Tanda-Tanda Ulama, Menurut Kaum Alawiyin dan Imam Al-Ghazali
Kaum habaib di Indonesia begitu dihormati, bukan saja karena ada darah Nabi Muhammad SAW yang mengalir pada dirinya, melainkan juga karena keilmuannya. Kaum habaib adalah penganut Tarekat Alawiyah yang diakui dalam Tarekat Mu'tabarah di Indonesia.
Rais Aam Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabaran An-Nahdliyah (JATMAN) Habib Luthfi bin Yahya, dikenal sebagai habaib yang NU dan NU yang Habaib. Pesan KH Maimoen Zubair (almaghfurlah) kepada kaum Nahdliyin, itulah yang harus diikuti ujaran dan tindakannya.
Terkait tanda-tanda ulama, Sayid Abdullah Al-Haddad yang ajarannya dianut luas, bukan hanya bagi kalangan Alawiyin, melainkan juga penganut Islam di Indonesia, khususnya pesantren. Tentu saja, hal ini sebagai jawaban atas tanda-tanda ulama yang sedang menjadi perhatian saat ini.
"Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang bisa dianggap atau disebut ulama? Apa ciri-cirinya?". Begitu pertanyaan diajukran kepada KH Husein Muhammad. Maka dijawabnya berikut:
Abdullah Al-Haddad, dalam kitabnya yang sangat terkenal dan dijadikan sumber pengetahuan etika di pesantren, "An-Nashaih ad-Diniyyah", menyebut sejumlah tanda/ciri ulama:
فمن علامات العالم : ان يكون خاشعا متواضعا خاءفا مشفقا من خشية الله زاهدا فى الدنيا قانعا باليسير منها منفقا الفاضل عن حاجته مما فى يده. ناصحاً لعباد الله. رحيما بهم أمرا بالمعروف ناهيا عن المنكر. مسارعا فى الخيرات ملا زما للعبادات . ووقار واسع الصدر لا متكبرا ولا طامعا فى الناس ولا حريصا على الدنيا ولا جامعا للمال ولا مانعا له عن حقه ولا فظا ولا غليظا ولا مماريا ولا مخاصما ولا قاسيا ولا ضيق الصدر ولا مخادعا ولا غاشا ولا مقدما للاغنياء على الفقراء ولا مترددا الى السلاطين”
Tanda/ciri orang alim (ulama) antara lain : pembawaannya tenang, rendah hati, selalu merasa takut kepada Allah, bersahaja, “nrimo”, suka memberi, membimbing umat, menyayangi mereka, selalu mengajak kepada kebaikan dan menghindari keburukan/maksiat, bersegera dalam kebaikan, senang beribadah, lapang dada, lembut hati, tidak sombong, tidak berharap pada pemberian orang, tidak ambisi kemegahan dan jabatan, tidak suka menumpuk-numpuk harta, tidak keras hati, tidak kasar, tidak suka pamer, tidak memusuhi dan membenci orang, tidak picik, tidak menipu, tidak licik, tidak mendahulukan orang kaya daripada orang miskin, dan tidak sering-sering mengunjungi penjabat pemerintahan/penguasa”.
Sementara Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebut sifat-sifat/ciri-ciri tambahan bagi seorang ulama sebagai berikut :
واعلم ان اللائق بالعالم المتدين ان يكون مطعمه وملبسه ومسكنه وجميع ما يتعلق بمعاشه فى دنياه وسطا. لا يميل الى الترفه والتنعم .
“Ketahuilah, bahwa yang patut/pantas disebut ulama ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, adalah sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalam kenikmatan.
Lain lagi pendapat Maulana Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar. Saat ditanya santrinya, “Siapakah yang disebut ulama?
Ia tak mendefinisikannya, tetapi memberikan contoh (perumpamaan) yang amat menarik tentang siapa orang alim (orang berilmu) itu. Katanya:
“Dia bagaikan pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Lalu ia mengeluarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski dialah yang menghasilkan bunga dan buah itu, tetapi ia sendiri tak mengambil buah itu. Buah itu untuk orang lain atau diambil mereka.
Jika manusia bisa memahami bahasa pohon itu, maka dia sesungguhnya berkata :
علمنا الله ان نعطى ولا ان ناخذ
“Kami diajari untuk memberi dan tidak diajari untuk meminta”
*) Catatan: Jawaban ini pernah KH Huseun Muhammad tulis beberapa waktu lalu.
Advertisement