Tanah Mahal, Kremasi Lebih Praktis Daripada Dikubur
Kawasan sekitar Kembang Kuning memiliki banyak tempat bersejarah yang menjadi ikon kota Surabaya. Sebut saja, Krematorium Eka Praya tempat pembakaran jenasah paling tua di Surabaya. Ada Ereveld, kuburan tentara Belanda yang gugur dalam Perang Dunia II. Juga ada komplek perkuburan orang Yahudi berlokasi di belakang krematorium. Ada Masjid Rahmat, masjid tertua di Surabaya yang dibangun Raden Rahmat atau Sunan Ampel.
Juga ada radio Yasmara, radio dakwah yang mensyiarkan beragam aktivitas ke-Islaman dari Masjid Rahmat. Suara adzan radio Yasmara direlay oleh masjid-masjid dan musala sekitar Surabaya sebagai patokan, atau penanda waktu masuknya salat lima waktu bagi umat muslim Surabaya sekitarnya.
Ada makam Mbah Karimah, mertua Sunan Ampel yang banyak diziarahi kaum muslim. Tak hanya dari Surabaya, Jatim, Jateng, Jabar tapi juga datang dari Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Ngopibareng.Id kali ini menelusuri jejak tempat bersejarah tersebut secara bersambung. Dalam tulisan pertama ini penulis mencoba mengeksplorasi tempat pembakaran jenasah namanya Krematorium Eka Praya dan Makam Yahudi.
Lokasi Krematorium Eka Praya tidak jauh dari Jalan Raya Kembang Kuning sekitar 100 meter masuk jalan perkampungan Kembang Kuning Mulya I. Di mulut gang terpampang tulisan besar besar Krematorium Eka Praya. Komplek Krematorium ditandai pintu gerbang untuk memisahkan dengan wilayah perkampungan. Tertulis "Dilarang Masuk Yang Tidak Berkepentingan".
Pagi itu suasana sekitar krematorium terasa sejuk. Kanan kiri jalan paving berjejer pohon rindang yang cukup menaungi aneka bentuk makam China dengan bangunan rata rata cukup besar. Bersih, juga tertata rapi. Setelah masuk 50 meter baru tampak bangunan krematorium Eka Praya.
Beberapa staf Eka Praya pagi itu, tampak sedang bersih-bersih. Ipung (55), seorang mandor Krematorium Eka Praya yang sudah mengabdi selama 36 tahun, tepatnya sejak 1982. Ia yang asli arek Kembang Kuning menjelaskan Yayasan Eka Praya memperkerjakan delapan orang. Dua satpam, dua karyawan bersih bersih dan empat bagian pembakaran. "Tungku atau oven pembakaran juga ada empat buah," jelas Ipung.
Untuk menambah kapasitas pembakaran, Yayasan Eka Praya membangun gedung baru yang kapasitasnya dua tungku. Gedung Eka Praya yang cukup luas dibagi-bagi dalam beberapa bagian sesuai fungsinya. Paling depan tempat pemberhentian ambulan. Di situ peti jenazah dibawa ke ruang sembayang yang lokasinya cukup jembar. Bisa menampung ratusan pelayat. Di sekitar lokasi sembayang juga ada ruang kantor untuk staf dan karyawan Eka Praya.
Di sini keluarga menggelar ritual sembahyangan atau mendoakan mayat sebelum dikremasi. Doa sesuai agama yang dianut jenazah yang akan dikremasi. Apakah Buddha, Kristen atau Katholik. "Lama berdoa rata rata 30 menit . Kalau agama Buddha agak lama. Sekitar satu jam. Karena biasanya dibacakan Pahrita," katanya.
Agar prosesi kremasi berjalan lancar, pihak keluarga tak hanya mendoakan jenazah tapi pihak keluarga juga diminta mengikhlaskan jenazah keluarganya yang akan dikremasi. Setelah itu, jenazah dalam peti ditempatkan di atas anyaman besi. Lalu didorong ke ruang oven pembakaran.
Penulis mencoba melihat lebih dalam tungku pembakar. Tapi, dengan catatan tidak boleh dipotret. Panjang oven sekitar 3 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter dan tinggi sekitar 1,5 meter. Bangunan oven terbuat dari batu bata merah dengan atas bentuknya melengkung mirip terowongan kecil. "Makin lama batu batanya makin kuat akibat proses pembakaran tadi," ujar Ipung.
Saat berada di dekat tungku, hawa hangat terasa. Padahal, pembakaran terakhir oven itu sudah berlangsung sekitar 21 jam lalu. Tapi, penulis masih merasakan hawa hangat dari sisa pembakaran. Maklum, saat puncak pembakaran panasnya bisa mencapai seribu derajat celcius bahkan bisa lebih.
