Takut Arwah di Rumah Pembunuhan
Oleh: Djono W. Oesman
Efek pembunuhan suami-istri, Nando, 25 tahun, terhadap Mega, 24 tahun, adalah ini: para tetangga pada pindah. “Mereka sudah pergi Selasa, 12 September kemarin,” kata pemilik rumah kontrakan itu, Dewi, 41, kepada wartawan. Mengapa? “Saya maklum, mereka trauma,” jawabnya.
—----------
Takut hantu. Tapi ketakutan itu tak diucapkan terus terang diperhalus jadi ‘trauma’, yang sebenarnya istilah itu tidak tepat, sebab mereka tidak melihat langsung proses Nando menggorok Mega.
Aslinya, mereka takut. Karena mayat Mega menginap di rumah kontrakan itu tiga malam. Dibunuh Kamis, 7 September pukul 23.00 WIB. Ditemukan ibunda Mega bernama Linda, Minggu 10 September pukul 02.00 WIB. Malah, mayat sudah mulai membusuk.
Dewi: “Jadinya saya rugi. Padahal, rumah kontrakan ini satu-satunya penghasilan saya. Sekarang penghasilan saya hilang. Seperti orang kerja di-PHK.”
Dewi cerita, saat kerja ia menabung buat beli rumah. Setelah uang terkumpul dia berhenti kerja, dan beli rumah. Lalu dibangun. Rumah dipetak-petak jadi tiga rumah. Mepet, satu dinding. Itulah dikontrakkan bulanan. Sedangkan ia bersama keluarga, tinggal di rumah lain, tak jauh dari situ.
Lokasi di Jalan Cikedokan RT 01/RW 04, Kampung Cikedokan, Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat.
Di deretan tiga rumah kontrakan itu, keluarga Nando dan Mega bersama dua anak mereka, tinggal di tengah. Kiri dan kanan diisi keluarga lain.
Maka, begitu penemuan jenazah Mega menghebohkan, Minggu 10 September lalu dua hari kemudian para pengontrak kiri-kanan sudah pamitan pada Selasa, 12 September. Mereka langsung pindah. Bahkan mereka sudah membayar uang kontrakan untuk September.
Anggapan masyarakat kita, rumah bekas pembunuhan, apalagi jenazah sampai menginap di situ, pasti berhantu. Ini sulit diabaikan. Mereka sebut makhluk halus. Ada juga yang menyebut arwah gentayangan. Atau jin. Pokoknya horor.
Walaupun di KTP (buat semua orang Indonesia), tercatat bahwa mereka beragama. Orang beragama dilarang takut hantu. Orang beragama cuma takut pada hukum Allah.
Tapi, ya…. Begitulah kenyataan di masyarakat. Tak terbantahkan. Bukan cuma di Bekasi, di rumah pembunuhan Mega itu. Kepercayaan ini di seluruh Indonesia.
Di Sidoarjo, Jawa Timur, tepatnya di Perumahan Sidokare Indah, ada satu rumah bekas pembunuhan. Ibu dan anak tewas, dibantai perampok pria di dalam rumah itu pada awal Maret 2004.
Itu rumah dua lantai di komplek masyarakat kelas menengah. Perampoknya sendirian. Tukang bangunan yang sedang mengerjakan rehab rumah, tak jauh dari rumah itu. Sehingga ia paham situasi di situ.
Perampok masuk lewat pagar tembok belakang. Sudah masuk rumah. Sudah mengambil aneka barang. Ketika perampok hendak keluar lewat jalan ketika ia masuk, mendadak anak gadis pemilik rumah memergoki. Spontan, si gadis menjerit. Berteriak: Rampok… rampok…
Ibu gadis itu bangun. Dua adiknya ikut bangun. Kebetulan kepala keluarga sedang dinas, tidak di rumah.
Teriakan membuat perampok panik. Ia bawa golok. Maka, perampok membabat sekeluarga itu. Ibu dan tiga anak terluka parah. Ibu dan seorang anak, tewas di situ. Dua lainnya dirawat di rumah sakit, akhirnya sembuh.
Perampok ditangkap polisi, dihukum berat. Kepala keluarga dan sisa dua anak, tidak lagi tinggal di situ. Rumah itu dibiarkan kosong sampai sekarang. Sudah 19 tahun. Dijaga pria setengah baya bernama Junaidi Slamet. Tapi, tidak terawat. Alang-alang tumbuh liar sepinggul orang dewasa.
