Tak Seharusnya Sepak Bola Seharga Nyawa
Kerusuhan di sepak bola Indonesia memang bukan hal baru. Begitu pula korban atau suporter meninggal dunia akibat bentrokan yang terjadi. Catatan kelam tentang melayangnya nyawa suporter sepak bola Indonesia sudah tak terhitung jumlahnya.
Besarnya rivalitas antar tim acap kali menyeret suporter dari kedua tim yang saling berhadapan pada fanatisme buta. Kecintaan tak terbatas yang mereka miliki sudah di luar logika. Apa pun mereka tempuh, risiko dan bahaya yang mengancam nyawa sekali pun tak lagi mereka indahkan.
Tak sedikit nyawa yang tercerabut dari raganya akibat luapan emosi dan egoisme semata. Akibatnya, tindakan mereka yang hanya mengandalkan emosi pun tak jarang menimbulkan malapetaka.
Seorang filsuf barat, Winston Churchiil, menyebutkan “seorang fanatik tulen tidak akan mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya”. Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak akan mendengarkan pendapat atau ide yang dianggapnya bertentangan.
Tak sebatas itu, layaknya konsep fanatik di atas, mereka tak ragu untuk melakukan hal-hal nekat di luar nalar, seperti membuat keonaran, perilaku anarkistis dan perusakan jika ekspektasi mereka tak terealisasi.
Terbaru, kasus kematian suporter kembali mencoreng sepak bola Indonesia kala Arema FC menjamu Persebaya Surabaya, Sabtu 1 Oktober 2022. Kabarnya, puluhan suporter Arema dan dua personel polisi harus meregang nyawa buntut dari bentrokan antara Aremania dengan polisi yang bertugas di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang.
Insiden ini terjadi menyusul kekecewaan suporter Arema setelah tim kebanggaannya tumbang 2-3 di tangan musuh bebuyutannya, Persebaya. Amarah mereka juga dipicu akumulasi kekesalan menyusul lebih banyaknya hasil negatif yang dikantongi Arema dalam lima laga terakhir.
Diawali kekalahan 0-1 dari Persija Jakarta, seri 1-1 dengan Barito Putera dan kalah 1-2 dari Persib, tren negatif Singo Edan sebetulnya sempat terputus saat menang 1-0 atas Persik Kediri. Namun, hasil buruk 2-3 di tangan rival utamanya, Persebaya, tampaknya momen paling sulit bagi suporter Arema untuk menahan diri.
Sesaat setelah peluit panjang dibunyikan sang pengadil, ratusan suporter Arema turun ke lapangan. Bentrok dengan aparat kepolisian pun tak terhindarkan. Gas air mata harus disemburkan untuk menghalau oknum suporter yang melakukan aksi brutal.
Namun, upaya polisi untuk meredam potensi kerusuhan yang lebih besar justru berujung maut. Puluhan suporter Aremania pun terkapar karena kepulan asap tebal dari gas air mata menyumbat saluran pernapasan mereka. Hilang kesadaran, kemudian bablas menuju kematian.
Peristiwa nahas ini menjadi kisah pilu bagi seluruh insan sepak bola Indonesia. Karena terlalu mahal jika ‘sepak bola seharga nyawa’.
Tak perlu saling menyalahkan dan mencari siapa yang salah atas tragedi ini. Meski dari perspektif hukum, tetap harus dicari penyebab kematian mereka, serta siapa yang paling bertanggung jawab atas peristiwa menyedihkan ini.
Namun yang pasti, introspeksi, berbenah, dan tak mengulangi kesalahan yang sama musti dilakukan. Karena seharusnya tidak ada sepak bola seharga nyawa. Apalagi pertandingan sepak bola pada hakikatnya adalah hiburan. Kalah dan menang itu soal biasa.
Advertisement