Setelah peti jenasah dimasukan, pintu depan oven ditutup pakai plat baja. Tapi, sengaja tidak terlalu rapat untuk memberi ruang udara masuk dan keluarnya kobaran api. Di belakang tungku juga ada semacam mesin menyemprot solar untuk proses pembakaran jenasah. Juga masih menyisakan ruang kosong agar udara bisa masuk.
Kata Ipung, dulu keluarga diizinkan melihat proses pembakaran jenazah. Tapi, ada pengalaman tidak enak. Ada anggota keluarga pingsan saat melihat jenazah dibakar. Rupanya anggota keluarga yang pingsan tadi ada riwayat sakit jantung. Jadi, saat melihat api berkobar langsung ambruk. Meski sudah dilarikan ke rumah sakit sayang, nyawanya tidak tertolong. Sejak itu, pihak keluarga tidak diperkenankan melihat langsung khawatir kejadian serupa terulang.
Sebagai gantinya, secara simbolis perwakilan keluarga diminta menekan semacam tombol elektrik sebagai penanda dimulai proses pembakaran. "Proses pembakaran berlangsung sekitar 2,5 jam sampai 3 jam," kata Ipung. Tanda krematorium melakukan aktivitas pembakaran jenazah terlihat dari asap mengepul keluar dari cerobong yang tinggi. Itu bisa disaksikan warga dari radius satu kilometer.
Sekali proses pembakaran jenazah lanjut Ipung, dibutuhkan rata rata 250 liter solar. Begitu proses pembakaran dimulai, keluarga diizinkan pulang. Untuk mengambil abu jenazah prosesnya lama 1 x 24 jam. Jadi, esoknya abu baru bisa diambil. Setelah dingin, abu jenazah dibersihkan lalu dikumpulkan. Satu jenazah umumnya menyisakan abu satu guci ukuran sedang. "Abu jenazah laki laki lebih banyak dari jenazah perempuan. Itu karena volume atau struktur tulang laki laki lebih tebal daripada jenazah perempuan," ujar Ipung.
Dulu kata Ipung, umumnya pemeluk agama Buddha yang dikremasi. Tapi, sejak tahun 1990 ke atas jsutru banyak pemeluk agama Kristen yang dikremasi. Mereka umumnya memilih kremasi karena lebih praktis. Selain harga tanah makam satu petak di Surabaya sangat mahal, kremasi jenazah lebih praktis daripada jenazah harus dikubur. Di samping itu biaya perawatan makam juga tidak sedikit.
"Biaya kremasi jenazah berkisar Rp 3 juta. Kalau ada fluktuasi, naik turunnya harga kremasi jenazah tidak jauh dari itu. Kalau saat ini ya sekitar Rp 3 jutaan itu," jelasnya. Rata-rata sebulan krematorium Eka Praya menerima jasa pembakaran jenazah sekitar 30 jenazah. Tapi, belum tentu tiap hari ada kremasi jenazah. Kadang satu hari tidak ada, tapi kadang sehari lebih dari satu jenazah.
Sebagai seorang pekerja di tempat seperti itu, Ipung mengaku memiliki pengalaman mistis. Saat kali pertama membakar jenazah sampai satu minggu ke depan masih teringat jenazah yang dibakar. "Eleng-eleng sampek seminggu (ingat terus sampai seminggu) saat membersihkan abunya. Setelah itu sudah terbiasa. Tidak ingat-ingat lagi," katanya.
Pengalaman mistis lain, lanjut Ipung saat duduk santai, pernah ditemani rekan sejawatnya. Bahkan ngobrol bareng. Tapi, begitu selesai ngobrol eh nggak tahunya teman yang "asli" tadi berada di tempat lain. Ipung pun bingung. "Lho koncoku asli sing endi (Lho temanku yang asli mana). Ya, kadang ada yang mendo mendo ngono (menyerupai gitu)," ujar Ipung. Tapi, baginya kejadian seperti itu lama-lama sudah biasa.
Menelusuri Makam Yahudi Pertama di Surabaya
Tidak banyak yang tahu kalau di Surabaya ternyata ada makam khusus orang Yahudi. Lokasinya di komplek pemakaman Kristen Kembang Kuning Surabaya. Tepatnya di Blok G. Dari pintu gerbang pemakaman Kembang Kuning hanya berjarak sekitar 150 meter melalui jalan paving yang sedikit menanjak lalu sesampainya di sebuah tugu belok utara sekitar 50 meter. Letaknya persis di belakang krematorium Eka Praya.
