Taliban Diakui Laksamana Amerika: Sangat Tangguh
Oleh: Djono W Oesman
Keluarga 3.500 tentara Sekutu yang tewas di perang Afghanistan, dan 20.000 yang terluka, kini pasti fokus ke Afghanistan. Begitu pula Laksamana (Purn) James George Stavridis (66).
--------------
Stavridis, Komandan Komando Eropa Amerika Serikat dan Panglima Tertinggi NATO (2009 hingga 2013). Ia memimpin 70.000 tentara AS, dan sekitar 35.000 pasukan NATO dan Koalisi di Perang Afghanistan (2001 - 2013).
Stavridis mengungkapkan perasaannya, yang ia tulis langsung di Time, diterbitkan 16 Agustus 2021. Judulnya panjang:
“I Was Deeply Involved in War in Afghanistan for More Than a Decade. Here's What We Must Learn”
Bisa saja tulisan Stavridis itu dianggap curhatan petinggi militer Amerika. Tulisannya panjang. 3.097 kata. Antara fakta dan opini dia.
Isinya, yang penting: Publik Amerika memang ingin tentara Amerika ditarik dari Afghanistan, sejak lama. Perangnya terlalu panjang. 20 tahun. Itulah perang Amerika terlama.
Stavridis menganalogikan perang Afghanistan bagi publik Amerika sebagai borok. Menyakitkan. Ratusan ribu tentara Amerika dikirim ke sana, berganti-ganti tiap tahun. Sebagian pulang di peti mati.
Perban di borok itu dibuka oleh Presiden Joe Biden. “Presiden Biden memutuskan merobek perban. Tapi sayangnya, ternyata Biden merobek torniket,” tulisnya.
Torniket (tourniquet) adalah alat mengerutkan dan menekan di bagian tertentu tubuh manusia, contohnya tungkai atau lengan. Berfungsi mengontrol aliran darah pada vena atau arteri dengan cara menekan dan melepas dalam rentang waktu tertentu.
Dilanjut: “Sehingga kita menyaksikan pendarahan kehormatan Amerika dan kematian harapan dan impian banyak orang Afghanistan. Terutama bagi banyak gadis dan wanita.”
Gadis dan wanita, maksudnya, Taliban saat berkuasa dulu melarang bocah wanita sekolah, saat usia 10 atau stop sampai kelas 3 SD saja. Sedangkan wanita dilarang bekerja, wajib mengenakan burqa. Yang, Taliban baru saja berjanji, tidak akan menerapkan itu lagi.
Kata ‘pendarahan kehormatan Amerika’, sesuatu yang dalam. Sedih mendalam. Mungkin saja, ungkapan itu mewakili perasaan Amerika sekarang.
Stavridis tokoh yang terlibat langsung dalam perang Afghanistan. Ia terlibat sejak awalnya. Ia kisahkan, awalnya begini:
“Selasa, 11 September 2001, saya laksamana laut bintang satu, berkantor di Pentagon. Ruang kerja saya di Ring E.”
Melalui jendela ruang kerjanya, ia kaget. Ada pesawat nyelonong ke arah kantornya. Dalam sekejap, pesawat menabrak gedung tempatnya bekerja.
Stavridis: “Hidung American Airlines penerbangan 77 menghantam lantai dua Pentagon. Saya berada sekitar 150 kaki jauhnya di lantai empat, dan selamat.”
Seketika, api dan asap menyelimuti kantor Pentagon. Semua orang panik berlarian keluar kantor.
‘Dalam kabut asap, saya tersandung beberapa anak tangga keluar, ke lapangan berumput di bawah. Akhirnya saya berhasil keluar,” tuturnya.
Reflek tentara, ia segera mendekati bagian gedung yang ditabrak pesawat. Ia menolong beberapa korban luka dan tewas. Ia dan beberapa tentara menolong korban, sampai regu penyelamat tiba.
Stavridis: “Yang bisa saya pikirkan hanyalah ironi hari itu: Bahwa setelah beberapa dekade di militer, saya telah terlibat dalam beberapa pertempuran. Tapi saya hampir terbunuh dalam apa yang kita semua yakini sebagai salah satu bangunan teraman di dunia. Pentagon.”
