Tanggung Jawab Semua Orang, soal Konflik Kebebasan Beragama
isi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelenggarakan Bedah Buku 'Mengelola Konflik, Memajukan Kebabasan Beragama: Ketegangan alam Ragam Pendekatan Advokasi Bagi Kelompok Terpinggirkan' yang ditulis Zainal Abidin Bagir, Ihsan Ali-Fauzi, Raditya Darningtyas, Husni Mubarok, Irsyad Rafasdie, dan Diah Kusumaningrum, dan disusun oleh PUSAD Paramadina.
Hadir dalam acara bedah buku tersebut, Wakil Ketua Komnas Ham RI Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner Komnas HAM RI Prabianto Mukti Wibowo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, Peneliti Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar, serta peserta dari berbagai kalangan, baik secara luring maupun daring, pada hari Rabu (19 Juni 2024)
Para penulis yang memaparkan, Zainal Abidin Bagir dan Ihsan Ali-Fauzi, menyampaikan beberapa poin serta kesimpulan-kesimpulan penting mengenai buku tersebut.
"Salah satu hal yang semakin berkembang saat ini di konflik Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan (KBB) adalah berkembangan menggunakan kekuatan litigasi, atau pengadilan. Hal ini disebut dengan istilah 'yudisialisasi konflik keagamaan'. Banyak kasus yang dimasukkan ke pengadilan. Advokasi dengan pendekatan legal, dan konfrontatif," ujar Zainal.
Kasus di Tengah Masyarakat
Mengangkat peristiwa pembangunan rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor, para penulis menjabarkan bahwa penyelesaian konflik KBB tidak melulu selesai dengan litigasi. Adapun juga untuk pendekatan terhadap konflik aliran kepercayaan.
"Kesimpulannya dari pembangunan GKI Yasmin tersebut, pendekatan untuk penyelesaian konflik itu bisa bermacam-macam, dan tidak ada rumus pasti pendekatan untuk mencapai kesepakatan. Pendekatan dengan pengadilan, kekuatan yudikatif, memiliki suatu kekuatan untuk memberikan tekanan kepada pemerintah, namun, kekuatan tersebut tidak selalu menyelesaikan konflik KBB."
Ihsan Ali Fauzi menyampaikan bahwa Komnas HAM sudah banyak melakukan penyelesaian dan proses negosiasi untuk menyelesaikan konflik KBB.
"Saya angkat mediasi untuk Ahmadiyah, itu lebih berat daripada mediasi dan penyelesaian untuk pembangunan rumah ibadah," katanya.
Dalam kesimpulannya, Ihsan menyatakan bahwa pendekatan publik dengan mediasi bersama-sama adalah cara yang bisa digunakan.
"Komnas HAM punya banyak pengalaman dan inventarisasi peristiwa yang dikerjakan. Komnas HAM juga lebih dianggap oleh masyarakat untuk penyelesaian konflik. Disamping itu, Komnas HAM juga bisa melakukan inventarisasi penyelesaian laporan untuk diteliti dan dievaluasi."
Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, menyatakan bahwa semua pihak, terutama Komnas HAM, harus telaten dan sabar.
"Penyelesaian semua konflik KBB, harus memerlukan kesabaran, ketelatenan, dan kredibilitas untuk sebuah rekonsiliasi," sebutnya.
Benny, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa penting ekali merumuskan prosedur mengatasi konflik KBB berbasis konstitusi.
"Hal ini diperlukan, karena bisa dilihat, kasus konflik KBB setiap tahun selalu ada. Pendekatan dengan peraturan perundang-undangan saja jelas tidak mengakomodir, sehingga perlu ada pendekatan dan edukasi pada semua pihak tentang konstitusi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di dalamnya," jelasnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP pun mengajak Komnas HAM, BPIP, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, untuk bekerjasama dalam menyelesaikan konflik ini.
"Mari kita kolaborasi, advokasi lintas kementerian dan Lembaga, untuk kampanye publik, memberikan edukasi kepada kepala daerah serta masyarakatnya, tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan," ajaknya.
Wakil Ketua Komnas HAM, Pramomo Ubaid Tanthowi, menyatakan hal yang serupa, bahwa Kerjasama untuk menyelesaikan konflik KBB harus dilakukan.
"Penanganan tidak bisa ditangani oleh Komnas HAM saja, tetapi harus ada dukungan dan Kerjasama antar para stakeholders."
Advertisement