Tarawih Berbeda itu Indah, Ini Tuntunan Kiai Fadhol Senori Tuban
"Semoga pertolongan dan hidayah Allah selalu hadir kepada kita sehingga kita tidak sibuk dalam perdebatan berkepanjangan, yang jauh dari kebaikan. Dan, perbedaan adalah indah." - KH Fadhol Senori At-Tubani.
Sejak zaman dulu, para ulama di Nusantara telah mengajarkan perbedaan dan bisa menjalankan ibadah secara intim. Sebagaimana dituntutkan KH Fadhol Senori dari Tuban, yang mempunyai dasar-dasar tersendiri dalam menjalankan Shalat Tarawih.
Untuk melengkapi khazanah Nusantara, berikut catatan Wasid Mansyur, Fahum Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya (UINSA Surabaya) dan Lembaga Ta’lif wa Nasr NU Jawa Timur.:
SHALAT TARAWIH BERSAMA KIAI FADHOL SENORI TUBAN
(Kilatan Naskah Nusantara)
Kita akan serentak mengerjakan untuk mengawali shalat Tarawih (16/5/2018). Terkait dengan ini, penulis teringat salah satu naskah ulama pesantren atau nyaman disebut turath Nusantara dari sosok mbah Kiai Fadhol ibn Kiai Abdusy Syakur atau lebih dikenal dengan mbah Dhol Senori Tuban, yang mengulas tentang shalat Tarawih.
Sekilas, mbah Dhol lahir tahun 1921 M di Sedan Rembang Jateng dan meninggal tahun 1991 M di makamkan di Senori Tuban Jatim. Beliau terlahir dari pasangan Kiai Abdusy Syakur dan Nyai Sumiah binti Kiai Ibrahim. Dan ayahnya, Kiai Syakur adalah santri Kiai Shaleh Darat Semarang serta pernah belajar di Haramain kepada Syaikh Nawawi alBantani, Syaikh Abu Bakar Syata, Syaikh Zaini Dahlan dan lain-lain. Menarik dari Kiai Syakur adalah kesadaran Literasinya, setiap kali selesai membaca kitab di depan para santrinya, selalu disertai anjuran agar para santrinya menuliskan kembali apa yang dibaca beliau, termasuk anjuran itu berlaku kepada putranya; Kiai Fadhol.
Kiai Fadhol atau mbah Dhol belajar kepada ayahnya sendiri, dan sempat belajar pula ke Hadlratusy Syaikh Kiai Hasyim Asy'ari di Tebuireng Jombang. Dari Kiai Hasyim sanad mbah Dhol sambung ke Syaikh Mahfudh al-Termasi, khususnya kajian hadith Bukhari. Beliau dikenal unik sebab ia berada jauh dari keramaian kota, tapi bacaannya sangat luas dengan melihat karya-karyanya yang mengupas berbagai macam disiplin keilmuan. Dan beliau dikenal sebagai pelaku Zuhud (asketis), yang disimbolkan dengan kesederhanaan, tanpa menampakkan diri sebagai kiai besar, yang khumul dalam keseharian dan tak terlintas mencari ketenaran duniawi (baca: pencitraan).
Berbagai karya telah ditorehkan, yang mayoritas menggunakan bahasa Arab Fusha, kecuali hanya Satu dengan menggunalan bahasa Arab pegon. Padahal, mbah Dhol tidak pernah nyantri atau belajar di Haramain. Salah satu karyanya adalah Kasyfu al-Tabarih fi Bayan Shalat al-Tarawih (Meretas problemika dalam Menjelaskan Tentang Shalat Tarawih).
Tarawih; Berbeda itu Indah
Tulisan mbah Fadhol dalam kitab Kasyfu al-Tabarih.. sesuai judulnya menggambarkan upaya beliau untuk ikut andil menjelaskan praktik shalat Tarawih, yang dalam konteks tertentu menjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai, termasuk dimasanya. Bahkan telah sampai pada tingkat klaim bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah, apalagi dikerjakan secara berjama'ah (lihat pengantarnya, 4).
Perdebatan liar terjadi, dan mbah Dhol ambil peran agar tidak terjadi debat kusir, yang bermula dari kebencian bukan pada tradisi keilmuan atau pendekatan dalam memahami secara kritis sumber-sumber Islam yang berkaitan dengan tatacara shalat Tarawih.
Karenanya, mbah Dhol membagi pembahasan kitab ini menjadi tiga, yaitu Bab tentang hadith-hadith yang berkaitan dengan shalat Tarawih (fi al-Akhbar al-waridah fi shalat al-Tarawih), bab kedua tentang tatacara shalat Tarawih (fi Kayfiyah shalat al-Tarawih), dan bab ketiga tentang rakaat Shalat Tarawih (fi 'adad raka'at al-Tarawih).
Dalam kitab yang mungil ini, singkatnya mbah Dhol mengungkapkan bahwa shalat Tarawih 20 rakaat dengan berjamaah memiliki landasan pijaknya dari sumber-sumber Islam, jauh dari bid'ah dhalalah yang diklaim sebagian pihak. Padahal, yang mengklaim juga melakukan tarawih berjamaah, sekalipun tidak 20 rakaat.
Penetapan rakaat shalat Tarawih dan tatalaksananya, yakni 2 rakaat dan 3 witir secara berjamaah, merupakan ijmak dari para sahabat, khususnya sahabat Umar ibn Khattab. Ungkapan yang cukup dikenal dari Umar adalah "ni'mat al-Bid'ah hadzihi" (sebaik-baik bidah adalah ini.
Ungkapan Umar ini yang kemudian bisa dipahami, menurut mbah Dhol, bahwa bid'ah atau sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi, tidak mesti sesat dengan hanya berdalil pada keumuman hadith Nabi (kullu bid'ah dhalalah). Karenanya kata "kullu" dalam hadith ini harus didekati dengan tata bahasa Arab sebagai kata umum yang ditentukan, yakni khusus bid'ah yang tercela sebab bertentangan dengan kaedah-kaedah agama.
Jadi, bid'ah atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan Nabi bisa memiliki hukum Wajib, sunnah, mubah. Bahkan Hasan atau baik. Semua bergantung pada ibadah yang mengikat. Dan shalat Tarawih dengan 20 rakaat dan berjamaah adalah bid'ah yang Sunnah, mengikuti hukum asal kesunnahan shalat Tarawih. Di samping dalam upaya melestarikan ijma' yang dilakukan pada masa Umar dan seterusnya dengan semangat mengikuti anjuran Nabi: agar kita mengikuti para sahabat, terkhusus khulafa' al-Rasyidin.
Akhirnya, mengutip perkataan mbah Dhol diakhir kitabnya: Semoga pertolongan dan hidayah Allah selalu hadir kepada kita sehingga kita tidak sibuk dalam perdebatan berkepanjangan, yang jauh dari kebaikan. Dan, perbedaan adalah indah. Kitab ini selesai ditulis pada tanggal 24 Ramadhan 1382 H.
Moga Manfaat. Selamat Berpuasa. (adi)