Tampil Lagi di PBB, Gus Yahya Angkat Abrahamic Faiths Initiative
Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Yahya Cholil Staquf tampil kembali di forum internasional. Setelah Rabu 23 September 2020 menyampaikan presentasi tentang HAM di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Gus Yahya dijadwalkan tampil untuk kedua kalinya dalam perhelatan yang sama, Jumat 25 September 2020.
Kali ini Gus Yahya, sapaan akrabnya, diminta menyampaikan visinya tentang Abrahamic Faiths Initiative (Prakarsa Agama-agama Ibrahimiyah). Jika forum sebelumnya diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, forum Jumat 25 September 2020 pagi 09.00 waktu New York atau pukul 20.00 WIB adalah milik International Religious Freedom or Belief Alliance (Aliansi Internasional untuk Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan), yaitu suatu aliansi internasional yang dibentuk pada 7 Februari 2020 lalu.
Aliansi ini beranggotakan 27 negara yang berkomitmen kepada kebijakan-kebijakan untuk menjamin kemerdekaan beragama dan berkepercayaan, baik di dalam negeri masing-masing maupun di arena internasional. Di antara anggota-anggotanya adalah Albania, Bosnia dan Herzegovina, Belanda, Republik Ceko, Inggris, Brasil, Colombia, dan lain-lain.
Dalam forum tentang HAM Rabu 23 September 2020 malam, Gus Yahya menegaskan bahwa dunia Islam harus berintegrasi secara damai dan harmonis dengan masyarakat dunia seluruhnya.
“Tidak boleh lagi ada persepsi persaingan, apalagi permusuhan, antara dunia Islam melawan dunia Barat atau lainnya. Saat ini kita sedang menyaksikan proses bergeraknya seluruh masyarakat dunia menuju terbentuknya satu peradaban global yang tunggal dan saling bercampur. Tanpa integrasi damai, yang akan terjadi pastilah konflik universal yang berbahaya sekali," kata mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini.
Untuk itu, lanjut Gus Yahya, masyarakat global membutuhkan konsensus tentang “Nilai-nilai Keadaban Bersama” (Shared Civilisational Values) sebagai basis integrasi. Dia mengatakan, konsensus itu harus tercipta tidak hanya pada tingkat kepemimpinan politik atau pemerintahan saja, tapi harus sungguh-sungguh membumi di tingkat masyarakat atau akar rumput.
Dengan demikian, ujarnya, maka aktor-aktor masyarakat sipil seperti organisasi-organisasi masyarakat yang independen harus diberi peran utama dalam rangka mengupayakan konsensus melalui gerakan sosial yang efektif.
“Besok saya kembali diminta menyampaikan visi tentang bagaimana Prakarsa Agama-agama Ibrahimiyah dapat menjadi salah satu komponen strategis dalam upaya membangun konsensus global itu," katanya.
Menurut Gus Yahya, prinsip kemerdekaan beragama dan berkepercayaan, di samping merupakan salah satu elemen kunci yang dibutuhkan dalam konsesus, harus pula dibingkai dengan pemahaman yang jernih, konkret dan definitif tentang nilai-nilai apa saja yang bisa direngkuh bersama sebagai konsensus, serta perbedaan-perbedaan apa yang harus diterima secara toleran.
“Pada satu titik, prakarsa agama-agama Ibrahimiyah bisa dan harus diperluas dengan menjangkau agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan di luar tradisi Ibrahimiyah. Secara keseluruhan, ini akan menjadi bingkai strategis untuk memperjuangkan perdamaian dunia melalui pendekatan keagamaan," tandas Gus Yahya.
Dalam forum hari ini, Katib ‘Aam PBNU akan berbagi panel dengan sejumlah pembicara lain, yaitu Samuel D. Brownback, Duta Besar Keliling Amerika Serikat Untuk Kemerdekaan Beragama Internasional; Urmas Reinsalu, Menteri Luar Negeri Republik Estonia; Jos Douma, Utusan Khusus Kerajaan Belanda untuk Agama dan Kepercayaan sekaligus Wakil Ketua IRFBA (International Religious Freedom or Belief Alliance), Nadya Tabbara; Wakil Ketua Adyan Foundation for Diversity, Solidarity and Human Dignity; dan Joanna Wronecka, Duta Besar Republik Polandia untuk PBB. Demikian dilaporkan Imam Kusnin Ahmad.
Advertisement