Tarawih 23 Rakaat Pertama di Masjid Nabawi? Ini Sejarahnya
Praktik Shalat Tarawih di Masjid Nabawi mengalami evolusi dan perkembangan panjang. Rasulullah Shallallahu alahi wasallam (SAW) pertama kali salat tarawih pada 23 Ramadan tahun kedua Hijriyah. Secara bergilir ia melaksanakan sembahyang tarawih di masjid dan rumah. Praktik salat tarawih yang Nabi SAW lakukan ini ialah 11 rakaat. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abi Salamah bin Abdirrahman ketika beliau bertanya pada ‘Aisyah.
Redaksi hadis tersebut sebagai berikut: “Bagaimana salatnya Rasulullah SAW di bulan Ramadhan? Aisyiyah menjawab: Tidaklah Rasulullah SAW. menambah baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan lebih dari 11 raka’at. Beliau salat empat rakaat maka janganlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau salat empat rakaat, maka janganlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau mengerjakan shalat tiga rakaat” (HR al-Bukhari).
Beberapa pihak menilai bahwa hadis di atas bukan tentang jumlah rakaat salat tarawih, melainkan hadis tentang salat witir. Namun, al-Bukhari sebagai salah seorang rawinya memasukkan hadis ini dalam rumpun “Kitab Tarawih” dalam kitab Sahih-nya. Ia tidak memasukkannya dalam kelompok hadis-hadis witir dalam “Kitab Witir”. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa hadis ini tentang witir tidaklah tepat.
Sementara itu, hadis-hadis yang menunjukkan Nabi SAW melakukan Shalat Tarawih 23 rakaat memiliki kualitas lemah. Banyak para ulama berpendapat demikian. Salah satunya As Suyuthi dari Mazhab Syafii mengatakan tidak ada hadis sahih yang mengatakan bahwa jumlah rakaat tarawih yang dilakukan oleh Nabi Saw adalah 20 rakaat.
Praktik di Antara Sahabat Nabi
Praktik 11 rakaat di zaman Nabi SAW ini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar. Sahabat yang bergelar Al Faruq ini menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di Masjid Nabawi pada tahun 14 H/635 M supaya dilakukan 11 rakaat. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa ‘Umar pernah mengubah kebijakannya. Bahkan tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya yaitu ‘Usman bin Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib pernah mengubah kebijakan itu. Karenanya, dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin salat tarawih di Masjid Nabawi adalah 11 rakaat.
Salah satu ulama yang menyebut Umar sebagai pelopor salat tarawih 20 rakaat adalah Ibn al-Mulaqqin. Tetapi ulama dari Mazhab Syafii ini tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari 11 menjadi 20 rakaat. Ia hanya menyimpulkan dengan memadukan asar Yazid Ibn Khusaifah dengan asar Muhammad Ibn Yusuf.
Jika memang asar Yazid Ibn Khusaifah itu valid, hal tersebut hanya menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan tarawih 20 rakaat. Hanya itu. Tidak menunjukkan adanya perintah ‘Umar untuk mengubah salat tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw menjadi salat 20 rakaat.
Ini artinya, salat tarawih 11 rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘awiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60 H/680 M) atau beberapa tahun sebelum Perang al-Harrah (63 H/683 M). Sejak itu oleh khalifah pertama Dinasti Umayyah ini, salat tarawih di Masjid Nabawi adalah 39 rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke-4 H. Tidak heran bila Imam Syafii yang hidup di zaman tersebut mengatakan bahwa di Madinah orang-orang mengerjakan salat tarawih 39 rakaat.
Pada abad ke-4 H ini, di bawah panglima Jauhar al-Siqily, Dinasti Fatimiyah berhasil menaklukkan Dinasti Iksidiyah (dinasti yang berada di bawah kekuasaan Abbasiyah) sehingga secara otomatis Mekkah, Madinah, dan Jerussalem jatuh ke wilayah kekuasaan mereka. Dikuasainya tiga kota suci tersebut, kerajaan yang beraliran Syiah ini mengubah salat tarawih di Masjid Nabawi dari 39 rakaat termasuk witir menjadi 23 rakaat beserta witir.
Saat wilayah Fatimiyah yang luas sedikit demi sedikit menyusut hingga lebih kecil dari wilayah Mesir sekarang, Madinah kembali dikuasai kalangan Sunni terutama Mazhab Maliki. Pada abad ke-8 H, Hakim Tinggi Madinah Imam al-‘Iraqi (w. 806/1403) kembali memraktekkan salat tarawih di Masjid Nabawi dengan 39 rakaat termasuk witir. Dalam pelaksanaannya dua tahap: 20 rakaat pada awal malam (selepas isya) dan 16 rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga berabad-abad lamanya.
Saat Perang Dunia I (1914-1918), penguasa Saudi memutuskan berkoalisi dengan Inggris. Setelah Dinasti Ottoman runtuh dalam Perang Dunia II, Abdulaziz dari kerajaan Arab Saudi menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah tahun 1344 H/1926 M. Sejak dikuasainya wilayah Masjid Nabawi oleh pemerintahan Saudi hingga sekarang, salat tarawih dilaksanakan dalam formasi 23 rakaat beserta witir.
Begitulah sejarah singkat perjalanan salat tarawih di Masjid Nabawi dari masa ke masa. Apabila kita harus memilih praktik periode mana yang harus dicontoh tentu praktik pada masa Nabi saw yang harus kita ambil, karena yang menjadi hujah itu adalah praktik Rasulullah saw sesuai sabda beliau: “shallau kama raaytuuni ushalli”, artinya salatlah kalian sebagaimana kalian melihatku (Nabi Saw) shalat! (muhammadiyah.or.id)
Referensi:
Syamsul Anwar, Salat Tarawih Tinjauan Usul Fikih, Sejarah dan Fikih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2013).
Syamsul Anwar, “Salat Tarawih: 20 atau 8 Rakaat?”, dalam YouTube: TvMu, https://www.youtube.com/watch?v=646NtKszTz8, diakses pada 21 Maret 2023
Majelis Tarjih dan Tajdid, Paham Hisab Muhammadiyah dan Tuntunan Ibadah Bulan Ramadan, (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2016).