Tasawuf Modern
Ketika berbicara Ilmu Tasawuf banyak orang salah faham mengira Tasawuf adalah hanya sejenis ilmu tirakatan, ilmu hikmah kesaktian kejadugan atau menyendiri dari kontestasi kehidupan. Padahal sesungguhnya ilmu Tasawuf adalah ilmu untuk mengkaji segala usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah , menjernih akhlak, membersihkan diri dari sifat tercela dan menggantikan dengan akhlaq mulia, dengan mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik sifat yang buruk maupun yang terpuji. Syaikh Abdush Shamad Al Falimbani menyatakan dalam bukunya Sayr As-Salikin ila Rabb Al-Alamin “ tujuan akhir tasawuf adalah memberi kebahagiaan kepada manusia, baik dunia maupun akhirat dengan puncaknya menemui dan melihat Tuhannya”.
Secara sederhana, Tasawwuf adalah ilmu untuk menyucikan jiwa dengan melakukan serangkaian latihan dalam kesungguhan (riyadlah-mujahadah) dalam membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan latihan itu segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ajaran agama Islam dibangun atas tiga hal penting yaitu : islam , iman dan ihsan. Seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadist riwayat Sayyidina Umar RA., “ Ihsan adalah engkau menyembah Allah seperti melihatnya. Apabila engkau tidak mampu melihatnya, sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Muslim). Artinya Iman melahirkan ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka Ihsan melahirkan ilmu akhlak atau tasawuf.
Imam Al-Junaid Al-Baghdadi membagi definisi tasawwuf ke dalam empat bagian yaitu ;
Tasawwuf adalah mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
Tasawwuf adalah melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
Tasawwuf adalah melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.
Tasawwuf adalah merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh siapapun kecuali Allah SWT.
Dari penjelasan tersebut artinya Imam Junaid Al-Baghdadi mewajibkan adanya keterkaitan antara syari’at dan hakekat yang dilandasi dengan ajaran-ajaran dari Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan Imam Nawawi menyatakan bahwa pokok jalan tasawwuf ada lima hal :
Takwa pada Allah dalam keadaan sendiri / rahasia atau terang - terangan
mengikuti sunnah dalam ucapan dan perbuatan
berpaling dari makhluk sama sekali
rela pada pemberian Allah dalam sedikit atau banyak
Kembali pada Allah di kala senang dan susah.
Imam Zakariya Al-Anshari dalam Risalah Al-Qusyairiyah juga memberikan definisi Tasawuf kurang lebih sama dengan Imam Nawawi yaitu : Tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui keadaan penyucian hati dan pembersihan akhlak dan membangun diri lahir dan batin untuk memcapai kebahagiaan abadi.
Menurut Imam Ghazali hukum belajar ilmu tasawuf adalah wajib bagi setiap insan, kerena tiada seorangpun yang bebas dari segala aib dan penyakit hati kecuali para nabi. Dan Imam Makruf Al Karkhi berkata; “ Barang siapa tidak belajar ilmu tasawuf dalam hidupnya maka ia akan mati dalam keadaan selalu menetapi melakukan dosa besar namun dia tidak mengetahui ”.
Ilmu Tasawwuf di era modern saat ini menjadi sesuatu yang penting, karena keruwetan problem permasalahan hidup sekarang ini bisa membuat orang menjadi sering putus asa jika hanya mengandalkan akal saja. Hanya dengan kekuatan batin seseorang yang dapat bertahan dalam situasi yang rumit. Oleh karena itu tasawuf modern sebagai sarana pembelajaran kekuatan rohani mulai dilirik orang untuk dipelajari, karena hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah islam.
Dalam kehidupan modern saat ini, tasawuf diyakini mampu menjadi obat untuk mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal siapa lagi dirinya, arti dan tujuan hidupnya. Dikarenakan tidak tahu atas makna dan tujuan hidup ini membuat banyak penderitaan batin, disinilah diperlukan spiritual islam agar ladang kering rohani menjadi tersirami air sejuk dan mendapat penyegaran serta mengarahkan hidup agar menjadi lebih baik dan jelas arah tujuannya.
Relevansi Tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena Tasawuf secara seimbang akan memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Tasawuf juga menghendaki pelaksanaan syari’at, sebab Tasawuf dan syariat tidak bisa di pisahkan satu sama lain, apalagi di pertentangkan. Tasawuf merupakan aspek esoteris (batiniyah) sedangkan syariat adalah aspek eksoteris (lahiriyah) Islam. Kedua aspek itu saling terintregasi.
Sejauh ini, kita memahami bahwa tasawuf sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui tahapan jenis ritme ibadah seperti taubat, zikir, ikhlas, zuhud dan lain-lain. Tasawuf semakin dicari orang di zaman modern untuk mewujudkan ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia ditengah orkestrasi kehidupan duniawi yang tak memiliki arah dan tujuan pasti. Ilmu Tasawuf dalam hidup kita saat menjadi sangat penting, karena menjadi fondasi dasar dalam upaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Lantas bagaimana meraih pribadi sufi yang hidup di era modern ini. Untuk menempuh jalan sufi seseorang harus melewati beberapa tahapan agar tetap berada di jalan yang benar, beberapa orang tidak melewati tahapan yang benar sehinggga tersesat dalam lelaku tanpa guru yang justru membahayakan diantara tahapan yang secara urut harus dilalui adalah ;
Syari’at
Secara umum, syari’at merupakan hukum (segala ketentuan yang ditetapkan Allah SWT) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat muslim di dunia, mulai dari urusan hubungan antar manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia (Habuminallah Habuminannas). ilmu syariat adalah kunci untuk menyelesaikan masalah kehidupan baik dunia dan akhirat, meliputi segala aspek ibadah mulai dari rukun dan syaratnya, urusan halal-haram, perintah dan larangan Allah dan sebagainya sesuai tuntunan Al-Quran dan As-Sunnah.
