Tampil di Singapura, Konsep Ma’ruf Amin Ini Sita Perhatian
Dukungan pemerintah, masyarakat, dan kalangan terpelajar di Singapura, dalam promosi dan implementasi Islam Wasathiyah, dan pencegahan ekstremisme keagamaan, sangatlah berarti. Islam Wasathiyah bukan hanya penting bagi Indonesia, tapi juga penting bagi harmoni dan stabilitas kawasan, khususnya Asia Tenggara.
Demikian ditegaskan Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin dalam Kuliah Umum Indonesian Leaders Public Lecture Series, di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Techlogical University (RSiS – NTU) Singapore, Rabu 17 Oktober.
Tokoh NU yang kini Cawapres pasangan Capres petahana Joko Widodo ini, menyampaikan materi “Rekonsilidasi Wasathiyah Islam: Promosi Islam Jalan Ketiga dan Arus Baru Ekonomi Berkeadilan”.
Dijelaskan Kiai Ma’ruf Amin, operasi terorisme atas nama agama, adalah contoh buah paham keagamaan ekstrem, yang daya ancamnya bersifat transnasional. Islam Wasathiyah bukan hanya concern muslim Indonesia, tapi juga penting menjadi concern kerja sama antar negara, termasuk Singapura.
“Baik melalui kebijakan negara maupun partisipasi masyarakat, termasuk dunia universitas, melalui berbagai riset dan pendidikan. Berbagai hal yang dapat memicu bangkitnya gerakan ekstrem, baik kanan maupun kiri, yang dapat mengancam pengarusutamaan wasathiyah Islam, perlu diantisipasi dan dicegah bersama-sama,” tutur Rais Am PBNU 2015-2018 dan Ketua Umum MUI 2015 – 2020.
“Berbagai layanan publik keagamaan terfasilitasi. Seperti model penyelesaian sengketa keagamaan lewat peradilan atau arbitrase, layanan haji, zakat, wakaf, perbankan Islam, lembaga keuangan non-bank berbasis Islam, jaminan produk halal, telah tersedia payung regulasi dan kelembagaannya."
Pada bagian lain, Kiai Ma’ruf Amin menjelaskan, Politik Islam di Indonesia terus menerus memperlihatkan akomodasi yang makin besar pada aspirasi politik Islam, dalam berbagai produk kebijakan, legislasi, regulasi, serta fasilitasi negara.
“Berbagai layanan publik keagamaan terfasilitasi. Seperti model penyelesaian sengketa keagamaan lewat peradilan atau arbitrase, layanan haji, zakat, wakaf, perbankan Islam, lembaga keuangan non-bank berbasis Islam, jaminan produk halal, telah tersedia payung regulasi dan kelembagaannya. Puncak implementasi Syariat dijalankan di Aceh secara khusus, yang memungkinkan penerapan syariat Islam secara total.
“Namun semua dinamika itu dipandang dengan tutup mata. Pandangan bahwa pemerintahan Indonesia itu anti Islam, thaghut, tetap digaungkan sepanjang era reformasi, memanfaatkan iklim kebebasan ekspresi dan kemudahan lalu lintas informasi akibat kemajuan teknologi. Puncak ekstrimitas itu makin genting pada 2014, ketika muncul ISIS di Suriah dengan pengaruh kuat dan tak-terduga-duga di Indonesia.
“Maka itu, sejumlah ormas Islam di Indonesia mengonsolidasi berbagai gerakan moderasi Islam yang kompatibel dengan demokrasi dan negara-kebangsan, dengan aksentuasi masing-masing. Sebelum MUI menetapkan paradigma Islam Wasathiyah yang menekankan anti ekstrimitas, dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, melakukan konsolidasi serupa, dalam muktamar masing-masing yang hampir bersamaan,” tutur Kiai Ma’ruf Amin.
Dalam Muktamar NU 2015 mempromosikan Islam Nusantara yang menekankan akomodasi pada kearifan dan inovasi lokal, sebagai respons atas berbagai gerakan transnasional yang tidak bersahabat dengan lokalitas. Muktamar Muhammadiyah 2015 mencanangkan Islam Berkemajuan, yang menekankan concern pada daya saing dan produktivitas umat Islam, dan tak lagi menyoal konsensus nasional.
Munas MUI, Muktamar NU, dan Muktamar Muhammadiyah, berlangsung berdekatan pada Agustus 2015 --bulan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Titik temu mereka, tidak lagi berpikir mengotak-atik konsensus nasional, berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Beberapa bulan sebelumnya, pada Februari 2018, ada konsolidasi peneguhan konsensus nasional dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta, diikuti berbagai Ormas Islam, perguruan tinggi, pesantren, dan melahirkan ”Risalah Yogyakarta”. Salah satu butirnya menyebutkan, apa yang menjadi konsensus nasional itu merupakan, ”puncak perjuangan dan cita-cita umat Islam Indonesia”.
Konsensus nasional itu, kata Kiai Ma’ruf Amin, dalam berbagai pidato, ceramah, dan presentasi ilmiah, saya sebut sebagai mitsaq --istilah yang digunakan Al-Qur’an, untuk menggambarkan kesepakatan antara masyarakat muslim dan non-muslim. Indonesia adalah Darul Mitsaq.
“Umat Islam terikat berkomitmen menjaga kesepakatan itu dengan berbagai elemen bangsa non-muslim, demi menjaga kehidupan bersama yang majemuk, sebagaimana dicontohkan Piagam Madinah, oleh Nabi Muhammad SAW,” tegasnya. (adi)