Takut FPI
MENGAPA FPI begitu sukses dalam waktu begitu singkat? Karena masyarakat kita sudah sangat siap menerima keberadaannya. Tiga puluh dua tahun rejim Orde Baru mempergunakan rasa takut untuk mengendalikan kita, tentulah banyak orang yang sudah lama memimpikan kesempatan untuk gantian menakut-nakuti. Lebih dari itu, ketika terbiasa nguncis dibawah ketakutan, hidup tanpa rasa takut bagi banyak orang mungkin terasa hampa. Bagaikan sayur tanpa garam, atau ithik-ithikan tanpa cinta…
Apalagi yang dikibar-kibarkan oleh FPI adalah bendera-bendera keramat: syari’at, aqidah, jihad, dan sebagainya. Itu adalah bendera-bendera suci yang begitu dikibarkan langsung disujudi. Orang-orang ‘alim sudah sejak lama mengajarkan pentingnya menangkap substansi ketimbang simbol. Tentang penegakan syari’at, misalnya, orang-orang pandai mengajak berpikir: syari’at yang mana, berdasarkan madzhab apa, atas wewenang siapa, dan seterusnya.
Tapi substansi itu dalam dan rumit, sedangkan simbol-simbol jelas lebih kasat mata. Seperti kata Gus Shampton, “…melihat inti itu harus mikir, membedakan rasa terasi harus mikir, tapi kalau melihat label/lembaga mudah tanpa harus punya otak” [KLIK DISINI]. Dan sudah jelas pula bahwa orang bodoh itu lebih banyak ketimbang orang pandai.
Pernah kita dengar di suatu daerah ada sekelompok orang meneriakkan tuntutan agar selama bulan puasa segala warung dan tempat jual makanan dilarang buka di siang hari. Menurut mereka, itu demi menghormati bulan puasa dan kaum muslimin yang menjalankan puasa. Tak ada tanda-tanda ada yang ingat bahwa tidak semua muslimin wajib berpuasa. Bagaimana dengan musafir? Perempuan yang datang bulan?
Belasan tahun yang lalu, jauh sebelum reformasi dan lahirnya FPI, tiga orang kiyai Rembang, Kiyai Asfani Toha, Kiyai Kholil Bisri dan Kiyai Mustofa Bisri, bepergian ke Bangkalan, Madura, untuk menta’ziyahi seorang kiyai yang wafat di sana. Waktu itu bulan puasa. Berangkat dari Rembang menjelang shubuh, sampai di Bangkalan saat dluha. Yang pertama-tama dicari adalah warung untuk sarapan. Toh sejak shubuh tadi Kiyai Kholil dan Kiyai Mus sudah jedhal-jedhul rokoknya.
Setelah agak lama berkeliling, didapatilah sebuah warung sederhana, salah satu dari sedikit sekali warung yang buka. Perempuan penjaga warung itu terlihat membungkuk-bungkuk dibalik meja jualannya, entah sedang sibuk apa.
“Permisi!” salah seorang menyapa.
Perempuan itu mendongak dan mendapati tiga orang berkopiah putih lengkap dengan sorban. Seketika darahnya membeku. Wajahnya pucat pasi. Tanpa sepatah kata, perempuan itu menyincing tapihnya dan melompat kabur lewat pintu belakang!
Kiyai-kiyai Rembang itu terpaksa tetap menahan lapar sampai selesai ta’ziah, ba’da ashar hari itu. Entah mana yang lebih disesali: menyulut rokok atau memakai kopiah putih dengan sorban?
(Dikutip dari Terong Gosong KH Yahya Cholil Staquf)