Tangani Pagebluk Covid Tak Cukup Jadi Panitia Zakat
Sudah lama sekali saya ingin menulis soal ini. Menulis...tidak menulis. Maju...mundur...Perlu atau tidak.
Lho? Meski soal pandemi Covid-19, namun isu ini sensitif. Bisa sesensitif ibu-ibu yang sedang mau datang bulan. Ups...
Apalagi ini soal paradigma mengenai pemerintahan. Bagaimana seharusnya pengendali pemerintahan menghadapi krisis ini.
Lho kok sensitif? Ya. Sebab, saya pernah ada di dalam pemerintahan. Bisa saja apa yang saya tulis dianggap nyinyir, belum move on, atau post power syndrom.
Di tingkat Provinsi, selama pilgub lalu saya terang-terangan pendukung calon pesaing Bu Khofifah. Untung ibuk'e Jatim ini lebih asyik. Usai bertarung selesai. Srawung lagi.
Dengan Bu Risma sebetulnya juga demikian. Belum lama ia hadir ketika diundang ke acara saya. Sebaliknya, saya juga hadir saat ia undang ke balaikota.
Yang ribet itu biasanya pendukungnya. Yang berkompetisi sudah srawung, eh malah mereka mengadu domba lagi. Terkadang adu dombanya lebih membara.
Akhirnya saya memutuskan membahasnya karena menyangkut kemanusiaan, tentang nyawa manusia. Siapa tahu bisa menjadi bahan renungan bersama.
Saya melihat, dalam hal pencegahan dan penangan Covid-19 ini, pengendali pemerintahan belum sepenuh hati. Atau bahasa halusnya gamang. Ragu-ragu. Nggak loss.
Kita paham karena tak ada yang berpengalaman menghadapi ini sebelumnya. Kalau pun ada sukses itu di tingkat negara. Seperti China, Taiwan, Vietnam. Juga Selandia Baru dan Jerman.
Kuncinya Alokasi Anggaran
Keseriusan pemerintah dalam menangani sesuatu itu bisa dilihat dari alokasi anggarannya. Berapa yang disiapkan untuk kegiatan menangani Covid-19 ini?
Ada tiga aspek utama dalam penanganan pagebluk Corona. Aspek kesehatan, aspek sosial, dan aspek ekonomi. Di luar itu, aspek menajerial untuk menggerakkan partisipasi warga.
Dari aspek kesehatan, Covid-19 merupakan pandemi yang beda dengan pandemi lainnya. Virus ini menyebar lewat doplet (batuk dan bersin), kontak badan dan penyebaran lewat benda mati.
Mereka yang terpapar virus bisa menunjukkan gejala-gejala. Seperti batuk, pilek, suhu badan tinggi, dan diare. Belakangan ada juga yang terpapar tanpa menunjukkan gejala-gejala di atas.
Karena itu, penanganan medisnya juga memerlukan fasilitas kesehatan khusus. Kamar isolasi dan alat pelindung medis bagi para tenaga medis yang menanganinya.
Virus ini menyerang paru-paru. Karena itu, dibutuhkan alat kesehatan yang khusus seperti ventiltor untuk para terpapar serius. Mereka yang sudah mengidap penyakit bawaan seperti diabetes akan gampang terserang. Demikian juga dengan orang tua.
Karakter kebencanaan akibat virus ini juga berbeda denganĀ bencana-bencana lainnya. Karena itu, penangannya tak bisa disamakan dengan bencana banjir, gempa bumi, dan semacamnya.
Nah, komitmen pemerintah dalam menangani ini bisa diukur seberapa jauh belanja untuk peningkatan faskes. Berapa ventilator yang disediakan, berapa ruang isolasi dibangun, berapa APD dipasok, dan berapa alat rapid test tersedia.
Ini butuh anggaran besar. Ventiltor, misalnya, per unit bisa sampai USD 25 ribu atau setara Rp 375 juta.
Bayangkan. Pengadaan 1000 ventilator saja sudah dibutuhkan sekitar Rp 375 miliar. Belum untuk pengadaan APD, rapid test, dan penambahan ruang isolasi.
