Tampung 6.700 Mahasiswa Miskin, UGM: Bentuk Tanggung Jawab Moral
Paradigma seakan hanya anaknya orang kaya yang bisa meneruskan pendidikan hingga perguruan tinggi sudah usang harus diubah dengan paradigma baru.
Pemerintah melalui Kemendikbudristek sudah menggulirkan beberapa program untuk membantu anak miskin yang memiliki kemampuan akademik, supaya bisa terus sekolah untuk mencapai cita-cita.
Ada program Indonesia Pintar, program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) dan program khusus untuk mahasiswa, Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Salah satu PTN yang menerima peserta program KIP kuliah ini adalah Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Mahasiswa UGM penerima KIP-Kuliah dan Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) mencapai 18,52 persen dari total mahasiswa yang ada. Dengan rincian 6.566 untuk KIP-Kuliah dan 149 beasiswa ADik.
Wakil Rektor Universitas Gajah Mada (UGM), Ari Sujito mengatakan, mereka berasal dari seluruh Indonesia, dan rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu. "Dilihat latar belakangnya ada anaknya buruh bangunan, buruh tani, sopir truk, dan anaknya pembantu rumah tangga," ujar Ari.
Semangat belajar dan kemauan mereka untuk maju, cukup tinggi. Soal kemampuan akademik, katanya, tak perlu diragukan, peserta program KIP Kuliah IP-nya rata-rata di atas tiga.
Menurut Arie Sujito, komitmennya dalam upaya mencerdaskan anak bangsa, salah satunya, dengan memberi ruang bagi mahasiswa penerima beasiswa program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik).
Saat ini jumlah mahasiswa UGM penerima KIP-Kuliah dan ADik mencapai 18,52 persen dari total mahasiswa yang ada. "Ini untuk semua angkatan 2023/2024," ujarnya.
Dia menegaskan, KIP-Kuliah maupun ADik merupakan bagian dari komitmen negara dalam pemerataan pendidikan dan mencerdaskan anak bangsa. UGM sebagai salah satu institusi pendidikan pun memiliki tanggung jawab yang sama secara moral. Sehingga tak ada pembeda dalam penerimaan mahasiswanya.
Sebagai informasi, KIP Kuliah diberikan untuk mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi. Sementara, ADik diberikan khusus untuk anak-anak Papua, anak-anak yang tinggal di daerah 3T, hingga anak-anak pekerja migran Indonesia (PMI) di luar negeri.
"Kita tahu mereka selama ini tereksklusi oleh ekonomi makro, sehingga kita harus melakukan afirmasi," ungkapnya.
Sayangnya, kuota KIP-Kuliah di tahun ini mengalami penurunan dari pusat. Setidaknya, ada sekitar 400 mahasiswa kurang mampu yang tak lolos seleksi KIP-Kuliah. Arie mengatakan, UGM langsung gerak cepat mencarikan akses beasiswa untuk mereka. Salah satunya melalui himpunan alumni UGM.
Meski demikian, Arie mengapresiasi adanya perubahan skema KIP-Kuliah yang kini makin luas jangkauannya. Kini, Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikbudristek memberikan biaya pendidikan hingga maksimal Rp12 juta bagi prodi kategori A. Sementara, prodi kategori B maksimal Rp4 juta. Hal ini menegaskan bahwa mahasiswa tidak mampu pun berhak mengambil jurusan dengan akreditasi A seperti lainnya.
Tak hanya itu, bantuan biaya hidup pun kini ditetapkan berdasarkan perhitungan besaran indeks harga lokal masing-masing wilayah perguruan tinggi. Sehingga tak dipukul rata. "Saya apresiasi itu. Sekalipun ada beberapa hal harus direform juga, terutama dalam kecepatan dalam merespons problem-problem," tegasnya.
Juan Anugrah Resmol, penerima beasiswa ADik Papua, mengaku bersyukur bisa mendapat beasiswa ini. Pasalnya, melalui beasiswa ini membuat dia akhirnya bisa berkuliah di UGM. "Kalau bukan ADik, mungkin saya tidak di UGM," ujar mahasiswa asal Jayapura tersebut.
Ia sendiri sempat putus asa sebelum akhirnya masuk UGM tahun 2022. Sebelumnya, ia sempat lolos seleksi masuk Universitas Indonesia (UI), namun karena keterbatasan dana untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan, ia terpaksa harus mengundurkan diri.
Dia menyadari, kondisi perekonomian keluarganya memang terbatas. Hal ini pula yang membuat orang tua Juan mendesak dirinya masuk sekolah kedinasan. Dengan begitu, ia bisa terbebas dari segala macam biaya perkuliahan.
Namun ternyata, ia akhirnya lolos beasiswa ADik yang juga membebaskan dirinya dari biaya perkuliahan di Fakultas Geografi UGM. Bonusnya, biaya hidup pun turut ditanggung oleh pemerintah melalui beasiswa tersebut. "Saya sangat bersyukur sekali," ungkapnya.
Ia pun berharap, anak-anak lain yang memiliki latar belakang ekonomi yang pas-pasan bahkan kurang untuk tidak putus asa. Lantaran ada banyak beasiswa yang disediakan pemerintah untuk bisa berkuliah.
Hal senada turut diungkapkan Anugrah Amin Ignatius. Penerima beasiswa ADik asal Biak Numfor ini pun memiliki harapan besar untuk bisa membangun Papua usai lulus nanti. Dia ingin akses pendidikan bisa dirasakan secara merata untuk anak-anak di kampung halamannya.
"Saya paham, untuk kembali dan mengabdi tidak cukup dengan hanya lulus S1. Karenanya, saya berencana mengambil S2 nanti," ujar Anugerah.
Begitu juga yang dialami Rohinun, salah seorang peserta Program KIP-Kuliah asal Lombok Tengah NTB ini bahkan tak bisa menahan tangis ketika ditemui. Ia tak menyangka bisa kuliah di UGM, meskipun tergolong keluarga miskin.
Ketika lolos seleksi sempat muncul rasa minder. Yang kuliah pasti bermobil, semua tinggal di rumah mewah. Sedang dirinya tinggal di rumah sangat sederhana. "Perasaan minder seperti itu sempat ada, tapi para dosen dan beberapa teman meminta saya tetap semangat. Karena saya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan," ujar Rohinun sambil menangis sesenggukan.
Dukungan moral dan doa itu juga dari orang tua. Sebagai balas budi Rohinun bercita-cita ingin membuatkan rumah untuk orang tua, supaya tinggal di rumah yang layak.
Advertisement