Dilanjut: “Pentagon dijaga oleh militer terkuat di bumi di ibu kota negara terkaya dan terkuat di planet ini. Namun di sanalah saya paling dekat dengan pembunuhan selama 37 tahun karir saya.”
Beberapa saat kemudian, ia tahu, di saat hampir bersamaan di New York dan Washington juga diserang serupa. Kemudian disimpulkan sebagai terorisme. Kemudian ia juga tahu, bahwa itulah serangan balasan dari Al-Qaeda.
Karena, sebelumnya Stavridis terlibat (memimpin) pertempuran menyerang Al-Qaeda. Sehingga ia memastikan, teror 9/11 adalah serangan balasan Al-Qaeda ke Amerika.
Stavridis menganalisis (juga kesimpulan pemerintah AS), bahwa tiga tahun sebelumnya, pimpinan Al-Qaeda, Osama bin Laden, diserang pasukan Amerika di Afghanistan. Diceritakan Stavridis begini:
“Sebagai komandan skuadron perusak, saya telah mengawasi serangan rudal jelajah Tomahawk pada Agustus 1998 terhadap bin Laden di Afghanistan.”
Itulah serangan Amerika berkode Operation Infinite Reach. Di serangan itu, ratusan tentara Al-Qaeda tewas. Tapi bin Laden lolos.
Operation Infinite Reach adalah nama kode untuk serangan rudal jelajah Amerika di pangkalan Al-Qaeda di Provinsi Khost, Afghanistan. Juga di pabrik farmasi Al-Shifa di Khartoum, Sudan, 20 Agustus 1998.
Serangan yang diluncurkan oleh Angkatan Laut AS, dilakukan atas perintah Presiden Bill Clinton.
Serangan itu sebagai balasan. Atas pemboman 7 Agustus 1998 oleh Al-Qaeda di Kedutaan Amerika di Kenya dan Tanzania, yang menewaskan 224 orang (termasuk 12 orang Amerika) dan melukai lebih dari 4.000 lainnya.
Operation Infinite Reach adalah pertama kalinya Amerika Serikat mengakui serangan pendahuluan terhadap aktor non-negara yang kejam .
Perang Amerika vs Al-Qaeda sangat panjang. Balas-berbalas. Itulah sebagai ganti dari era sebelumnya, yang disebut Perang Dingin, Amerika vs Uni Sovyet. Setelah Sovyet bubar, terpecah-belah, musuh Amerika berikutnya adalah Al-Qaeda.
Di Operation Infinite Reach, Stavridis mengirimkan rudal ke titik lokasi Osama bin Laden. Tapi bin Laden sudah kabur, beberapa saat sebelumnya.
Jadi… kata Stavridis: “Tomahawks saya hampir membunuh Laden, dan sekarang serangannya (9/11) hampir menghabisi saya.”
Dilanjut: “Dalam beberapa minggu, saya ditugaskan untuk memimpin sel inovasi "Deep Blue" Angkatan Laut, sebuah tim elit kecil yang ditugaskan untuk menghasilkan ide-ide strategis dan operasi taktis untuk meningkatkan kemampuan Angkatan Laut dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Global War on Terror.”
Kemudian, Stavridis dikirim kembali ke laut sebagai komandan Carrier Strike Group memulai di kapal induk USS Enterprise. Melaksanakan operasi di Tanduk Afrika dan di Afghanistan dan Irak.
Stavridis: “Kemudian, saya menjabat sebagai Asisten Militer Senior Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld dan akhirnya menjadi Panglima Tertinggi Sekutu NATO, dengan tanggung jawab strategis untuk perang di Afghanistan”.
Dilanjut: “Maka, saya sangat terlibat dalam apa yang kemudian dikenal sebagai "Forever Wars" mulai 2001 di Afghanistan, sepanjang kecelakaan tragis di Irak, hingga pensiun saya dari Angkatan Laut sebagai komandan NATO pada tahun 2013”.
Pertanyaannya, mengapa Taliban bisa menang cepat? Bukankah tentara Amerika melatih tentara Afghanistan sepanjang 20 tahun dengan biaya hampir USD 1 triliun (sekitar Rp 14.000 triliun).
