Tak Hanya Ritual Ibadah, Tindakan dan Pemikiran pun Religiusitas
Religiusitas bagi seorang Muslim bukan hanya diekspresikan dalam aktivitas ritual keagamaan, tapi juga dalam pemikiran dan tindakan. Dalam aktivitas yang diorientasikan untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa-ta'ala (SWT).
"Dalam Islam tidak ada pemisahan antara tindakan, pemikiran, dan yang berada di batin. Tidak ada perbedaan antara yang lahiriah dan batiniah, karena itu Islam menolak lembaga kerohanian,” ujar Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari, dalam keterangan Senin 15 Agustus 2022.
Lembaga kerohanian di sini merupakan suatu konsepsi yang mengatur ekspresi religiusitas yang dimanifestasikan hanya dalam rohani, karena menurut Islam religiusitas itu termasuk dalam tindakan jasmani.
“Ulama (dalam Islam) itu beda betul dengan pemimpin-pemimpin di agama lain,” tuturnya, pada Pengajian Ramadan 1443 H PP Nasyiatul Aisyiyah (NA) yang disiarkan secara hybrid, Senin 15 Agustus 2022.
Religiusitas Gerakan
Menggali akar sejarahnya, Anggota PP Muhammadiyah ini menyebut bahwa, Ulama bukan merupakan lembaga kerohanian, akan tetapi akibat perkembangan sosiologis dan antropologis kemudian menjadi lembaga kerohanian.
Ulama dalam Islam menurut Hajriyanto lebih kepada sebuah kepemimpinan keilmuan – intelektual.
“Karena itu konsep religiusitas – kesalehan itu luas, bukan kesalehan ritual saja, religiusitas gerakan,” kata Hajrianto.
Terkait itu, Muhammadiyah sudah sangat tepat menasbihkan diri sebagai gerakan agama. Dalam hal ini menurutnya Muhammadiyah merupakan gerakan agama yang otentik – orisinal. Kenyataan ini bisa dilacak melalui pernyataan-pernyataan pimpinan Muhammadiyah yang selalu dikonstruksi secara teologis.
Selain itu, hal ini juga bisa dilacak dalam dokumen-dokumen resmi organisasi seperti dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa “Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan umat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Surga “Jannatun Na’im” dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim”.
Hajriyanto berharap religiusitas gerakan yang dimiliki oleh Muhammadiyah menetes ke Organisasi Otonomnya (Ortom) tidak terkecuali kepada Nasyiatul Aisyiyah.
Mengulas sejarah pemilihan nama Aisyah yang kemudian menjadi Aisyiyah yang disematkan kepada organisasi perempuan Muhammadiyah, Hajriyanto menyebut hal itu sebagai usaha Kiai Dahlan menghidupkan peran perempuan.
Kekinian tentang adanya gerakan Islam yang meminggirkan peran perempuan, Hajriyanto menyebut hal ini merupakan pengaruh dari budaya patriarki. Padahal Kiai Dahlan jauh sebelum ini telah mengirimkan murid-murid perempuannya ke sekolah-sekolah Belanda dan sekolah-sekolah agama.