Tak Melakukan Bukan Berarti Melarang, Ini Fakta Laku Rasulullah
Tidak melakukan bukan berarti melarang. Melarang bukan berarti tidak melakukan. Ini adalah kaidah rasional yang berlaku universal. Tidak akan mengingkarinya kecuali orang yang tidak berakal.
Contohnya sederhana, saya tidak merokok tapi tidak melarang orang merokok. Sebaliknya dokter melarang merokok, tapi banyak dokter yang merokok. Contoh lainnya tidak terhitung.
Dalam kasus hukum Islam juga sama berlaku kaidah universal ini. Nabi Muhammad tidak pernah memakan kadal gurun, bahkan tidak menyukainya, tapi bukan berarti beliau melarangnya atau mengharamkannya. Hukum kadal gurun tetap halal. Sebaliknya, Nabi Muhammad pernah melarang minum berdiri, tapi beliau juga pernah melakukan hal itu. Larangannya hanya bermakna makruh, bukan haram.
Nabi Muhammad juga tidak pernah shalat Dhuha setiap hari, tidak pernah tarawih sebulan penuh atau memberi instruksi agar selepas wafatnya agar umatnya bertarawih sebulan penuh. Tidak pernah berzakat dengan beras, tidak pernah azan Jumat dua kali. Tidak pernah memerintahkan membukukan Al-Qur’an setelah ia wafat. Tidak pernah membaca Al-Qur’an dengan melihat mushaf.
Tidak pernah membuat pesantren, tidak pernah memberi kajian rutin ahad pagi, dan tidak pernah melakukan banyak hal lain yang lumrah di masa berikutnya. Tapi hanya orang bodoh yang menyimpulkan bahwa semua itu terlarang atau bid'ah.
Logika Berpikir
Sebab itu, salah besar sebagian tokoh (misalnya para Wahabi-Taymiy) yang berkata bahwa bila Nabi Muhammad, sahabat, atau para imam mujtahid tidak melakukan sesuatu, maka berarti sesuatu itu terlarang.
Kesimpulan seperti ini melawan logika umum dan bahkan sebuah kaidah bid'ah yang bertentangan dengan amaliyah para sahabat dan salafus shalih.
Begitu pula tentang maulid, tidak berarti karena tidak dilakukan di masa awal lantas berarti dilarang oleh ulama di masa awal. Itu adalah kesimpulan bodoh dan nalar yang bid'ah. Kalaulah pelarangan maulid mau dihargai sebagai sebuah ijtihad.
Seperti misalnya pendapat al-Fakihani atau Ibnu Taymiyah, maka itu adalah ijtihad yang murni kesalahan dan tidak perlu digubris. Sebab itu, ulama klasik yang memperbolehkan maulid Nabi adalah para bintang mujtahid yang sangat berpengaruh dalam pemikiran mazhab Islam hingga kiamat. Semisal Imam Nawawi, Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar, Imam Abu Syamah, Ibnul Haj, Ibnu Abidin, As-Suyuthi, dan terlalu banyak nama besar untuk disebutkan.
Semoga bermanfaat.
(Abdul Wahab Ahmad)
Advertisement