Tali Silaturahim, Pererat Kembali Tali Islam dalam Pergaulan
"Silaturahim sesungguhnya tidak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba. Manusia tidak mungkin harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk meyambungkan apa yang telah putus," kata Fathoni Ahmad.
Lebaran atau Idul Fitri merupakan momen yang paling tepat jika di hari-hari lain belum mampu menyambungkan apa yang telah putus. Energi kembali ke fithrah turut mendorong manusia untuk berlomba-lomba mengembalikan jiwanya pada kesucian. Idul Fitri-lah yang mampu melakukannya.
Meskipun disadari, silaturahim sesungguhnya tidak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba. Manusia tidak mungkin harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk meyambungkan apa yang telah putus. Hal ini didasarkan bahwa batas umur manusia tidak ada yang tahu.
“Tentu manusia akan merugi ketika nyawa tidak lagi dikandung badan namun masih menyimpan salah dan dosa kepada orang lain,” kata Fathoni Ahmad, Pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.
Namun, esensi kembali pada kesucian pada momen Idul Fitri menuntut umat Islam mempererat kembali tali silaturahim. Idul Fitri merupakan kesempatan yang baik dan tepat. Upaya tersebut akan lebih maslahat jika diperluas untuk kepentingan bangsa, yakni merajut tali keindonesiaan.
Pakar Tafsir Al-Qur’an Muhammad Quraish Shihab dalam karya Membumikan Al-Qur’an (1999) menjelaskan arti silaturahim ditinjau dari sisi bahasa. Silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kat bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh kata shilat itu.
“Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti ini mengandung makna bahwa karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang. Salah satu bukti yang paling konkret tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Sebab itu, kata shilat juga diartikan dengan pemberian atau hadiah,” kata aktivis yang juga dosen ini.
Terkait silaturahim ini, Al-Qur’an menyatakan, diciptakannya manusia berbeda suku bangsa untuk saling mengenal (lita’arafu). Apa maksudnya?
“Keragaman itu merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Kalau kita hanya lahir di suku kita saja, tidak pernah mengenal budaya orang lain, tidak pernah bergaul dengan berbagai macam anak bangsa, dan hanya tahunya orang di sekitar kita saja, maka sikap dan tindak-tanduk kita seperti katak di dalam tempurung,” tuturnya. (adi)