersangka terduga penerima suap, sedangkan Pieko ditetapkan sebagai tersangka terduga pemberi suap. Pieko disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Atas perbuatannya, Dolly dan Kadek disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Advertisement