Tidak ada tanda khusus yang menujukkan itu komplek makam orang orang Yahudi. Tapi, orang sekitar tahu semua itu makam komplek pemeluk Yudaisme. Luasnya kira-kira 50x50 meter. Sekeliling makam dipagar tembok dengan tinggi sekitar 1,5 meter. Di depan makam dipagar tembok, separoh pagar besi. Juga dilengkapi pintu gerbang. Meski ada gemboknya, siang itu tidak terkunci. Jadi Ngopibareng.Id bisa leluasa masuk dan memotret.
Komplek pemakaman Yahudi cukup terawat. Rumput terpotong rapi. Ratusan makam terawat dengan apik. Model bangunan makam juga beragam. Ada yang dilapisi granit, ada yang dilengkapi payung beton dengan empat pilar penyangga. Ada juga terbuat dari batu marmer atau pualam putih yang tampak begitu kokoh.
Hanya saja karena bangunan makam umunmya sudah tua, sehingga banyak yang rusak. Sebagaian bangunan kuburan hilang tak berbekas. Ada yang kusam, juga ada bangunan posisinya miring. Bahkan tulisan berbahasa Ibrani di atas bangunan sebagian tidak terbaca. Hanya saja di setiap makam ada tanda bendera Daud bergambar segi enam layaknya lambang bendera Israel.
Bagian depan sebagian makamnya tergolong baru. Tampak dari papan nama makam tertulis tahun 2005, 2007. Bahkan paling baru, 18 Februari 2015 silam atas nama Lowiza Seyers Bat Rachel. Born, 4 April 1927. Died, 18 Februari 2015. "Begitu dikubur, tak lama makamnya langsung dibangun," kata Mak Kopek alias Yani, penjaga kubur yang bekerja sudah sejak 1970.
Keberadaan komplek pemakaman Yahudi cukup lama. Mungkin lebih lama dari Krematorim Eka Praya yang berdiri 1958. Itu kalau dilihat dari plakat bangunan salah satu makam bernama Aziza Jacob Solomon Bat Amman, Born 1876 dan Passed Away 28 Januari 1930. Itu artinya jenazah dimakamkan pada 1930. Ada beberapa marga orang Yahudi yang dikuburkan di komplek pemakaman orang orang yahudi. Antara lain, Mussry, Kattan, Sassoon dan Aslan.
Sampai sekarang kata Mak Kopek, komplek pemakaman orang Yahudi tetap diziarahi. Yang kerap ziarah hanya Ibu Helen. Orangnya tinggi besar, gemuk, kuning, berhidung mancung. Tetapi karena sudah tua harus pakai kursi roda. Menurut cerita Mak Kopek, Ibu Helen ini mengurusi semua keperluan komplek makam orang-orag Yahudi. Termasuk membayar penjaga makam sebesar Rp 400 ribu.
Adat istiadat pemakaman orang Yahudi, kata Mak Kopek yang asli Kartasura, Jateng itu, mirip ajaran Islam. Misalnya, saat proses pemakaman jenazah juga dimandikan, dikafani. Setelah baca doa yang dipimpin seorang Rabi yang memakai topi khas Yahudi bernama Kippah atau Yarmulke, baru jenasah dikuburkan. Bahkan orang Yahudi membangun ruang pemandian jenasah lokasinya di seberang jalan komplek pemakaman. Namun jarang difungsikan.
Setelah dikafani, jenazah dimasukan liang lahat lalu ditutup dengan peti, baru diurug tanah atau pasir. Seperti pemeluk Islam, ziarah kubur bagi Yahudi juga mengingatkan akan kematian. Juga sebagai penghormatan, mengenang jasa mereka ketika masih hidup. Ziarah dalam bahasa Ibrani adalah Yarzeit. Biasanya, orang Yahudi memanjatkan doa dan pujian kepada Tuhan dengan membaca kaddis dan halel semacam tahlil.
Sebelum meninggalkan makam, mereka akan menyimpan sedikit uang di pusara. Uang ditindih batu kecil. Setelah itu dibagi-bagikan kepada warga sekitar makam yang membantu saat ziarah. ‘’Kalau Ibu Helen biasanya memberi kami Rp 5 ribu-an. Kadang juga tidak dikasih,’’ ujar Mak Kopek.
Sebelum Ibu Helen, dulu yang mengurusi dan suka menziarahi makam Yahudi namanya Bu Murni. Sama-sama keturunan Yahudi. Orangnya baik dan suka memberi uang kepada warga sekitar makam. Selain Ibu Helen kata Mak Kopek, jarang ada orang menziarahi kuburan orang Yahudi. Kecuali hari hari besar bagi penganut Yudaisme baru ada yang menziarahi komplek pemakaman orang Yahudi. Seperti, hari suci atau yom kippur, hari pasca dan hari hari besar sesuai penanggalan orang Yahudi. (Bahari/bersambung)
Advertisement