Tasawuf, Keberagamaan Sufistik Memahami Pengalaman Mistik
Melihat perkembangan Islam di Indonesia dua puluh lima tahun belakangan, salah satu pertanda paling menyolok adalah perhatian pada tasawuf. Di samping itu, segi sosial-politik Islam yang seringkali muncul secara kontroversial.
Bila kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan mendapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik.
Media massa sering memberitakan laporan yang “unik” mengenai kajian-kajian tasawuf itu. Misalnya kita lihat ada kursus “Sufi Dancing”, ada “spiritual gathering” mengenai masalah kematian dan alam kerohanian. Ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan. Di satu stasiun TV bahkan muncul acara dengan rubrik tasawuf. Walhasil, tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif fenomena keagamaan dewasa ini.
Untuk itu, perlu kiranya kira memahami keberagamaan sufistik, sebagai pengalaman mistik dalam dunia tasawuf. Seyyed Hossein Nasr, dalam kitabnya, The Garden of Truth, The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, memberi gambaran dan penjelasan soal tasawuf.
Tasawuf adalah segi batin dari agama. Segi lahirnya biasanya disebut syari'ah, yang terutama berisi hukum-hukum keagamaan formal (fikih), yaitu mengenai apa yang seorang beragama harus lakukan, dan apa yang dilarang. Tasawuf di samping memberi segi batin dari aspek formal keagamaan itu, juga memberi visi mengenai arti hidup beragama.
Ibn al-Arabi seorang filsuf mistik paling terkemuka, membagi empat tingkat praktik dalam memahami tasawuf, yaitu:
- Syari'ah (segi esoterik hukum-hukum agama);
- Thariqah (tarekat, sebagai jalan mistik);
- Haqiqah (hakikat, mengenai kebenaran); dan
- Ma'rifah (makrifat atau gnosis, yaitu pengalaman kesatuan dengan Yang Ilahi).
Keempat tingkat itu dirumuskan: pada tingkat hukum (syari'ah) ada kesadaran "milikmu dan milikku", ketika hukum-hukum agama akan mengatur hak dan kewajiban antarpribadi. Seperti penataan hubungan di antara orang-orang. Dalam tingkat jalan Sufi (thariqah), rumusannya menjadi "milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikku".
Karena itu para Sufi diajarkan mengenal sesama Sufi sebagai saudara, untuk membuka diri masing-masing, membuka hati, termasuk derma untuk sesama dan perkembangan Sufi.
Pada tingkat kebenaran (haqiqah), ada pengalaman baru "tidak ada milikku, dan tidak ada milikmu". Pada tingkat ini ada minimalisasi atas egosentrisme, dan mereka "dari luar masuk ke dalam” mencari pengalaman batiniah yang paling asli (fitrah, primordial). Dan, yang keempat adalah pada tingkat gnosis (ma'rifah) dimana yang ada "tak ada saya, dan tak ada Anda", yang ada hanya Allah.
Seorang Sufi akan merealisasi pengalaman bahwa yang ada seluruhnya adalah Allah, dan tidak ada satu pun yang terpisah dari Allah: Sebuah pengalaman mistik yang sekarang sering disebut "panteisme”, yang populer dalam tasawuf dengan “wahdat al-wujud” (kesatuan keberadaan).
Keempat tingkat ini adalah perjalanan, dan menjadi tujuan Sufisme, dimana pengalaman sebelumnya mendasari pengalaman selanjutnya.
Maka tidak heran dalam keberagamaan tasawuf ini, pengertian yang mendalam mengenai "jalan hati" (“the path of heart”), yang tidak lain adalah "jalan kepada cinta, “the path to love” mendapat perhatian, sehingga segi-segi psikologi-spiritual menjadi begitu penting dalam jalan ini, khususnya dalam mencapai tingkat kedirian (“nafs”) yang dari sini kita bisa sampai pada pengalaman kesatuan dengan yang Ilahi itu (yang disebut “ihsan”, yaitu "seolah-olah kita melihat Tuhan, kalaupun tidak, kita tahu bahwa Tuhan melihat kita").
Tujuan jalan hati dan cinta adalah untuk mencapai "gunung dari cahaya gnosis dalam hati yang terdalam". Sabistari, seorang penyair Sufi mengatakan, "Kalau kita bisa membelah setetes air (memasuki hati kita), kita akan mendapatkan tujuh samudera (pengalaman menyatu dengan Yang Ilahi).
Cahaya gnosis itu ada dalam hati manusia, yang hanya bisa didapat lewat perjalanan hati dan cinta. Lewat jalan hati dan cinta ini manusia pun menemukan kembali Dirinya yang Sejati. Kerinduan pada Diri yang Sejati ini (jiwa yang penuh ketenangan, “al-nafs al-muthmainnah”) menjadi cita-cita kaum Sufi.