Warga sekitar cerita, kalau malam kadang muncul seorang perempuan di jendela lantai dua. Tersenyum. Padahal, rumah itu kosong. Junaidi tidak tinggal di situ. Ia hanya bertugas siang, membersihkan ilalang yang ternyata tidak bersih juga.
Junaidi kepada wartawan: “Benar. Banyak orang cerita, melihat wanita di jendela lantai dua. Tapi saya jaga sini sejak 2004 belum pernah melihat.”
Dilanjut: ”Banyak orang datang bawa kamera. Terus, ngevideo rumah ini. Katanya, serem banget. Tapi mereka masuk rumah dan merekam video pada siang. Kalau malam, belum ada yang berani masuk.”
Rumah itu dulu diberi tulisan: Dikontrakkan. Tapi belum laku. Dijual juga belum laku. Mungkin calon pembeli mencari info, kemudian tahu sejarah rumah itu. Atau, memang belum saatnya laku, meski sudah 19 tahun dijual.
Cerita model begini sangat banyak di Indonesia. Bagaimana terjadi di negara Barat? Ternyata mirip dengan Indonesia.
Dikutip dari New York Post, 28 September 2022, berjudul, 30% of Americans would buy a home where a murder happened: poll, disebutkan, mayoritas masyarakat Amerika Serikat (AS) tidak suka beli rumah bekas lokasi pembunuhan.
Tapi di AS ada risetnya. New York Post mengutip data hasil riset lembaga jajak pendapat, YouGov pada masyarakat calon pembeli rumah AS di 2022. Hasilnya, sekitar 30 persen calon pembeli tidak masalah membeli rumah bekas lokasi pembunuhan. Sisanya 70 persen, masalah. Atau batal membeli.
Soal ini terkenal, dijadikan film seri berjudul Murder House Flip, produksi Sony Pictures Entertainment, tayang di The Roku Channel, sekarang. Berkisah tentang renovasi rumah bekas tempat pembunuhan.
Cerita serial di film itu menggambarkan kontraktor membangun rumah bekas pembunuhan Jodi Arias dan Dorothea Puente.
Soal itu juga difilmkan yang tayang di Netflix, berjudul Worst Roommate Ever.
Di empat negara bagian di AS, yakni California, South Dakota, Alaska, dan Vermont, berlaku hukum, semua penjual rumah harus menceritakan sejarah rumah terkait kematian bekas penghuni. Baik kematian wajar, maupun akibat pembunuhan atau bunuhdiri. Minimal dalam tiga tahun terakhir.
Di negara bagian lain, tidak ada hukum seperti itu. Jadi, penjual merahasiakan sejarah rumah pada saat ditawarkan. Setelah penjual-pembeli deal. tapi belum dibayar, penjual wajib memberitahu sejarahnya.
Transaksi bisa batal, jika rumah itu bekas lokasi pembunuhan atau bunuhdiri. Bisa juga transaksi berlanjut ke pembayaran.
Tidak semua orang takut membeli rumah bekas pembunuhan. Contohnya, Nancy Townsend Klemme. Dia bersama suami, Kraig, membeli rumah di Davenport, Iowa, AS, pada 1996. Luas tanah 3.150 kaki persegi. Tiga kamar tidur. Harga 369.000 USD.
Rumah itu sangat terkenal di sana. Dulu milik dr Jim Klindt, ditempati bersama isteri, tanpa anak. Pada 1983 dr Klindt melakukan KDRT ke istri. Lalu membunuh. Lalu memutilasi korban. Waktu itu kasus mutilasi nyaris belum ada.
Setelah pembunuhan itu terungkap, dan dr Klindt dihukum, rumah itu terkenal. Dianggap menyeramkan.
Nancy Klemme: “Kami membeli rumah itu karena keindahan dan keunikannya. Kami 100% sadar akan apa yang terjadi di sana, namun hal itu tidak mengganggu kami.”
Klemme juga tidak mendapatkan diskon untuk properti tersebut karena masa lalunya. Namun mereka merombak seluruh rumah, khususnya tempat pembunuhan itu terjadi di kamar tidur.
Jadi, masyarakat AS pun tidak sepenuhnya abai terhadap rumah bekas lokasi pembunuhan. Ada yang takut. Mereka juga orang beragama. Tapi masih ragu dengan hantu-hantuan.
Sehingga, bisa dimaklumi jika para tetangga Mega kabur dari rumah kontrakan mereka di Bekasi. Bukan takut hantu. Cuma mereka sebut: Trauma.
*) Penulis adalah wartawan senior