Tarekat Gus Dur, Renungan di Bulan Gus Dur
"Menurutku, yang lebih pantas berbicara tentang dan --apalagi-- mengatasnamakan agama, ya mereka yang lebih memahami agama. Yang lebih pantas berbicara tentang dan --apalagi-- mengatasnamakan manusia, ya mereka yang mengerti manusia. Yang lebih pantas berbicara tentang dan --apalagi-- mengatasnamakan rakyat, ya mereka yang lebih mengenal rakyat. Bagaimana menurutmu?"
Demikian pandangan KH Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Darul Qur'an Arjawinangun, Cirebon, yang sahabat Gus Dur. Kali ini, Kiai Husein Muhammad masih menghadirkan pengalamannya soal Gus Dur.
Bicara soal Tarekat Gus Dur, begini renungan Kiai Husein Muhammad selengkapnya:
Apakah Tarekat Gus Dur?. Begitu tanya seorang teman. Saya tak pernah tahu atau mendengar dan tak pernah bertanya kepada beliau tentang Tarekatnya.
Seorang teman lain mengatakan bahwa beliau telah memperoleh “Ijazah”, semacam perkenan mengamalkan tarekat dari banyak sekali guru-guru atau “mursyid” tarekat yang berbeda-beda, bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri.
Gus Dur terlalu sering berziarah ke tempat-tempat peristirahatan para pendiri Tarekat yang lebih dari 40 itu, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Tarikat (Thariqah) adalah cara atau jalan menuju Tuhan berdimensi esoterik, batin, spiritual. Para pengikut Tarekat biasanya menempuh perjalanan menuju Tuhan ini melalui aktifitas ritual-ritual zikir (mengingat dan menyebut) Tuhan, permenungan dalam keheningan malam, ketika segala aktifitas manusia berhenti dan pintu-pintu rumah telah terkunci dan sepi.
Zikir-zikir kepada Tuhan itu diucapkan mereka berkali-kali, puluhan dan ratusan kali, hingga Dia lekat di hati. Ketika Dia telah lekat dan menyatu di hatinya, maka Dia menjadi matanya, menjadi pendengarannya, menjadi tangan dan kakinya.
Ini disebutkan dalam hadits Qudsi. Imam al-Bukhari, master hadits terkemuka menulis :
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّه
“Manakala hambaku mendekati-Ku, dengan selalu mengingat-Ku, sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka dia melihat dengan Mata-Ku, mendengar dengan Pendengaran-Ku, memukul dengan Tangan-Ku, berjalan dengan Kaki-Ku. Bila dia meminta, Aku akan mengabulkannya dan bila dia memohon perlindungan-Ku, Aku melindunginya”.
Dalam tradisi di kalangan masyarakat umum, zikir-zikir, do’a-doa dan Istighatsah (memohon pertolongan Tuhan), dilakukan sebagai upaya melepaskan segala kegalauan, kecemasan, kerisauan dan kemelut-kemelut kehidupan atau untuk meminta sesuatu yang diimpikannya.
Ini berbeda dengan para kaum sufi. Do’a dan segala zikir dipanjatkan lebih dalam rangka memohonkan ampunan Tuhan atas dosa dan kesalahan yang diperbuatnya sehingga segalanya diridhai dan ia menjadi orang yang dicintai-Nya. Bagi mereka apapun yang dilakukan dalam kehidupan, tak ada maknanya, tanpa kerelaan dan cinta Tuhan.
Demikian renungan Kiai Husein Muhammad.