Tak Perlu Jadi Muhammadiyah, Begini Peran Kemanusiaan Universal
Tidak perlu memaksa orang untuk menjadi Muhammadiyah. Karena peran kemanusiaan universal Muhammadiyah atas nama ajaran Islam, bertujuan agar umat lebih berdaya, berkualitas hidupnya, makmur dan sejahtera.
Jadi, menurut Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta, "Bukan me-Muhammadiyah-kan orang Islam".
Menurutnya, pelayanan kepada umat yang dilakukan Muhammadiyah terlalu sempit, jika tujuannya hanya untuk mengajak orang Islam untuk ber-Muhammadiyah.
"Dalam tradisi dakwah Muhammadiyah, masyarakat diberikan kebebasan memilih, bukan hanya satu pandangan dalam beragama, sehingga dalam beragama tidak ada kata paksaan," katanya, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
“Hal ini tidak mungkin jika yang dipakai masih menggunakan doktrin ketarjihan. Maka, dibutuhkan pendekatan kultural. Karena masyarakat desa masih memiliki ketergantugan terhadap alam sangat tinggi, sehingga mereka masih butuh perantara untuk negosiasi dengan Tuhan,” ungkap Munir.
Muhammadiyah melalui dakwah perbuatan (bil hal) yang lakukannya, seperti pembangunan sekolah, balai kesehatan, rumah miskin dan lainnya yang sering disebut dengan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) adalah contoh kongkrit dakwah yang penuh toleransi.
Munir menerangkan, diselengarakannya AUM oleh Muhammadiyah adalah murni atas dasar kemanusiaan. Karena dakwah dengan perbuatan yang dipilih oleh Muhammadiyah dinilai lebih efektif dan efisien, karena umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya lebih membutuhkan metode dakwah ini.
“Muhammadiyah menyelenggarakan amal usaha itu bukan untuk mengislamkan orang, bukan juga untuk memuhammadiyahkan orang. Tapi semua dilakukan semata-mata demi kemanusiaan, atas nama ajaran Islam,” urainya.
Terkait dengan pengembangan metode dakwah, guna lebih mendekatkan Muhammadiyah kepada semua lapisan masyarakat serta kebermanfaatan Muhammadiyah bisa dirasaksan semua kalangan. Muhammadiyah mengembangkan metode dakwah kultural, dikembangkannya metode dakwah ini sesua sasaran ketika Muktamar Muhamamdiyah di Malang pada 2005, bahwa dicanangkan program pembukaan Cabang dan Ranting di seluruh Indoenesia.
“Hal ini tidak mungkin jika yang dipakai masih menggunakan doktrin ketarjihan. Maka, dibutuhkan pendekatan kultural. Karena masyarakat desa masih memiliki ketergantugan terhadap alam sangat tinggi, sehingga mereka masih butuh perantara untuk negosiasi dengan Tuhan,” ungkap Munir.
Melihat fakta demikian, maka dibutuhkan dakwah yang lebih luwes. Dengan kata lain melakukan penyadaran dari dalam, atau melakukan akulturasi budaya. Hal ini berpedoman pada prinsip pada metode dawkah ‘welas asih’ yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Bukan hanya itu, di Muhamamdiyah juga dikembangkan Gerakan Jama’ah dan Dakwah Jama’ah (GJDJ). Yaitu meletakkan jamaah sebagai inti jama’ah, berperan mengerakan masyarakat disekitar tempat tinggal.
Gerakan dakwah ini dirumuskan untuk mengembalikan jalur dakwah Muhammadiyah serta penguatan di basis akar-rumput, yang kekinian disebut dengan dakwah komunitas. (adi)