Tanamnya Kopi, Kebunnya Sengon, Brandingnya Kawisari
Coba simak sebaris di atas. Bingung apa keheranan? Heran apa terheran-heran? Atau biasa saja kali, karena memang tak ada yang perlu diherankan. Hanya perlu sedikit menata cerita dan logika.
Betapa tidak, komoditas tanamannya adalah kopi. Kopinya ditanam di Kebun Sengon. Setelah kopi dipanen, kopi menjadi produk jadi, brandingnya adalah Kawisari.
Mengacunya boleh jadi jelas: Gunung Kawi. Bila diartikan bebas sebagai sarinya Gunung Kawi. Padahal, tanaman kopi dan kebun sengon itu, berada di lereng Gunung Kelud.
Kenapa bisa begitu? Seperti tumpang tindih begitu?
"Tidak tahu! Tidak begitu jelas! Tahu-tahu ya sudah seperti itu. Saya tinggal meneruskan. Memberdayakan kebun ini. Apa pun harus dilakukan. Agar kopi tetap lestari di sini," kata Wedya Julianti, penerus sekaligus pemilik Perkebunan Sengon, di Desa Ngadirenggo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar ini.
Menurut Wedya Julianti, yang juga seorang dokter ini, Perkebunan Sengon di Wlingi, Blitar ini operasionalnya di bawah bendera Dewi Sri. Persisnya PT. NV. Perkebunan dan Perdagangan Dewi Sri.
(Dewi Sri? Pastinya dia ini Dewi Padi. Bukan Dewi Kopi. Atau, logikanya, Dewi Padi yang suka minum kopi? Entahlah! Yang jelas, sekarang ini lebih asik membicarakan kopi ketimbang padi, red)
Kepada ngopibareng.id, dokter 70-an tahun yang masih sangat energik mengelola kebun kopi ini, mengatakan, perkebunan sengon yang dikelolanya ini adalah salah satu yang tertua di Indonesia. Mungkin juga yang terluas. Tak kurang dari 850 hektar luasnya. Dulu, ketika masih ada Belanda, isi perkebunan ini adalah kopi semua.
Wedya pun mengisahkan, sejak 1970-an keluarganya sudah akrab dengan perkebunan sengon ini. Dimulai dari suaminya. Memang, di dalam kebun tak hanya kopi. Ada karet. Juga pohon sengon. Lalu cengeh. Tapi sebagian besar adalah kopi. Dia paling luas. Luasnya mencapai 450 hektar.
Perihal kopi, kata Wedya, ada cerita tersendiri yang unik, bahkan menjadi bagian penting dari Perkebunan Sengon ini. Cerita ini yang kemudian dirawat hingga sekarang. "Joko Gondel dan Sri Gondel itu. Wujudnya adalah kopi. Kopi terbaik yang kemudian ditanam di lereng Gunung Kelud ini. Lereng yang juga sangat dekat dengan Gunung Kawi," kata Wedya.
Saat itu tahun 1870. Blitar, mungkin juga masih bernama Balitar. Blitar saat itu berada dalam gengaman Kerajaan Mataram. Blitar pun menjadi wilayah Kadipaten yang harus tetap menjaga koneksitas dengan Keraton Ngayogyakarta, dan tentu saja Batavia.
Umumnya Mataram saat itu, pengaruh Belanda begitu kuatnya. Pengaruhnya hingga ke perkebunan-perkebunan culture stelsel. Bukan hanya pengaruh mestinya, tetapi mencengkeram. Di Jawa, kopi adalah power yang jadi andalan di tanah jajahan.
Pangeran-pangeran Mataram yang dikirim mengembangkan pemerintahan di Balitar, rupanya juga tak asing dengan Batavia. Tak asing lagi dengan tanaman kopi. Termasuk minuman kopi yang disuguhkan.
(Bahwa, di kawasan Batavia full dengan tanaman kopi. Otentiknya, di Batavia dan kini bernama Jakarta itu, terdapat nama kawasan Kebun Kopi, red).
Pulang dari Batavia, pangeran-pangeran itu, entah bagaimana kisahnya, bisa membawa biji-biji kopi. Biji-biji kopi itu selain dijadikan minuman di Pangeranan Blitar (sekarang nama sebuah pemakaman kuno, red), beberapa genggam ditebarkan di kawasan yang sekarang menjadi perkebunan sengon.
Mereka, para pangeran-pangeran itu, boleh jadi juga keturunan pangeran-pangeran Blitar, selain mengembangkan pemerintahan juga melakukan laku tirakat di Gunung Kawi. Jarak paling mudah dan dekat yang bisa ditempuh ya melewati perkebunan sengon di lereng Kelud itu.
Mengapa Gunung Kawi, dan bukan Gunung Kelud untuk laku tirakatnya? Sebab yang paling dekat bisa dirunut adalah adanya pengaruh Hindu yang masih kuat di masyarakat saat itu. Bahwa Gunung Kawi dipercaya sebagai Mahameru di tanah Jawa.
Sembari tirakat itulah, biji kopi segenggam kemudian ditebarkan di sana. Mungkin juga disertai dengan petunjuk, bahwa kelak kopi akan tumbuh subur di situ untuk kemudian membawa kesejahteraan bagi kelangsungan kadipaten di bawah Mataram. (widikamidi/bersambung)