Tarekat Tijaniyah, Pandangan Habib Luthfi bin Yahya Meneduhkan
Tarekat Tijaniyah melaksanakan Idul Khatmi Nasional ke-230 di Lumajang, Jawa Timur, pada Jumat hingga Ahad tanggal 16-19 September 2022.
"Semoga acara yang turut diisi dengan dzikir dan istighatsah ini, harapnya, terkabul dan mendapatkan inayah juga taufiq dari Allah SWT, amiin," tutur KH Dr Ahmad Fauzi Tidjani MA dari Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep.
Menurutnya, telah berkumpul lebih dari seratus ribu ikhwan Tarekat Tijaniyah dari seluruh pelosok Indonesia dalam acara Haul Idul Khatmi.
Di antara ulama yang hadir dalam acara ini ialah Syarif Muhammad Al-Habib (Aljazair), Syarif Aly bin Syarif Muhammad Al-Habib, Syarif Tahar bin Alal, Syarif Aly bin Syarif Mahmud, Sayyid Abdul Karim Baqos (Maroko), serta Syekh Hasan (Sudan).
Kemudian hadir pula para kiai Tanah Air dari bermacam daerah antara lain, KH Sholeh Muhammad Basalamah (Brebes), KH Dr Ikyan Sibaweh bin Badruzzaman MA (Garut), KH Dr Ahmad Fauzi Tidjani MA (Sumenep), KH Ahmad Subhan (Kalimantan Timur), KH Muhammad Amar Ma’ruf Ismail (Bangka Belitung), dan masih banyak lagi.
Beberapa agenda besar yang diadakan pada Idul Khatmi Nasional kali ini yaitu Halaqah Ilmiah Muqaddam, Khalwatut Tijaniyah serta Istighatsah Nasional, Riyadhah Shalawat Fatih Burdatu Musthofa, juga Tabligh Nasional.
Kehadiran Tijaniyah di Indonesia
Tarekat Tijaniyah dibawa masuk ke Indonesia kira-kira tahun 1920-an oleh seorang ulama kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari. Awal perkembangannya di Tanah Air, mendapatkan penentangan dari tarekat-tarekat lain yang lebih dahulu ada dan telah mapan, antara lain Naqsyabandiah, Qadiriyah, Syattariah, Syazaliah, dan Khallawatiah. Meski demikian, di beberapa tempat, tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura, dan ujung Timur Pulau Jawa.
Perselisihan itu reda setelah Muktamar Jam'iyyah Nahdlatul Ulama ke III tahun 1928 di Surabaya memutuskan bahwa Tarekat Tijaniyah adalah muktabarah (diakui secara absah). Keputusan tersebut diperkuat kembali di dalam Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon, bahwa Tarekat Tijaniyah termasuk dalam kategori tarekat yang muktabarah.
Saat ini Tarekat Tijaniyah merupakan salah satu dari 43 Tarekat Muktabarah Indonesia atau tarekat yang diakui keabsahannya. Jumlah jamaah tarekat ini di Tanah Air sekitar 10 juta jiwa. Dan, sekitar 40 persen dari mereka adalah kalangan kiai dan pemimpin pondok pesantren, yang tersebar di 14.657 pesantren.
Habib Luthfi bin Yahya dan Tijaniyah
Rais Aam Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu;tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) Habib Luthfi Ali bin Yahya berkisah, sejatinya beliau hanya mengamalkan satu tarekat. Pendiri Kanzul Shalawat Pekalongan saat masih murid/ikhwan tidak merangkap-rangkap tarekat.
"Bahkan Abah bercerita jika semua tarekat yang beliau pegang tidak ada satupun sejal awal sekali yang beliau minta. Maksudnya semua tariqah itu pemberian tanpa Abah minta sejak awal mula sekali. Bagaimana mungkin Abah melarang murid dan ikhwan merangkap Tariqah tapi beliau sendiri merangkapnya? Tidak akan mungkin! Tariqah beliau hanya satu," tutur Ahmad Fajar indrianto, seorang penganut Tarekat Tijaniyah dilansir situs resmi jatman.or.id.
Dikisahkan, ketika Habib Luthfi “Wushul” tak lain Pemimpin Forum Sufi Dunia itu mendapat mandat dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam agar menjaga seluruh Tarekat sadat ‘Alawiyyin dari penyusupan dan kerusakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rawuh kepada para Mursyid besar agar memberikan izin ‘Amm dan Khos kepada Mawlana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya. Jadilah Abah diberi izin oleh banyak mursyid Tarekat. Termasuk izin ‘Amm dan Khos dalam
"Kita ini murid, Ikhwan, bukan ranah kita mempertanyakan ke-Muqoddaman atau kelayakan beliau dalam mengemban mandat. Jika klian sudah bertemu Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan Sayyidi Shaykh Ahmad Tijani radhiAllahu ‘anhu silahkan bertanya langsung kepada beliau berdua. Silahkan tanyakan kelyakan beliau menyandang semua Tariqah sedunia," tuturnya.
Ia mengingatkan, bila belum bisa bertemu Rasul dan Sayyidi Shaykh Ahmad Tijani maka jagalah hatimu dari meragukan pangkat beliau. Karena itu bisa merusak amal, bahkan menyakiti hati Sayyidi Shaykh. Demikian tulis Ahmad Fajar indrianto.