Ilmu syaria’t berhubungan dengan amalan lahiriah tentang tata cara beribadah yang baik dan benar serta aturan urusan muamalat mengenai hubungan antara manusia dengan manusia sebelum menyentuh aspek batiniah. Para sufi berkeyakinan ilmu batin tidak akan bisa diperoleh bila seseorang tidak melakukan amalan lahiriah syariah secara sempurna. Oleh karena itu sangat penting sebagai dasar hidup seorang memahami ilmu syariat islam.
Thariqat
Dalam ajaran tasawuf, thariqat berarti jalan memperbanyak ibadah sunnah yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai tujuan sedekat mungkin dengan Allah SWT, dengan menerapkan hidup secara wirai yaitu; penuh kehati-hatian dalam hidup di setiap saat dan menjalankan riyadloh dzikir dan wirid sesuai pengarahan para guru untuk memperbaiki moral dan jiwa, dimulai dengan kemauan bertaubat dari semua dosa .
Thariqat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Jadi jalan utamanya adalah Syari’at, sedangkan anak jalan disebut thariq. Sehingga dapat disimpulkan untuk menuju Thariq, seseorang harus melewati syari’at. Maksudnya, sebelum mempelajari thariqat para sufi wajib memahami syariat terlebih dahulu, sebab syariat adalah pangkal dari suatu ibadah.
Hakikat
Tingkatan hakikat merupakan puncak dari perjalanan seorang salik mencapai tujuan sejati mengenal Allah SWT, pada puncaknya disebut tajalli dimana telah dibukakan di hatinya semua cahaya alam ghaib, mengenal Allah dengan sesungguhnya adalah pencapaian paling dalam dan merupakan akhir perjalanan yang ditempuh oleh para sufi. Ini kemudian dikenal dengan tingkatan Makrifat.
Dalam kitab Kifayatul Atqiya disebutkan;
فَشَرِيٍعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيٍقَةٌ # كَالبَحْرِ ثُمَّ حَقِيْقَةٌ دُرّ غَلَا
“Syari’at itu seperti perahu, Thariqat itu seperti laut lalu Haqiqat itu mutiara yang berharga”
Para Ulama’ shufiyyah mengumpamakan tiga pilar tasawuf itu bagaikan orang mencari mutiara yang sangat berharga. Syari’at bagaikan perahu, karena dengan perahulah orang bisa melewati laut untuk mencapai titik keberadaan mutiara, Lalu Thariqat itu dibagaikan lautan yang di dalamnya terdapat mutiara, untuk bisa mencapai tujuannya seseorang harus menyelami ke dalam lautan untuk memperoleh mutiaranya, mutiara itulah perumpamaan Haqiqat yang menjadi tujuan kita.
Apabila diibaratkan dengan menanam pohon, pertama kita harus menanam biji benih (syariat). Kemudian kita terus menyirami hingga pohon bercabang dan tumbuh dedaunan serta buah (pada saat ini kita mencapai tahap thariqat). Terakhir, kita harus merawat pohon tersebut agar diperoleh buah yang ranum (inilah yang diartikan hakikat, suatu perjalanan akhir). Intinya, hakikat tidak bisa dilepaskan dari syariat dan thariqat.
Bertasawuf di zaman modern sekarang ini hendaknya lebih menekankan kepada sikap ihsan, baik itu ihsan kepada Allah maupun ihsan terhadap sesama manusia secara seimbang, karena dengan sikap ihsan ini akan tercapailah kebahagiaan didunia dan akhirat yang merupakan tujuan utama dari tasawuf di era modern. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist tentang kisah sahabat Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus-menerus tidak pernah berbuka dan sepanjang malam ia beribadah, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi SAW menegurnya dengan sabdanya;
“Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.”
Keseimbangan hidup ini diajarkan oleh Rasulullah SAW , pada zaman dahulu sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasulullah mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka para istri Rasulullah menjawab , “Kami amat jauh daripada Nabi saw. Ibadah beliau sangat luar biasa meski dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya.”
Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan beribadat sepanjang malam”. Lalu yang lainnya mengatakan, ” Aku akan berpuasa selamanya. Sedang yang lainnya mengatakan, “Aku tidak akan menikah”. Ketika ucapan para sahabat itu terdengar oleh Rasulullah SAW, mereka dipanggil dan Rasulullah SAW berkata di hadapan mereka. Sabda beliau;
“Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu tentang Taqwa kepada Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu, akan tetapi aku kadang bangun melakukan shalat juga tidur, berpuasa dan berbuka, dan aku menikah dengan perempuan-perempuan, semua itu adalah sunnah. Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku.”
*)Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi, Penulis adalah pengasuh pondok pesantren Annur Bululawang Malang dan Wakil Ketua PWNU Jatim.