Tapak Merah dan Jejak Komunis di Bojonegoro, Cepu dan Tuban
Lagu Genjer-Genjer kerap diajarkan seorang pemuda bernama Lan, kepada anak-anak di sebuah kampung di Ketapang, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1960-an silam. Di kampung yang tak jauh dari Bengawan Solo itu, Lan, dikenal sebagai anggota Pemuda Rakyat, salah satu underbow Partai Komunis Indonesia (PKI), saat itu.
Ya, lagu Genjer-genjer memang merakyat dan begitu dikenal, ketika itu. Lagu yang diciptaan Moh Arief, seniman asal Banyuwangi itu, kerap dinyanyikan acara-acara yang melibatkan massal. Belakangan lagu tersebut dipakai sebagai alat propaganda PKI. Para aktivis organisasi underbow-nya, seperti Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia, Pemuda Rakyat, hingga Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dikenal militan, aktif menyampaikan visinya ke masyarakat.
Adalah Fauzi,69, tahun, warga Ketapang Cepu, yang mengaku mengetahui lagu Genjer-genjer karena diajari Lan. Lagu tersebut kerap diperkenalkan anak-anak yang masih sekolah di Taman Kanak-kanak dan sekolah dasar.”Ya Kak Lan itu, yang mengajari lagu Genjer-Genjer,” ujar perempuan empat anak ini, mengenang masa kecilnya di Ketapang, Cepu.
Kini, sosok Lan, tidak tahu jejaknya. Pasca Gerakan 30 September 1965 meletus, keluarganya di Cepu, kabarnya pindah ke kota lain. Ada yang masih menetap di Cepu, dan ke Kediri, ada pula yang pindah di Surabaya. Rumahnya yang di Ketapang, sudah dijual ke beberapa orang.
Di Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, memang dikenal sebagai basis kelompok kiri. Kota kecil yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur ini, kerap disebut daerah Tapak Merah. Disebut Tapak Merah, karena daerahnya berdekatan dengan Kabupaten Madiun, yang merupakan basis gerakan PKI tahun 1948 silam. Daerah lain, termasuk di antaranya Kabupaten Bojonegoro, Ngawi, dan Tuban.
Lain di Cepu, lain pula di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Ketegangan kerap terjadi di beberapa desa di Bojonegoro bagian barat. Seperti diceriterakan Udin, 56, salah satu warga Kecamatan Padangan. Kedua orang tuanya ketika itu, sering mengungsi ke beberapa tokoh agama. Terutama para keluarga santri kerap mendapat perlakuan kurang enak.
Ketika itu, kedua orang tuanya kerap mengungsi dan minta perlindungan ke Kyai Basir, di Kampung Petak, Desa Beged (sekarang Kecamatan Gayam red). “Ibu ketika mengungsi, dalam keadaan mengandung janin saya. Kami ngungsi ke tempat Mbah Basir, sore menjelang magrib,” ujarnya mengulangi cerita 56 tahun silam.
Sebagai catatan, Kyai Basir, adalah orang tua dari alm Kyai Maemun, pendiri Pondok Pesantren Al Basyiriyyah, Dusun Petak, Desa Beged, Kecamatan Gayam, Bojonegoro. Kebetulan orang tua Udin, adalah salah satu santri Kyai Basir, ketika itu, kerap jadi sasaran kebencian dari orang-orang kiri.
“Santri Mbah Basir dulu banyak menyebar. Dari Padangan, Cepu dan lainnya,” imbuh Udin. Dia menyebut, di Kecamatan Padangan dan Kecamatan Purwosari, beberapa daerahnya—bagian selatan, dahulu dikenal daerah abangan. “Tapi, sekarang sudah pada belajar ngaji,” imbuh pria asal Desa Kebunagung, Kecamatan Padangan, Bojonegoro ini.
Militannya Kader Partai
Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dan Kabupaten Bojonegoro serta Tuban, keduanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikenal sebagai daerah basis merah. Sebelum peristiwa G30SPKI meletus, tiga kabupaten tersebut dikenal sebagai daerah penyangga Madiun, yang merupakan basis PKI. Tentu banyak sekelumit cerita hiruk pikuk sebelum dan sesudah peristiwa berdarah meletus.
Di Blora bagian selatan seperti di Kecamatan Kradenan, ada sosok berpengaruh dikenal dengan sebutan Mbah Suro Inggil. Nama aslinya Mulyono alias Surodihardjo, yang sebelumnya adalah Kepala Desa di Nginggil Kecamatan Kradenan. Suro Inggil dikenal sebagai dukun dan aliran kebatinan, yang ditokohkan masyarakat. Konon pengikut alirannya belasan ribu orang. Jumlah pengikutnya yang banyak, dan kemudian dimanfaatkan oleh kelompok berideologi kiri untuk jadi anggotanya.
Cerita warga Kecamatan Cepu dan Randublatung, Blora, para pengikut Mbah Suro Inggil, dikenal dengan sebutan Banteng Wulung. Jika Mbah Suro pergi, mereka mengikuti dan menjadi pengawal dengan baju hitam. Kehadirannya di masyarakat menjadi sosok yang ditakuti. Para pengawalnya kerap menyasar ke perempuan cantik, untuk digoda dan diperistri. Padahal, Mbah Suro Inggil sendiri, di padepokannya punya beberapa istri.
Ketika terjadi proses pembersihan orang-orang PKI di Blora, sosok Mbah Suro, satu dari sekian target pertama. Padepokannya di Desa Nginggil diserbu anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopasus)—pasukan elite milik Angkatan Darat, pada Maret 1967. Mbah Suro, kabarnya ditembak mati ketika hendak melarikan diri di tepi Sungai Bengawan Solo.
