Tanda Tangan dalam Lukisan “Ghost Painter”
Adakah lukisan yang tak bertanda tangan? Rasanya saya belum pernah melihatnya. Biasanya di bagian kanan bawah tertera tanda tangan pelukis. Meski ada juga di bagian pojok lain pada bidang kanvas.
Namun perkara tanda tangan dan lukisan yang dipalsu seringkali didengar banyak orang, utamanya di kalangan kolektor dan penikmat lukisan.
Bicara tanda tangan dalam lukisan menjadi menarik untuk ditelisik sehubungan berbagai dimensi dengan banyak kelindan yang berkaitan perkara palsu-memalsu.
Misalnya, begini. Konon, sekian puluh tahun lalu, seorang pelukis realis yang tinggal di sebuah kota di Jawa memiliki banyak murid.
Sebagian besar muridnya meniru gaya pelukis realis ini yang karya-karyanya selain menjadi koleksi para penikmat lukisan, juga tersimpan dalam museum pribadi pelukis tadi. Sebagian besar berobjek alam benda, seringkali menampilkan serumpun bunga dalam vas.
Kabarnya, murid-murid terbaiknya banyak yang menyamai kualitas pelukis itu. Atau boleh jadi diarahkan untuk mirip sapuan kuasnya dengan teknik pencahayaan yang begitu prima.
Entah bagaimana deal persisnya, tahu-tahu karya para muridnya itu sudah terbubuhi tanda-tangan pelukis realis tersebut.
Bagaimana saya menyebut jenis lukisan ini? Adakah masuk istilah “aspal” (asli tapi palsu) atau “palas” (palsu tapi asli)? Atau jangan-jangan ini masuk golongan lukisan ghost painter alias lukisan (karya) pelukis bayangan, pelukis siluman? Embuh, saya tidak tahu. Barangkali ada istilah lain yang lebih cocok.
Lantas, mengapa pelukis tadi melakukan hal itu? Mungkin karena usia tua, energi dan capaian detil sudah jauh berkurang. Sementara yang meminati lukisannya relatif banyak.
Boleh jadi bagi sementara kolektor tidak penting lukisannya bukan karya pelukis itu, pokoknya ada tanda tangan asli dan bergaya lukisan serta bernuansa objek sangat mirip.
Konon ada lagi yang semacam itu. Seorang dosen seni rupa di sebuah kota yang domisilinya sekitar 60 km dari rumah pelukis realis di atas memiliki banyak murid, baik mahasiswa maupun umum, di mana hasil karyanya berupa lukisan-lukisan bergaya abstrak.
Sesudah praktek melukis, oleh Pak Dosen lantas diseleksi. Hasil seleksi tadi diberi sentuhan di sana-sana olehnya, maka jadilah seperti gaya abstrak lukisan asli Pak Dosen. Baru kemudian diberi tanda tangannya.
Tapi yang di bawah ini bukan masuk kisah konon (kisah katanya, kisah kabarnya). Ini saya alami sendiri yang menjadi penggalan pengalaman saat saya aktif menjadi EO pameran lukisan pada tahun 1990-2005. Ancer-ancer kejadiannya sekitar awal tahun 2000-an.
Saat itu saya mengadakan pameran dan bursa lukisan di lantai IV Tunjungan Plaza (TP) I Surabaya yang diikuti sejumlah pelukis Surabaya.
Sekira dua minggu setelah acara berakhir, seseorang yang saya lupa namanya menulis surat pembaca di koran Surya yang terdiri lebih kurang lima alinea dalam satu kolom.
Dengan bahasa santun orang tadi intinya menyatakan bahwa saya sebagai penyelenggara pameran lukisan mestinya menengok proses penciptaan para pelukis yang hendak dipamerkan, tidak lantas memamerkan karya-karya mereka begitu saja.
