Tanpa Kata
oleh Endang P. Uban
Kunti termangu saja. Diam.
Merenung, tetapi nyatanya tetap tak ada buah yang dapat dipetik dari pohon benaknya. Kosong juga tidak. Jika di kepalanya itu terdapat pusaran, pastilah pusaran itu akan sangat berbahaya hingga segala yang berenang melewatinya tak mungkin selamat melenggang menjauh dari pusatnya. Begitu dalam dan keras berputar, hingga keruh.
“Apa yang sudah kau lakukan? Benarkah … apa yang kudengar di luar sana? Maaf, maafkan aku bertanya begini.”
Pertanyaan itu dilontarkannya satu bulan yang lalu. Kaku dan memaksakan keberanian. Kepalantya terasa mendongak tinggi kepada raja yang berdiri di hadapan. Tindakan yang tak pernah dia kenal dalam sejarah hidupnya bersama orangtua, dan kini bersama Brata, suaminya. Kepala itu menegak sendiri dari topangan leher jenjangnya, tanpa perlu dia perintahkan syarafnya bergerak. Terdorong arus liar dalam darah yang memagma, terlalu kuat untuk dibendung. Air ludah yang ditelannya berulangkali untuk meredam arus itu, gagal melakukan tugasnya.
”Tidak ada cerita itu. Tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada.” Begitu tegas Brata. Suaranya tegas dan keras. Mantap, dengan nada yang dalam, yang dulu menarik Kunti takluk dalam pelukannya hingga berada bersama satu atap.
Kicau burung pagi itu biasa. Namun ketika kicaunya tak berhenti dan semakin ramai di siang hingga malam di seluruh penjuru kota, burung-burung ini pasti dari jenis yang berbeda. Suaranya riuh dan terlalu riuh tak menyisakan sedikit hening untuk Kunti memejamkan mata sejenak saja. Riuh, dan menyayat hati. Tentang putri yang lain, yang ingin mencari atap yang sama dengannya. Tentang pangeran pelindungnya yang lemah hati. Tentang sebuah wangi yang tak harum sama sekali bagi indera penciumannya sendiri.
”Burung selalu berkicau dengan nada yang dia ciptakan sendiri.” Lagi Brata berkata. “Untuk apa kau dengarkan? Sejak dulu aku selalu bertanya, apakah kau percaya padaku?”
“Ya, Mas. Dulu aku percaya.”
“Lalu, sekarang tidak? Begitu maksudmu?” Tatapan Brata tajam pada rumput di hadapannya. “Apa yang berbeda? Mengapa jadi berubah?”
“Aku—"
“Suara siapa sebenarnya yang begitu kuat di telingamu, sampai mampu mengubah rasa percayamu itu?”
Kunti tak mampu menjawab, bahkan ketika dia coba mempertanyakan itu pada dirinya sendiri. Jauh di relung hatinya, suara-suara itu bersahutan, bergema begitu saja. Lebih keras daripada suara Brata. Lalu dia teringat sesuatu.
Kunti mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapkan tubuhnya di depan Brata. Lurus memandang wajah suaminya, Kunti mencoba tak mengedipkan mata sedikit pun. Dia ingin memastikan apa yang dia lihat. Hingga pedih mulai menyergap, tak sekali pun dia bersilang pandang dengan mata Brata. Sesuatu yang selama ini dia percaya, sorot mata lelaki itu, akan berbicara lebih jujur daripada lidahnya. Kunti merasa kehilangan itu. Namun dia tak ingin menghamburkan banyak kata.
***
”Aku seorang istri, Ibu. Ibu lebih mengerti apa yang kurasakan.”
”Lalu, bagaimana?”
Perempuan tua itu bertanya lembut. Hatinya ditata rapi, sekukuh pengalaman hidup yang banyak membaca tanda. Telinganya dikuatkan untuk menerima suara angin ribut yang membawa pertanda buruk, setelah mata tuanya begitu tajam menangkap gerak aneh rumput tertiup angin.