Sedangkan di Kecamatan Cepu, ada kumpulan para seniman rakyat berupa Ketoprak dan Wayang Orang, berbasis di Jalan Raya, Ketapang, Cepu. Ketoprak ini kabarnya bisa berdiri atas dukungan Sekretaris Jenderal Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) Njono, yang merupakan underbow PKI.
Pria kelahiran Cilacap Jawa Tengah ini, mengkoordinir para seniman asal Solo, yang kemudian diajak pindah untuk berkesenian Ketoprak di Cepu. Njono, menurut cerita para tetua di Ketapang, kerap bolak-balik dari Jakarta ke Cepu, mewujudkan impiannya mendirikan sebuah group kesenian rakyat.”Saya ingat betul, Njono, yang ikut mendirikan,” ujar Abdul Muid (kini sudah almarhum Red), dalam sebuah wawancara di Cepu, Oktober 2013 silam.
Yang juga menjadi catatan, para seniman ketoprak di Cepu, Blora, juga masih ada hubungan pertemanan dengan seniman di Bojonegoro. Mereka dahulu tinggal di Kelurahan Ledok Kulon, sebagian rumahnya di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Para seniman itu kerap berkolaborasi memainkan peran jika ada lakon yang diperankan.
Usai G30/SPKI pecah, ketoprak di Ketapang Cepu, sempat ditutup. Itu karena pemiliknya Tan San Ti, dituding menjadi anggota salah satu organisasi underbow PKI. Tetapi, pada masa Orde Baru, ketoprak ini, kembali main. Hanya saja sejumlah pemainnya, berganti dan pindah tempat.
Segi Tiga Basis Merah
Betapa militansinya keberadaannya Partai Komunis Indonesia ini, di tanah air. Sempat hancur lebur akibat pemberontahan PKI 1948, tetapi dalam kurun waktu yang cepat pula, partai ini tetap kuat dan menang.
Sebagai catatan tokoh PKI yaitu Muso, melakukan pemberontakan dan gagal. Lalu Muso dieksekui di Desa Niten Kecamatan Sumorejo Kabupaten Ponorogo, pada 31 Oktober 1948. Tetapi, temannya yaitu Lukman dan Nyoto melarikan diri ke Pengasingan di Republik Rakyat China (RRC).
Sedangkan para pengikut Muso dibunuh atau ditangkap, pada November 1948. Selain itu, para pengikutnya di beberapa daerah yang semula dikuasai PKI berhasil direbut. Antara lain : 1. Ponorogo, Magetan, Pacitan, Purwodadi, Cepu, Blora, Pati, dan Kudus, serta daerah lain seperti Bojonegoro dan daerah lainnya.
Meski dihancurkan, PKI tetap kokoh dan pengikutnya kian militan. Itu terbukti dengan hasil Pemilu DPR tahun 1955 dan Pemilu DPRD 1957 di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Partai berlambang palu arit ini, tetap berjaya. Data di www.Pemilu,asia menyebutkan, untuk Pemilu DPR 1955 PKI mendapat 35 suara, disusul PNI 33 suara. Dilanjutkan dengan Partai NU sebanyak 14 suara dan Masjumi sebanyak 7 suara serta 10 suara lain-lalin.Lihat tabel Pemilu 1955 di Blora.(sumber Pemilu.Asia)
Selanjutnya bergeser ke Kabupaten Bojonegoro, berapa hasil Pemilu daerah tahun 1955, PKI mendapatkan suara terbanyak dengan 15 kursi. Suara kedua yaitu Masyumi dengan 9 kursi. Selanjutnya Partai NU mendapatkan 6 kursi dan PNI mendapatkan 5 kursi.
Lihat tabel Pemilu Bojonegoro tahun 1955 (sumber pemilu Asia)
Begitu juga dengan Pemilu DPR di Tuban tahun 1955 dimana PKI mendapatkan suara 31 dan Partai NU mendapatkan 26 kursi. Disusul PNI sebanyak 21 kursi, Masjumi sebanyak 14 kursi dan partai lain-lain 10 kursi. Jumlah itu bertambah jika dibandingkan dengan Pemilu di Tuban 1957 dimana PKI mendapatkan suara sebanyak 35 kursi, disusul Partai NU sebanyak 24 kursi, PNI sebanyak 19 kursi dan Masyumi sebanyak 14 kursi dan 8 kursi dari partai lain-lain. Tabel Pemilu DPR di Tuban 1955 dan Tahun 1957..(sumber Pemilu.Asia)
Jadi hadirnya pemilu 1955 atau terjadi 66 tahun silam ada 172 partai politik dengan 15 daerah pemilihan dan jumlah pemilih sebanyak 43 juta. Yang jadi pemenang ketika itu PKI, ketika itu. Sedangkan Pemilu 2019 diikuti 14 partai politik, dan empat partai politik lokal Aceh.
Itu gambaran Pemilu serentak tahun 1955 dengan Pemilu 2019 lalu. Perbedaan, ada pada pesertanya dimana PKI tidak bisa karena larangannya partai ini, sebagaimana tertuang di Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966. Makanya para simpatisan partai ini, sebagaimana tergambar di pemilu awal negeri ini, tentu suaranya sangat potensial. Dan di tingkat lokal, seperti di Bojonegoro, Blora dan Tuban, punya akar basis partai berlambang palu arit ini. (Artikel ini disarikan dari damarinfo.com)