Tangkal Penyebaran Radikalisme, Ini Beban Sekolah Islam
Soal radikalisme memang mengundang keprihatinan banyak pihak. Terima kalangan pendidikan. Padahal, justru sekolah-sekolah Islam di Idonesia, apalagi pondok pesantren, justru menanamkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan (kebangsaan) sekaligus.
"Sebagian besar sekolah Islam tidak menyebarkan radikalisme dan ekstrimisme. Bahkan sekolah-sekolah Islam dinilai toleran, progresif, dan moderat," kata Yayah Khisbiyah, Direktur Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Hal itu diungkapkannya dalam Seminar Hasil Penelitian yang berjudul “Suluh Keadaban Buku Ajar dan Guru Pendidikan Agama Islam MA di Indonesia” di Kampus UMS, Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, belum lama ini.
“Tidak seperti anggapan pada umumnya yang mengatakan sekolah-sekolah Islam atau pendidikan agama Islam itu menyebarkan radikalisme dan ekstrimisme. Ternyata, penelitian kami menemukan bahwa radikalisme atau konservatisme cuma sedikit di tingkat madrasah aliyah (MA),” ujar Yayah Khisbiyah.
“Tidak seperti anggapan pada umumnya yang mengatakan sekolah-sekolah Islam atau pendidikan agama Islam itu menyebarkan radikalisme dan ekstrimisme. Ternyata, penelitian kami menemukan bahwa radikalisme atau konservatisme cuma sedikit di tingkat madrasah aliyah (MA),” ujarnya.
Penelitian itu adalah hasil kerja sama PSBPS Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan PMU CONVEY dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (UNDP-PPIM UINJ). Dengan penelitian yang berlokasikan di Solo, Yogyakarta, Jakarta dan Manado selama tiga bulan.
Kendati demikian, dia mengakui ada sedikit guru yang berpotensi radikal. Walau sedikit, mereka memiliki pengaruh sifnifikan terhadap munculnya benih-benih ekstremitas, lebih khusus lagi intoleransi kepada umat beragama lain.
Guru yang jumlahnya sedikit itu mengajar akidah atau sistem keyakinan. Pelajar dididik untuk tidak berteman dengan pemeluk agama lain, tak menghargai orang yang berbeda.
Sikap itu akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari yang intoleran. Dari penelitian ini, pihaknya merekomendasikan agar muatan atau materi kandungan buku ajar diperbaiki. Materi yang mengandung benih-benih intoleransi dan ekstremitas dihilangkan. Sebaliknya, materi keagamaan yang moderat progresif ditambah.
Perempuan yang menjabat Anggota LKHP PP Muhammadiyah juga merekomendasikan para guru harus mendapat penguatan kompetensi, penguatan kemampuan, hingga perluasan wawasan. Wawasan di sini tidak hanya wawasan agama Islam, tapi juga wawasan kebangsaan.
Hal ini penting agar mereka berpartisipasi menjaga keutuhan dan kemajuan bangsa. Selain itu, guru perlu peningkatan wawasan kemanusiaan universal. Alasannya, masyarakat hidup dalam lingkungan global yang memungkinkan interaksi antaragama, bangsa dan peradaban. Kalau para murid tak dibekali nilai-nilai untuk menghargai keragaman, perbedaan kekayaan dari perbedaan, mereka akan gamang dalam menghadapi era global 4.0.
Secara umum, penelitian ini menyebutkan sangkaan atau tuduhan agama Islam menyebarkan radikalisme tak terbukti. Ini berdasar penelitian di MA, khususnya dengan melihat isi buku dan guru-gurunya. Guru dan buku di MA justru moderat progresif, meski ada potensi menyebabkan radikalisme atau ekstremitas.
Tapi, diingatkannya, secara keseluruhan moderat bahkan sebagian progresif, yaitu mengajarkan orang harus menolong bekerja sama walau berbeda agama.
"Progresif di sini dalam arti positif, kalau yang negatif biasanya liberal sehingga pandangannya maju berkemajuan. Pandangannya terbuka dan berkemajuan untuk menerima pengaruh-pengaruh positif." (adi)