Wartawan Time tidak interview Stavridis. Tapi dari tulisan Stavridis, sekilas disinggung soal itu. Jawaban dari pertanyaan tersebut, intinya ada dua:
Pertama, kebijakan pemerintah Amerika, menarik pasukan setahun sekali. Diganti yang baru. Estafet. Menurut Stavridis, itu mematikan sistem militer.
Pola tur satu tahunan ini (mereka menyebutnya begitu) dapat dipahami dari sudut pandang manusia. Tentara jangan berlama-lama di medan tempur. Tapi itu melukai upaya militer.
Kedua, masalah di sumberdaya manusia Afghanistan yang dinilainya sangat rendah. Sedangkan, petingginya korup.
Pasukan AS berusaha keras melatih tentara Afghanistan. Amerika sampai mengirimkan jenderal-jenderal top seperti Dave Petraeus dan Marty Dempsey (Ketua Kepala Gabungan Masa Depan) sebagai perwira bintang-3 untuk memimpin pelatihan tentara Afghanistan.
Lebih dari sejuta pemuda Afghanistan mengikuti program pelatihan militer dilatih AS dan sekutunya. Para pemuda itu dilatih militer dan baca-tulis, karena sebagian buta huruf.
Stavridis: “Kami berhasil meningkatkan kemampuan teknis pasukan Afghanistan. Tapi gagal dalam membasmi korupsi di beberapa sektor dan tidak dapat mengomunikasikan visi kami tentang masa depan yang damai dan sejahtera bagi negara secara memadai”.
Kurangnya literasi, yang merupakan masalah besar di seluruh negeri, merupakan hambatan signifikan.
“Dan begitu banyak orang Afghanistan akan menjalani pelatihan untuk sementara waktu, menerima gaji saat melakukannya dan menghilang begitu saja kembali ke desa mereka,” tulisnya.
Maksudnya, pemuda Afghanistan hanya mengincar uang dari pihak Amerika. Mereka ikut latihan, karena digaji dan diberi fasilitas bagus. Setelah mereka rasa cukup, mereka kabur. Pulang kampung.
Sebaliknya, Stavridis mengakui kegigihan, inovasi, ketahanan, dan taktik Taliban yang tiada henti. Over all, Taliban sangat tangguh.
Stavridis: Dalam perang apa pun, seperti kata pepatah, musuh mendapat suara. Taliban menggunakan semua atribut pemberontakan yang berhasil”.
Dilanjut: “Taliban meneror penduduk sipil, serangan terhadap infrastruktur kritis, merusak ekonomi, melecehkan serangan terhadap pasukan yang lebih besar, infiltrasi unit Afghanistan, dan bertahan lebih lama dari kesabaran AS”.
Dengan paparan ini, jelas bahwa pasukan Afghanistan memang tidak berkualitas. Amerika bagai menegakkan benang basah. Sebaliknya, Taliban sangat tangguh. Perang puluhan tahun, semangat mereka tetap menyala.
Akhirnya, Afghanistan jatuh.
O, ya… Stavridis menulis, selama jadi komandan perang Afghanistan ia menandatangani 2.026 surat belasungkawa kepada keluarga tentara yang tewas. Mereka di bawah misi NATO, pimpinan Stavridis.
Stavridis: “Sekitar sepertiga surat dikirim ke Eropa dan keluarga koalisi lainnya. Dua pertiga keluarga Amerika. Kepada keluarga-keluarga itu, saya mengatakan, bahwa orang-orang yang mereka cintai jatuh dalam pelayanan misi yang berarti bagi lima puluh negara mereka yang berbeda.”
Sang Laksamana mengakhiri tulisannya: “Dalam beberapa hal, setiap perang adalah pemborosan waktu, harta, dan yang paling penting, darah”.
Dilanjut: “Tetapi saya percaya bahwa pasukan yang bertempur di Afghanistan dapat mengangkat kepala mereka dengan bangga dalam satu cara penting: Kami dikirim ke Afghanistan untuk menemukan dan mengadili para penyerang 9/11, dan—yang lebih penting—untuk mencegah serangan lain di Afghanistan”.
Stavridis (di tulisannya) seolah ingin mengurangi rasa, atas apa yang ia sebut sebagai ‘pendarahan kehormatan Amerika’. (*)