Tak Siap, Jangan Tiru, Jangan Disalahpahami
Ini persoalan level kiai. Tapi, orang awam perlu mengetahui. Saya pun baru dong, baru ngeh atau baru paham ya belakangan ini, setelah ngaji dengan Gus Baha. Dulu, saya gagal paham. Untung tidak terjebak kepada menghakimi. Etika santri kepada kiai yang pernah saya peroleh ketika nyantri dulu, masih bisa menjadi penahan untuk tidak terjebur ke jurang prasangka buruk.
Diceritakan Gus Baha, ulama sealim KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (almaghfurlah, Rais Aam PBNU 1999-2014 dan Ketua Umum MUI), jika Salat Jumat, sering mencari masjid yang khotbahnya mendekati selesai. Begitu tiba di lokasi, beliau turun dari mobil dan langsung menggelar sajadah di bagian luar masjid (serambi masjid). Begitu shalat jumat selesai dilaksanakan, Mbah Sahal cepat-cepat berkemas dan meninggalkan masjid.
Konon, hal seperti itu juga dilakukan oleh beberapa ulama besar, seperti KH Maemun Zuber. Menyaksikan semua itu, Gus Baha awalnya juga merasa iskal (janggal). Tapi, setelah dirinya mencapai level tertentu (level ulama), baru pelan-pelan masalah itu bisa dipahami. Menurut Gus Baha, itu adalah persoalan ulama besar dan dikenal luas oleh masyarakat. Karena itu, butuh dilakukan ijtihad oleh para ulama seperti Kiai Sahal atau Mbah Moen dalam mewujudkan kemaslahatan umat.
Dituturkan Gus Baha, dengan kealiman yang dimiliki, ulama seperti Kiai Sahal maupun Mbah Moen punya wibawa keilmuan yang sangat tinggi. Santrinya tersebar di mana-mana. Karena itu, bila suatu ketika beliau-beliau itu muncul di sebuah forum dan publik mengetahui keberadaannya, maka “kehebohan” akan terjadi. Dalam kasus shalat Jumat, ustadz atau kiai muda yang merasa kalah level, yang kebetulan menjadi khatib dan imam shalat akan grogi. Cemas, khawattir salah.
Seorang teman, kiai muda di Tuban pernah bercerita. Suatu ketika, dia sedang mendapat jadwal khutbah dan imam shalat di Masjid Agung Tuban. Di tengah-tengah dia sedang berkhotbah, selintas dia melihat sosok KH Mustofa Bisri (Gus Mus) di antara deretan para jamaah shalat jumat. Ambyar! Kecemasan langsung menyelimuti dirinya. Konsentrasi pun terganggu. Khotbah pun segera dicukupkan. Begitu mengimami shalat, ayat yang dipilihnya pun menjadi yang paling “mudah”: Qulhu alias Al ikhlas.
Gus Baha sendiri punya cerita yang lucu. Suatu ketika, seorang kiai sowan ke pesantrennya. Sang kiai minta agar Gus Baha tidak shalat jumat di masjid itu ketika dirinya dapat jadwal menjadi khatib dan imam. Mendapat permintaan itu, Gus Baha pun menjawab dengan guyon. “Tenang. Enggak-enggak. Seumpama terpaksa shalat jumat di situ, saya akan pura-pura tidak dengar,” kata Gus Baha berkelakar.
Itu cerita-cerita terkait dengan “model” shalat Jumat para ulama tersohor. Ada hal lain terkait dengan perilaku para ulama yang juga perlu diketahui oleh khalayak umum. Yakni, soal sikap beberapa ulama yang bergaul erat dengan orang-orang fasik (orang yang suka berbuat dosa). Yang sudah masyhur adalah Allah yarham Gus Miek (KH Hamim Tohari Djazuli) yang sangat dekat dengan orang-orang dunia malam.
Mbah Moen, lanjut Gus Baha, sampai akhir hayatnya juga aktif di politik. Padahal seperti diketahui, ada banyak perilaku yang bertentangan dengan agama yang dilakukan oleh para politisi. Namun, Mbah Moen tetap bertahan di situ. Karena dengan tetap adanya Mbah Moen di tengah-tengah para politisi, paling tidak kemungkaran yang mungkin terjadi bisa diminimalisir. Kalau semua ulama menjauhi dunia politik, dikhawatirkan kondisi akan semakin liar. Tidak terkendali. Semakin jauh dari aturan agama.
Dan yang harus dicacat, meski aktif di politik, performa Mbah Moen tetaplah sebagai ulama. Keaktifan beliau di politik, tidak menjadikan beliau kehilangan keulamaannya. Meski beliau aktif di PPP, namun para politisi dari partai lain pun tetap merasa dekat dengan beliau. Ketika pilres tiba, semua calon pun berusaha sowan ke Mbah Moen. Para alumni Sarang, juga aktif di berbagai partai, tanpa kehilangan kedekatan dengan beliau.
