Tak Hanyut, Orang Berjalan di Atas Air
Dalam tradisi tasawuf, hal-hal yang lazim dalam keseharian bisa berbeda dengan hal-hal khusus. Begitulah logika dipermainkan dari kewajaran, untuk meraih kebenaran.
Di antara tradisi itu, adalah perbedaan dalam memahami ruang dan waktu. Bila di masyarakat Jawa dikenal adanya kesaktian, dalam tradisi tasawuf hal itu merupakan kewajaran. Misalnya, kemampuan seseorang yang mampu "melipat waktu" atau hal yang tak lazim lainnya.
Seperti kisah berikut mencerminkan hal-hal yang wajar dalam khazanah humor Sufi.
Suatu hari seorang darwis yang setia pada adat kebiasaan, yang berasal dari madrasah yang sangat disiplin-saleh, berjalan menyusuri tepi sungai. Ia berkonsentrasi merenungkan berbagai masalah moral dan ajaran, sebab begitulah bentuk pengajaran Sufi yang lazim di madrasahnya. Ia menyamakan agama perasaan dengan pencarian Kebenaran hakiki.
Tiba-tiba, renungannya terganggu oleh teriakan keras. Seseorang sedang mengulang-ulang suatu ungkapan darwis. "Tak ada maknanya itu," katanya kepada diri sendiri, "sebab orang itu salah melafalkannya. Seharusnya YA HU, ia bilang U YA HU."
Kemudian, ia menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban, sebagai murid yang lebih teliti, untuk membetulkan ucapan orang yang patut dikasihani itu. Barangkali orang itu belum pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan sebab itu mungkin hanya berusaha yang terbaik untuk menyesuaikan diri dengan ide di balik ungkapan tersebut.
Begitulah darwis itu menyewa sebuah perahu untuk membawanya menuju pulau di tengah-tengah sungai darimana suara tadi berasal.
Ditemukannya orang itu duduk di sebuah gubug alang-alang, mengenakan jubah darwis, bergerak-gerak sambil mengucapkan ungkapan tadi. "Sahabat," kata darwis pertama, "engkau keliru melafalkan ungkapan itu. Sudah kewajibanku untuk memberitahumu, sebab ada pahala bagi mereka yang memberi dan menerima nasihat. Beginilah ucapan yang benar." Lalu diberitahukannya ucapan itu.
"Terima kasih," kata darwis kedua dengan rendah hati.
Darwis pertama naik kembali ke perahunya, merasa puas karena telah melakukan suatu perbuatan baik. Bagaimanapun, konon orang yang bisa mengulang-ulang ungkapan rahasia itu dengan benar, akan bisa berjalan di atas air. Darwis pertama itu belum pernah menyaksikannya sendiri, tetapi senantiasa berharap karena alasan tertentu agar dirinya bisa melakukannya.
Kini, ia tak lagi mendengar suara dari gubug alang-alang itu, dan yakin bahwa pelajarannya sudah diterima dengan baik.
Kemudian, didengarnya darwis kedua itu mulai mengulang-ulang ungkapannya; tetapi ucapan U YA itu kembali keliru dilafalkan ...
Sementara darwis pertama memikirkan hal ini, merenungkan betapa manusia sering kali keras kepala mempertahankan kekeliruan, tiba-tiba ia melihat pemandangan yang ganjil dari pulau itu darwis kedua datang menuju perahunya, berjalan di atas air!
Ia pun berhenti mendayung karena takjub. Darwis kedua tadi mendekatinya dan berkata, "Saudara, maaf saya mengganggu Saudara, tetapi saya harus menemui Saudara untuk menanyakan kembali cara pengucapan yang benar yang Saudara sampaikan tadi, sebab saya kesulitan untuk mengingatnya."
Dalam bahasa Inggris hanya satu arti yang bisa kita tangkap dari kisah ini. Versi Arab sering menggunakan kata-kata yang bunyinya sama tetapi artinya berbeda (homonim) untuk menandakan bahwa kata itu dimaksudkan untuk memperdalam kesadaran, dan juga untuk menunjukkan suatu moral yang dangkal nilainya.
Selain terdapat dalam sastra populer masa kini di Timur, kisah ini juga ditemukan dalam naskah-naskah ajaran darwis, beberapa di antaranya merupakan naskah yang besar.
Versi ini berasal dari tarekat Asaaseen ('esensial', 'asli') di Timur Dekat dan Tengah.
Sumber:
Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.