Takwil dan Dalalah al-Isyarah dalam Usul Fikih, Ini Perbedaanya
Dalam Usul Fikih, takwil dikenal sebagai metode membelokkan teks dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Menurut Syamsul Anwar, metode takwil ini berguna karena hukum biasanya menuntut pemahaman, bukan saja dengan maksud teksnya yang terbaca, tetapi juga dengan makna-makna yang terkandung di dalamnya—termasuk petunjuk yang bersifat tidak langsung dari sebuah teks hukum.
“Dalam konteks Usul Fikih, takwil berarti membelokkan sesuatu makna dari makna yang jelas kepada makna lain di mana makna yang jelas itu mungkin bertentangan dengan bagian-bagian lain dari ajaran syariah. Jadi takwil itu pembelokan makna,” ujar Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini dalam Pengajian Tarjih, dikutip dari situs muhammadiyah.or.id, Senin 14 Maret 2022.
Syamsul memberikan contoh takwil dalam QS. Al-Maidah ayat 38, Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
Berdasarkan makna hakiki dalam ayat ini, hukuman untuk tindak pidana pencurian adalah potong tangan. Akan tetapi, hukuman potong tangan terbentur dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam yang lain yaitu Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam konteks HAM, merusak fisik manusia seperti memotong tangan adalah sesuatu yang terlarang.
Maka Tangan Secara Fisik
Syamsul menjelaskan, makna tangan dalam QS. Al-Maidah ayat 38 tidak harus dimaknai sebagai tangan secara fisik. Sebab dalam QS. Al-Fath ayat 10 disebutkan, “Tangan Allah di atas tangan mereka”, makna tangan diartikan sebagai kekuasaan dan kekuatan.
Dengan demikian, makna majazi dari ‘potonglah tangan’ adalah mengurung pencuri di dalam sel tahanan agar tidak punya kuasa lagi melakukan tindak pidana pencurian.
“Bagaimana pembelokan maknanya? Kata ‘dipotong’ yang disebutkan dalam Al Quran itu tidak diartikan potong tangan secara fisik tapi dibawa ke makna majazi yakni tangan diartikan sebagai kekuasaan. Artinya, pencuri dihukum dengan diambil kemampuan mencurinya yaitu dengan dimasukkan ke dalam sel tahanan,” terang Syamsul.
Hal ini berbeda dengan dalalah al-isyarah. Jika takwil berarti membelokkan lafaz dari maknanya yang hakiki ke makna yang majazi, maka dalalah al-isyarah adalah mengambil bukan dari apa yang tertulis di dalam teks, melainkan konsekuensi dari yang teks tertulis.
Misalnya, QS. ar-Rahman ayat 5: “Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan.”; dan QS. Yunus ayat 5: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
Makna yang tertulis dari dua ayat di atas ialah matahari dan bulan digerakkan Allah Swt dan peredarannya dapat dihitung. Dalalah al-isyarah atau konsekuensi dari makna lahiriah tersebut ialah manusia dapat melakukan penghitungan posisi bulan dan matahari secara cermat untuk ratusan tahun ke depan dan mendorong manusia untuk melakukan penataan waktu. Sederhananya, dua ayat di atas ialah dalil keabsahan metode hisab dalam menentukan awal bulan kamariah.
“Isyarat itu makna yang tak tertulis yang merupakan konsekunsi dari makna yang tertulis. Berbeda dengan takwil yang berarti membelokkan,” tutur Syamsul.