Sekilas, apa yang dilakukan Gus Miek maupun Mbah Moen bisa dianggap “bermasalah” secara syariat. Apalagi kalau dikaitkan dengan ajaran bahwa seharusnya, orang sholeh bergaul erat dengan sesama orang sholeh. Seperti lagu Tombo Ati. Di syair lagu itu, dianjurkan supaya seseorang mendapat keberuntungan, maka dia harus berkumpul dengan orang-orang sholeh.
Memang, idealnya orang sholeh (ulama) bergaul dengan ulama. Namun, pertanyannya, kalau semua orang sholeh hanya membatasi diri hanya bergaul dengan sesama orang sholeh, bagaimana dengan orang fasik? Siapa yang akan mendakwahi (mengajak mereka ke jalan kebenaran) mereka? Bukankah ulama seperti dokter yang harus mengobati orang sakit?
Dijelaskan Gus Baha, berdakwah adalah mengajak. Karena mengajak, berarti harus kenal, harus dekat, harus bisa mengajak bicara. Nah karena alasan dakwah ini, beberapa ulama “rela” bergaul dengan orang-orang yang secara dhohiriyah “tidak baik”.
Apa yang dilakukan para ulama itu, menurut Gus Baha, tidak boleh ditelan mentah-mentah. Jangan sampai muncul anggapan bahwa para ulama itu melakukan kefasikan atau minimal bersikap permisif (membenarkan) kefasikan. Itu proses dahwah. Karena itu, selain orang awam tidak boleh terlalu cepat menvonis negatif, juga kalau tidak siap betul, jangan menirunya.
Ada dua kemungkinan ketika seseorang bergaul dengan orang fasik: mempengaruhi atau terpengaruh. Bila potensi besarnya terpengaruh, maka lebih baik jangan bergaul dengan orang fasik. Namun, bila yakin dirinya punya benteng kuat dan bisa mempengaruhi, maka menggauli orang fasik dengan misi dakwah sangat baik dilakukan.
“Tidak banyak ulama yang berani menempuh jalur itu. Umumnya pilih jalan aman. Dakwah di masjid dan musholla. Semua tentunya baik dan diperlukan. Yang penting, ketika melihat ada ulama bergaul dengan orang fasik, jangan buru-buru menvonis buruk,” tutur Gus Baha.
Memang, menempuh jalan dakwah yang merangkul seperti itu rawan disalahpahami. Karena itu, Gus Baha, juga tidak menyalahkan beberapa ulama yang mengambil jalan agak frontal dalan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. “Ya, semuanya dibutuhkan. Yang penting, niat untuk mengajak kebaikan harus tetap ada.”
Gus Baha sangat menekankan agar umat harus memahami masalah-masalah yang dihadapi ulama. Intinya, seorang ulama yang sholeh dan alim, pasti akan selalu berijtihad mencari jalan keluar yang terbaik. Mereka juga akan berusaha menggunakan berbagai metode dalam mengajak orang untuk menuju kebaikan. Intinya, mengenalkan tauhid dan mengajarkan syariat Islam. Mengupayakan terciptanya kemaslahatan umat. Berupaya agar kebaikan (makruf) tercipta di masyarakat. Kemungkaran, pelan-pelan hilang atau semakin berkurang.
Bila persoalan selalu dipandang dari perspektif hukum fiqih normal, apa yang dilakukan Kiai Sahal, Mbah Moen, atau Gus Miek kurang pas. Namun, dalam kondisi tertentu standar normal terkadang tidak bisa diberlakukan. Ada pengecualian. Sebab, ada kepentingan-kepentingan kemaslahatan yang lebih besar yang perlu dipertimbangkan. Kaidah ushul fiqih soal madlarat dan manfaat harus menjadi pertimbangan. Dan itu, sifatnya kasuistik. Dalam kaidah usul fiqih dikenal, al-Hukmu Yaduuru ma’a Illati wujudan wa adaman. Keberadaan hukum itu berkutat atau bergantung kepada sebab (illat)-nya. Adanya sebab, menjadikan adanya hukum tertentu. Tidak adanya sebab, menjadikan tidak adanya hukum.
Yang perlu dicatat lagi adalah perlunya diterapkan fiqih dakwah. Artinya, ketika menghadapi masalah-masalah keumatan, terkadang sesuatu yang idealnya tidak boleh, untuk sementara dibolehkan. Demi kepentingan dakwah. Itu sifatnya sementara. Tidak berlaku umum.
Akhmad Zaini-Tuban
Penulis adalah aktivis pendidikan Islam, tinggal di Tuban, Jawa Timur.
Advertisement