Semakin tidak gercep dalam penanganan Covid-19, maka akan semakin banyak anggaran yang diperlukan. Pasien Covid akan terus bertambah. Kecuali ya sudah, pasien yang serius dibiarkan mati.
Karena model penyebaran yang cepat, langkah memutus mata rantainya bisa karantina wilayah dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Banyak kegiatan sehari-hari harus berhenti. Banyak sektor ekonomi yang mandeg. Banyak orang kehilangan penghasilan.
Maka langkah pengamanan sosial harus dilakukan. Bisa saja pemerintah berharap pada warganya untuk gotong royong saling menopang kehidupan satu sama lain. Tapi tetap saja, tanggungjawab pemerintah tidak bisa dilepaskan.
Maka perlu alokasi anggaran untuk jaring pengaman sosial. Pemerintah pusat telah menyiapkan berbagai program. Mulai dari program bantuan langsung tunai (BLT) maupun pembagian sembako.
Namun, sejak dulu kita belum selesai dengan penyediaan data yang valid. Padahal pagebluk ini melahirkan banyak orang miskin baru. Juga orang yang tidak masuk dalam data base kota karena mereka pekerja urban yang datang dari desa dan daerah.
Maka alokasi anggaran daerah perlu disiapkan untuk menutup para terdampak yang tidak masuk dalam data base ini. Saya tidak tahu persis jumlahnya di Surabaya. Tapi bisa diperkirakan sangat banyak. Ini karena Surabaya adalah metropolitan yang menjadi jujugan menyabung hidup warga dari desa.
Terakhir tentunya menyiapkan anggaran untuk membantu recovery ekonomi. Ini sih tidak perlu dalam bentuk alokasi anggaran. Tapi kebijakan terhadap sektor terdampak. Misalnya dengan pembebasan PBB, revisi penerimaan daerah dari pajak dan retribusi, atau policy fiskal lainnya.
Tak Cukup Jadi Panitia Zakat
Jika alokasi anggaran yang disediakan pemerintah daerah tak seberapa, bisa dipastikan penanganan Covid-19 hanya setengah hati. Apalagi sudah anggarannya kecil masih dimanfaatkan untuk program yang tidak strategis dalam memutus penyebaran virus ini.
Eskalasi penyebaran virus Covid-19 tak bisa ditangani dengan cara-cara biasa. Diperlukan pengerahan sumberdaya. Mulai anggaran sampai dengan mobilisasi aparat dan warga. Hanya komitmen penuh yang bisa mewujudkan semua.
Covid-19 bukan bencana biasa. Ia tak bisa ditangani hanya mengharap gotong royong rakyat. Pemimpin daerah perlu mengambil inisiatif penuh. Dan komitmen itu yang utama ditunjukkan ke dalam alokasi anggaran. Melalui kebijakan sesuai dengan otoritasnya.
Mengatasi pagebluk Covid tak bisa hanya dengan cara menjadi "panitia zakat". Yang hanya menjadi pengepul bantuan dari berbagai pihak. Juga hanya mendistribusikan bantuan alat medis dengan segala turunannya.
Rasanya dibutuhkan reorietansi fungsi kepemerintahan oleh para pemimpin daerah. Dari yang sekadar sebagai pelayan --apalagi hanya untuk populisme sesaat-- menjadi lembaga yang memerintah. Menjadi the Govern, istilah Suroboyoannya.
Sudah banyak terbukti di berbagai negara, orientasi populisme para pemimpin gagal menangkal banyak kematian akibat Covid-19. Saatnya melindungi warga dengan betul-betul menjadi pemerintah.
Saya yakin tak ada pemimpin daerah yang puas hanya menjadi panitia zakat dalam menangani pagebluk Covid-19 ini. Biarlah panitia zakat menjadi lahannya ormas keagamaan maupun lembaga kemasyarakatan
Apalagi untuk pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas fiskal yang cukup. Menggunakan anggaran yang dipunyai untuk menyelamatkan warganya tentu akan menjadi ibadah dan bisa dikenang sepanjang masa.
Atau memang ingin jadi panitia zakat biar pahalanya berlipat!
Advertisement