Tasawuf Melawan Penggelembungan Ego (2)
Intelektual Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla, selalu aktif menyebarkan dakwahnya. Lewat Ngaji Kitab Ihya Ulumuddin melalui media sosial, juga pengajian langsung di tengah masyarakat. Ngaji Kopdar.
Gus Ulil, panggilan akrab menantu Gus Mus ini, menulis hal ihwal dunia tasawuf. "Al-Zuhdu fi al-Zuhdi:Kritik atas budaya narsisisme", cukup menjadikan renungan bagi kita bersama.
Berikut renungan Gus Ulil Abshar Abdalla bagian kedua, lanjutan:
Kemampuan menundukkan syahwat pun terdiri dari dua level. Level pertama ialah menundukkan syahwat itu sendiri -- misalnya syahwat untuk mengkonsumsi makanan tertentu yang menjadi kesenangan orang bersangkutan. Level kedua adalah kemampuan mengendalikan syahwat untuk tampak “saleh” di mata orang lain karena ia telah mampu mengendalikan syahwat yang pertama tersebut. Inilah yang disebut oleh al-Ghazali sebagai al-zuhdu fi al-zuhdi. Dengan kata lain, zuhud pun harus di-zuhud-i.
Berbuat baik saja belum cukup, dalam konteks “latihan rohani”. Tantangan berikutnya, setelah seseorang mampu berbuat baik, adalah mengendalikan hasrat yang kuat (dan sangat alamiah) pada dirinya agar kebaikan itu diketahui oleh khalayak ramai. Saat gagal mengatasi jebakan dan hasrat ini, ia akan terjatuh pada apa yang disebut sebagai riya’, pamer. Dalam konteks ajaran rohani, pamer disebut sebagai “syirik yang samar”, al-syirk al-khafi. Ia bisa destruktif terhadap kehidupan rohani.
Seseorang yang mampu menjalani ajaran “zuhud atas zuhud” ini, oleh al-Ghazali, disebut sebagai mereka yang telah mencapai derajat “al-shiddiqun”, orang-orang yang mampu jujur pada diri sendiri. Orang-orang yang hanya tampak saleh dalam keramaian, tetapi kembali menjadi “orang biasa” yang bertindak buruk di saat tak ada orang lain, mereka telah melakukan kebohongan dua kali; bohong kuadrat.
Tasawwuf mengajarkan kepada kita cara-pandang alternatif yang melawan arus umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ketika arus umum mendorong orang-orang untuk berlomba memasarkan kebaikan-kebaikan secara terang-terangan di muka umum, dan kemudian meng-kapitalisasi atau mencari untung atas kebaikan itu, tassawwuf mengajarkan hal yang sebaliknya: kalau perlu kita malah harus tampak jelek di mata orang lain.
Oleh tasawuf, kita diajak justru untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikan itu. Malahan, kita didorong untuk “al-zuhdu fi al-zuhdi”, menjauhi hasrat ingin tampil dan dikesankan baik oleh khalayak. Kita boleh menyebut ajaran tasawwuf ini sebagai semacam “budaya tanding” (terjemahan yang pernah dipakai oleh Mochtar Pabottingi untuk istilah “counter culture”).
Dengan kata lain, salah satu “jalan rohani” yang diajarkan oleh tasawwuf adalah melawan dorongan narsisisme, dorongan pamer, dorongan tampil cantik dan keren di mata umum. Sebab, pada momen ketika kita dipandang “keren” oleh publik, di sanalah ada jebakan lain: ego kita menggelembung, kebanggaan kita mengembang, kesombongan kita pelan-pelan bersemi.
Tasawwuf melatih kita untuk melawan penggelembungan ego yang bisa berdampak destruktif secara rohani.[]
#Oleh2NgajiIhya’ episode ke-178