Tasawuf Melawan Penggelembungan Ego (1)
Intelektual Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla, selalu aktif menyebarkan dakwahnya. Lewat Ngaji Kitab Ihya Ulumuddin melalui media sosial, juga pengajian langsung di tengah masyarakat. Ngaji Kopdar.
Gus Ulil, panggilan akrab menantu Gus Mus ini, menulis hal ihwal dunia tasawuf. "Al-Zuhdu fi al-Zuhdi:Kritik atas budaya narsisisme", cukup menjadikan renungan bagi kita bersama.
Berikut renungan Gus Ulil Abshar Abdalla bagian pertama:
Salah satu oleh-oleh yang bisa dibawa pulang dari Ngaji Ihya’ online semalam (Kamis, 12/3/2020) adalah ajaran Imam al-Ghazali mengenai “al-zuhdu fi al-zuhdi” yang saya terjemahkan secara gampangan saja sebagai: men-zuhud-i zuhud. Yang dimaksud dengan ajaran ini adalah kemampuan untuk tak menampakkan dan memamerkan tindakan baik kita kepada khalayak ramai.
Tindakan zuhud (yaitu mengendalikan diri agar tak dikuasai oleh dunia) adalah baik. Tetapi, jika tindakan baik ini dipamer-pamerkan, ditonjol-tonjolkan kepada orang lain, ia berubah menjadi “bencana rohani” bagi orang bersangkutan. Karena itulah tindakan zuhud ini harus di-zuhud-i pula, dengan cara tak memamerkannya kepada orang lain. Itulah pengertian al-zuhdu fi al-zuhdi.
Salah satu ciri utama yang menengarai zaman digital atau media sosial saat ini adalah kuatnya dorongan dan tekanan dari kiri-kanan untuk tampak “cool”, keren di mata orang lain. Inilah kecenderungan yang boleh disebut sebagai “gejala narsisisme” -- memamerkan apapun (tentu saja yang baik dan “pamerable”, layak dipamerkan) kepada orang lain.
Sisi lain dari kultur narsisisme ini adalah kecenderungan untuk menyimpan rapat-rapat kekurangan dalam diri kita dari publik, agar tidak mengganggu citra kita yang “kinclong” itu di mata mereka. Nyaris setiap orang, dalam ruang digital saat ini, seolah-olah bertindak sebagai “salesman”, orang yang memasarkan diri agar “laku jual” di mata orang lain.
Dalam kultur semacam ini, segala kebaikan yang kita lakukan berubah menjadi semacam “komoditi” yang bisa dipertukarkan dengan “komoditi” yang lain -- yaitu pujian, tepuk-tangan, decak-kagum dan (dalam konteks dunia facebook) tanda “like”.
Kecenderungan semacam ini tentu saja merupakan hal yang alamiah dan normal dalam kehidupan sehari-hari; bahkan “sangat normal” dalam kehidupan manusia pada umumnya, baik di era digital atau pra-digital. Dorongan untuk “showing off”, memamerkan kebaikan diri jelas sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Tetapi, kecenderungan ini bukanlah hal yang normal dan dianjurkan dalam konteks kehidupan rohani. Seseorang yang hendak menaikkan kualitas dan maqam rohaninya, harus mampu melawan kecenderungan-kecenderungan alamiah seperti itu.
Jika ia mengikuti saja, dan hanyut dalam dorongan-dorongan alamiah tersebut, ia, dalam kaca-mata ilmu tasawwuf, masuk dalam kategori “orang pada umumnya”, al-’awamm. Jika orang itu hendak meningkat dan masuk dalam golongan “orang-orang yang spesial dan dekat kepada Tuhan”, “al-khawass”, maka tak ada cara lain kecuali melawan kecenderungan-kecenderungan itu -- apa yang oleh Imam Ghazali disebut sebagai “kasr al-syahawat”, menundukkan syahwat. (bersambung)