Saya agak kaget. Seumur-umur baru kali ini saya menerima gugatan melalui surat pembaca. Lantas saya jawab dengan panjang lebar di koran yang sama. Dan volumenya memang panjang, kira-kira 5 kali surat pembaca tadi. Kok bisa demikian? Mungkin karena saya punya banyak kenalan wartawan di koran tersebut, termasuk mungkin yang menjaga rubrik surat pembaca, sehingga jawaban saya tidak diedit.
Apakah surat pembaca ini ada hubungannya dengan pameran yang barusan saya gelar di TP I? Saat itu saya tidak terfokus ke situ. Yang jelas semua pameran lukisan yang pernah saya gelar saya coba lacak apa ada kaitannya dengan surat pembaca tersebut. Dan, jawabannya masih di awang-awang.
Tetapi intinya, dalam jawaban surat pembaca saya nyatakan bahwa hampir semua pelukis yang ada di Surabaya saya kenal dan beberapa kali saya mendatangi rumah atau studio mereka yang dilanjut dengan obrolan seputar proses penciptaan dan lain-lain.
Sekira dua tahun setelah dimuatnya surat pembaca tersebut, dua orang sobat saya berada di sebuah kota yang berjarak sekira 100 km dari Surabaya untuk keperluan membantu festival kesenian yang diadakan sebuah ormas di mana pada iven itu juga berlangsung pameran lukisan.
Nah, dari situlah tabir surat pembaca di atas terkuak.
Mereka berdua bertemu dengan seorang pelukis berobjek alam benda yang tinggal di kota itu yang intinya mengeluhkan seorang pelukis di Surabaya yang rutin membeli karya-karyanya secara kosongan (lukisan tanpa tanda-tangan), yang lantas dibubuhi tanda-tangan pelukis yang tinggal di Surabaya tersebut.
Saya lupa persis keluhannya, sebagaimana pernah diceritakan dua sobat saya itu. Mungkin ada sisa pembayaran yang belum terlunasi. Atau bisa jadi pelukis asli ini cemburu karena pelukis yang membeli secara kosongan tadi menjualnya dengan harga berlipat-lipat.
Mendengar cerita dua sobat saya tadi, memori saya terhubung dengan surat pembaca dua tahun lalu. Dan yang paling mendekati sosok yang disasar dalam surat pembaca tersebut semakin benderang, yaitu seorang pelukis yang menjadi peserta pameran dan bursa lukisan di lantai IV TP I itu dan satu-satunya yang menyertakan lukisan berobjek alam benda.
Saya benar-benar tidak menyangka, meski setelah saya telusuri “alibi”-nya dengan mengerahkan segala memori, masuk akal juga.
Salah satunya, sebelum kasus ini terkuak saya mendengar lamat-lamat bahwa lukisan-lukisan seorang pelukis berobjek alam benda di Surabaya yang seringkali sold out bukanlah hasil karyanya.
“Setahu saya dia sudah lama tidak melukis. Kalau saya ke rumahnya memang melihat beberapa lukisan berobjek alam benda tergantung pada dinding atau terpajang di tripod, tetapi saya tidak melihat ceceran cat untuk melukis,” ujar seorang pelukis muda pada suatu hari, yang lantas menambahkan, “Saya curiga, lantaran kondisi ruangannya selalu rapi yang tidak mengindikasikan pelukis yang baru saja berkarya …”
Sejak saat itu saya tidak pernah lagi mendengar pelukis tersebut menghadirkan lukisan dengan objek alam benda dengan teknik yang relatif detil.
Jika merenungi kasus ini ingatan saya mengarah ke kota Jogjakarta perihal “sama (kasusnya) tapi tak serupa”.
Konon, ada beberapa “penghasil” jajanan bakpia yang bukan olahan sendiri, melainkan dengan membeli secara kiloan, lantas dimasukkan ke dalam dos yang sudah dilabeli merk tertentu. Eladalah ! (Amang Mawardi)