Tak Lekang Waktu, Tikar Lipat Lamongan Seperti Melipat Zaman
Besarnya kebutuhan alas lantai di Jawa Timur mendorong industri yang bergerak di bidang produksi tikar lipat terus meningkatkan kegiatan usahanya. Usaha semacam ini banyak dijumpai di Lamongan. Pabrik-pabrik skala kecil di kawasan ini selain sudah beroperasi puluhan tahun juga mampu menyerap tenaga kerja hingga 2000 orang.
Bahan baku yang digunakan berupa benang polipropilena dan tali rafia. Bahan-bahan itu kemudian diproses menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) menjadi tikat lipat. Disebut tikar lipat disebabkan produk tersebut dapat dilipat, berbeda dengan tikar dari bahan lain yang lazim digulung. Selain tikar lipat,bahan baku tersebut juga dapat diproduksi menjadi aneka barang seperti hiasan dinding, tas, keset.
Harga jualnya cukup terjangkau. Produk tikar lipat dijual dengan harga berkisar Rp 46.000 – Rp 80.000 per lembar ukuran 2 meter x 3 meter sesuai jenis bahan bakunya. Sedangkan keset Rp 8.000 per buah. Dengan tingkat harga sebesar itu, maka produk asal Lamongan cukup kompetitif menghadapi produk alas lantai yang berbahan baku lain.
Minat konsumen, terutama pembeli domestik, terhadap produk tenunan itu tidak pernah mengendur, terbukti UKM tikar lipat di Lamongan masih eksis. Untuk menjangkau pasar hingga ke pelosok, para produsennya menggunakan pick up.
Salah satu produsen tikar lipat di Kota Lamongan yang menjalankan kegiatan usaha tersebut sejak lama adalah H. Badri, 52 tahun, yang menghasilkan aneka produk dengan merek dagang Elresas.
“Kami telah menjalankan usaha ini sejak 1992, untuk meneruskan usaha yang dirintis ayah sejak bertahun-tahun sebelumnya,” tutur Badri di pabriknya belum lama ini.
Semula usaha itu memproduksi sarung, kemudian beralih ke tikar lipat dengan sedikit memodifikasi peralatan produksi yang digunakan. Hal itu didasarkan besarnya peluang bisnis tikar lipat.
Badri menjelaskan memproduksi sarung dan tikar lipat sama-sama menggunakan bahan baku benang, tetapi jenisnya lain. Benang untuk sarung berupa katun dan mercerized serta sutera. Sedangkan bahan baku tikar lipat adalah benang PP serta tali rafia.
“Tidak sulit untuk mendapatkan bahan baku benang PP maupun tali rafia, karena produk tersebut buatan dalam negeri. Kami membeli dari pabrik karpet di Surabaya dan dari Jawa Barat,” tuturnya.
Harga beli bahan baku benang PP saat ini Rp30.000 per kg. Benang dari pabrikan tersebut terdiri dari aneka warna, merah, hijau, biru, hitam. Untuk itu, Badri tidak perlu mewarnai seperti tatkala memproduksi sarung, dimana bahan baku benang dari pabrikan belum ada warnanya yakni putih.
Secara ringkas, proses produksi tikar lipat atau keset menggunakan benang PP meliputi rewending, pemintalan, penggulungan, penenunan dan terakhir dijahit. Ukuran tikar lipat adalah 2 meter x 3 meter.
Ditanya tentang volume produksi tikar, Badri menyebutkan bahwa setiap hari rata-rata mencapai 1.000 lembar tikar yang melibatkan sekitar 2.000 tenaga kerja di perdesaan. Umumnya tenaga penenun adalah para petani yang menenun di sela-sela kegiatan bertani, sehingga ATBM-nya dibawa ke rumah masing-masing.
“Seorang penenun bisa merampungkan 10 lembar tikar dalam jangka 3 hari dengan upah Rp60.000,” kata Badri.
Sedangkan para pekerja bidang pemintalan maupun penggulungan benang serta penjahitan tikar banyak dilakukan di tempat produksi di Kota Lamongan.
Untuk memperlancar kegiatan produksi, Badri melakukan pengadaan bahanbaku benang yang mencukupi kebutuhan hingga 2 bulan. Sedangkan kebutuhan Badri setiap bulan sebanyak 15 ton benang PP, belum termasuk jenis benang lainnya.
Menurut Badri, persaingan bisnis tikar lipat cukup ketat sebab di Lamongan sendiri terdapat sejumlah produsen alas lantai itu. Belum termasuk produsen di kota lain di Jatim seperti di Malang. Untuk itu, harus membuat terobosan pasar yang didukung tim pemasar yang andal.
“Kami mengoperasikan 4 unit pick up agar dapat memperluas pemasaran hingga pelosok, terutama memasok ke toko-toko pengecer maupun agen,” ungkapnya.
Sejauh ini, penjualan tikar lipat maupun keset menjangkau Pulau Jawa serta Indonesia bagian Timur melalui pedagang di Surabaya. Selain itu, juga ke Sumatera.
Badri enggan menyebutkan omzetnya secara tepat. Namun, keberlangsungan usaha yang digelutinya sejak lama itu menunjukkan bahwa kegiatan produksi tikar lipat cukup menguntungkan, sekaligus mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. (*)