Pendiri Tarekat Tijaniyah
Syekh Ahmad al-Tijani mengembangkan tradisi sufisme yang tidak mengabaikan urusan duniawi. Al-Tijani punya pandangan positif terhadap dunia sehingga mendorong dinamika umat untuk kepentingan masyarakat luas. Tidak mengherankan, meskipun baru muncul pada abad ke-18, Tarekat Tijaniyah dapat berkembang begitu cepat dan menyebar luas ke seluruh belahan dunia Islam.
Model tasawuf yang dikembangkan al-Tijani tersebut dikategorikan oleh intelektual Muslim asal Pakistam, Fazlur Rahman, sebagai 'neosufisme', yaitu sufisme yang tidak hanya terfokus dalam urusan ukhrawi, tetapi juga peduli pada urusan duniawi. Model tasawuf ini dahulu dicetuskan oleh Abu Hamid Al-Ghazali pada abad ke-11 M. Al-Ghazali berhasil 'mengawinkan' antara sufisme dan syariat. Kaum sufi dan ulama syariat yang sebelumnya sering berselisih menjadi lebih akrab.
Menurut Azyumardi Azra dalam Historiografi Islam Kontemporer, neosufisme tersebut mengalami proses pematangan di Haramain, Makkah dan Madinah. Pada masa itu, banyak ulama, termasuk juga ahli tafsir dan hadis, aktif dalam kegiatan sufisme.
Sejarah mencatat, al-Tijani termasuk di antara ulama yang menimba ilmu di Haramain ketika neosufisme itu berkembang pesat. Berikut kilas rekam jejak Syekh al-Tijani dan perkembangan Tarekat Tijaniyah.
Tarekat Tijaniyah berdiri pada tahun 1195 H/1781 M di Fes, Maroko, Afrika Utara. Pendirinya adalah Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Salim al-Tijani. Ia lahir di 'Ain Madi, sebuah desa di Aljazair, tahun 1150 H/ 1737 M dan meninggal dunia pada 1230 H/ 1815 M.
Ia wafat dalam usia 80 tahun, pada hari Kamis, 17 Syawal 1150 H, dan dimakamkan di Kota Fez, Maroko. Negara ini menjadi tempat tumbuh kembangnya tarekat ini. Menurut Dr KH Ikyan Badruzzaman dalam artikelnya tentang Syekh Ahmad al-Tijani, ia mendapatkan dukungan dari penguasa di negeri itu.
Pada tahun 1772 - 1773, al-Tijani menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan menimba ilmu belajar di Makkah dan Madinah. Di kedua kota itu ia mempelajari Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khallawatiyah, dan Sammaniyah. Beberapa tahun kemudian, ia berkhalwat di Bu Samghun. Pada tahun 1798, ia mengakhiri khalwatnya dan menuju Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi dari Kota Fes.
Dalam waktu singkat, Tarekat Tijaniyah menyebar ke berbagai wilayah di dunia. Dari Maroko menyebar ke berbagai wilayah di Benua Afrika, antara lain di Tunisia, Libya, Sudan, Mesir, Nigeria, Senegal, Afrika Selatan, Ghana, Mauritania, Mali, Pantai Gading, dan Burkina Faso. Tidak berhenti di Benua Afrika, tarekat ini pun menyebar di benua Eropa, utamanya di Albania dan Turki; di Asia termasuk Indonesia; hingga di Amerika.
Salah satu negara di Benua Afrika yang menyambut baik kehadiran Tarekat Tijaniyah adalah Sinegal. 30 persen umat Islam di negara itu merupakan jamaah tarekat ini. Pada abad ke-19, Tarekat Tijaniah dibawa ke Senegal oleh Syekh al-Hajj Umar bin Sa'id al-Futi al-Turi (1796-1864), yang lebih dikenal dengan nama Hajj Umar Tal. Ia menulis buku Kitab Rimah Hizb al-Rahim ‘ala Nuhur Hizb al-Rajim. Menurut Zakariya Wright, kitab tersebut merupakan kitab terpenting kedua setelah Kitab Jawahir al-Ma'ani karya Syekh Ahmad al-Tijani.
Penyebaran Tarekat Tijaniyah di kawasan benua Amerika dimotori oleh para murid Syekh Hassan Cisse, yang merupakan cucu dari ulama Tarekat Tijaniyah Senegal, Abdoulaye Niass (1840-1922). Murid-murid Syekh Hassan Cisse kemudian mendirikan organisasi yang bernama The African American Islamic Institute.
Perkembangan Tarekat Tijaniyah yang cukup fenomenal terjadi di Albania. Di tengah kuatnya kekuasaan rezim komunis setelah perang dunia ke-2, tarekat ini masih dapat bertahan. Setelah era komunis berakhir pada tahun 1990, jamaah tarekat kembali bergeliat. Pada masa itu, pemimpin Tarekat Tijaniyah adalah Syekh Faik Hoja.
Tarekat Tijaniyah masuk ke Albania hampir bersamaan dengan masuknya tarekat ini ke Indonesia, yakni sekitar tahun 1920-an. Ulama yang membawa dan mengembangkan Tarekat Tijaniyah di Albania adalah Syekh Haji Shah Muhammad Shaban Efendi Domnori (1868-1934). Syekh Shaban dikenal sebagai ulama ahli tauhid dan tasawuf di kalangan ulama dan para imam di Kota Shkodra di Albania Utara.
Advertisement