”Saya tak mungkin untuk tidak mempercayai Mas Brata di kesempatan pertama. Hati perempuan seringkali membutakan. Itu saja yang saya waspadai. Saya tak ingin buta tanpa sebab.”
”Dan bagaimana denyut hati membisikimu selama itu?”
”Selalu bertentangan dengan keinginan saya. Dia sudah buta sekarang. Saya tak mampu lagi berpikir.”
Hening. Dua perempuan itu terdiam dan larut dalam riak genangan benak masing-masing. Di tiap persimpangannya, genangan-genangan itu mencoba saling menyentuh dan bertaut.
”Lembut, tak berarti kamu menjadi tak mampu untuk tegak. Bukanlah dosa ketika kamu menjawab persoalan hidupmu sendiri, Nak.”
Kunti mengangguk sekali dan tertunduk.
***
Hari ini Brata akan datang. Dinas luar kota, begitu pamitnya minggu lalu. Pesawat terakhir dari Bali dan seperti biasa Brata tidak ingin dijemput. Brata tak tahu, Kunti memang tidak berniat menjemput. Dia tak melihat kehadiran Kunti. Namun, Kunti melihat bagaimana Brata berjalan menggenggam tangan mulus yang tak dikenalnya. Muda, dengan gerak manja gemulai. Bukan sanak kadang, tetapi keakrabannya sangat nyata. Terlalu akrab. Bahkan rasa sayang begitu nyata di genggaman itu. Ketika taksi yang membawa Brata dan perempuan lain itu pergi, Kunti pun meminta taksinya berlalu. Langsung menuju rumah. Pukul delapan malam, begitu jarum jam di pergelangan tangannya saat itu.
Empat jam berlalu. Kunti duduk di sudut kamar, sejak tiba dari bandara tadi. Ranjang di kamar sudah tertata rapi dan bersih. Bunga mawar merah ditaburkan di atasnya. Perlakuan istimewa malam ini.
”Maaf Kunti, pesawatku tertunda keberangkatannya. Macet pula dalam perjalanan ke rumah. Kamu lelah menunggu, ya?”
”Sudah biasa, Mas … tidak apa.” Kunti menelan ludah diam-diam setelah itu.
”Hm ... istimewa sekali kau menyambutku. Rasanya, ini bukan hari pernikahan kita. Ya, kan?”
”Ya, Mas. Sekadar untuk menyenangkanmu. Bisa kulihat kelelahanmu bekerja. Mudah-mudahan tidurmu nyenyak dengan kenangan indah tentang masa awal kita menikah dulu.”
Brata duduk di tepi ranjang dan Kunti bersimpuh melepaskan sepatunya. Sesaat kemudian suaminya itu meletakkan tubuh untuk berbaring. Kunti berdiri di dekat tubuh Brata, lalu mengusap pelan wajah dan rambut suaminya.
Hitungan waktu berjalan lambat kemudian. Brata terbaring tak bergerak. Tubuhnya kaku menegang. Merah menggenangi seprai bersih. Kelopak mawar di atas pembaringan itu semakin gelap, basah dan lengket, tenggelam dalam genangan. Kunti hanya berdiri diam mematung. Tangannya memegang pisau. Pisau yang sama yang membawanya luruh, bertimpuh, dan memerah di atas tubuh suaminya.
Pukul satu malam sekarang. Rumah itu sunyi. Satu perempuan tua diam di sudut kamarnya sendiri, menangkupkan tangan pada wajah. Tangan yang tadi dicium hikmat putri semata wayangnya, untuk berpamitan. Putrinya yang melangkah lebih jauh dari yang pernah ia lakukan dulu di hadapannya ketika sang ayah mengkhianati. Putrinya, yang tak ingin banyak berkata-kata.
Depok, 11 November 2021