Tak Hanya Butuh Skill, tapi Juga Sentuhan Hati
Gagal di tahun pertama, tak membuat Antonio Da'Costa menyerah. Tahun kedua, dia menjadi PPK lagi yang di dalamnya terdalam proyek di Kampung Malastau. Tahun kedua ini, Antonio tak mau gagal lagi.
Dia memutar otak, bagaimana agar warga Kampung Malastau mau menerima kehadiran proyek rehabilitasi jalan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk turun ke lapangan langsung. Dia ingin mendengarkan apa sebenarnya yang menjadi keberatan warga.
Antonio Da'Costa pun turun ke langsung ke warga. Dia menemui tetua adat untuk diajak bicara. Pertemuan pertama tak membuahkan hasil. Dia malah mendapatkan sambutan parang di leher dari warga. Meski takutnya setengah mati, namun dia yakin, warga tak akan membunuhnya. Mereka cuma sedang emosi saja.
Gagal di pertemuan pertama, Antonio tak menyerah. Dia kembali datang untuk mengajak dialog warga untuk yang kedua kalinya. Hasilnya, tak seluruh warga menolak kehadiran pembangunan jalan. Ini beda dengan pertemuan pertama dimana warga masih emosi.
Antonio Da'Costa datang kembali mengajak warga untuk berdialog untuk ketiga kalinya. Hasilnya pun masih sama. Masih terjadi pro kontra di antara warga. Ada yang menolak, ada yang mau menerima.
Padahal, dalam setiap pertemuan antara dia, warga dan tetua adat, dia selalu merendah. Pertemuan antara warga dilakukan di rumah tetua adat. Dalam setiap pertemuan itu, dia selalu duduk di lantai. Sedangkan para warga lain duduk di kursi.
Dalam membahasakan dirinya, Antonio pun juga selalu menggunakan dengan sebutan "anak". Maksudnya, dia adalah anak yang sedang membutuhkan bimbingan dari tetua adat dan para warga. "Anak boleh bicarakah?" kata Antonio Da Costa menirukan saat bertemu dengan warga.
Namun, segala upaya yang dilakukan Antonio Da'Costa itu tak sepenuhnya berhasil. Masih ada pro kontra di antara warga. Meski sudah melakukan pertemuan ketiga dengan warga Kampung Malastuo.
Hingga akhirnya Antonio Da Costa melakukan pendekatan kepada pihak gereja. Usai kebaktian, warga kembali dipersuasi soal pentingnya kehadiran pembangunan jalan di Kampung Malastua.
"Apakah Bapak-bapak dan Ibu-ibu rela, melihat anak-anak kita dan para orang tua pergi ke gereja dengan berbasah-basah karena banjir," kata Antonio Da'Costa saat diberikan kesempatan berbicara di hadapan warga usai kebaktian itu.
Aksi persuasi yang dilakukan oleh Antonio di gereja ini, ternyata bisa menyentuh hati warga Kampung Malastuo. Mereka akhirnya mau menerima kehadiran proyek pembangunan di jalan di kampung mereka.
Sebagai langkah awal, dipasang pipa saluran aranko berdiameter satu meter. Proyek ini sebagai solusi sementara untuk mengatasi banjir jalan Trans Papua di Kampung Malastuo, Kabupaten Sorong. Proyek ini sekaligus, sebagai jalan masuk untuk proyek-proyek selanjutnya. Untuk tahun depan diperkirakan akan dibangun box culvert untuk mengatasi banjir dan pelebaran jalan.
Berhasil meluluhkan hati warga Kampung Malastuo tak membuat Antonio kemudian meninggalkan warga. Dia tetap menjalin komunikasi dengan warga. Kata dia, warga Kampung Malastuo sebenarnya hanya membutuhkan sentuhan hati dari pemerintah. Pengalaman warga, banyak pekerja proyek yang datang, namun penanggungjawab proyek tak pernah menampakkan batang hidungnya ke warga.
"Warga sebenarnya hanya ingin dimanusiakan. Mereka butuh para pejabat datang untuk permisi kepada warga untuk melaksanakan proyek. Karena selama ini, yang dihadapi warga hanya pekerja yang tak tahu apa-apa," ujar Antonio Da Costa.
Keberhasilan Antonio Da'Costa untuk meluluhkan hati warga Kampung Malastuo ini pun menjadi viral di kalangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kegigihan Antonio Da'Costa memang patut diacungi jempol.
Untuk membangun Trans Papua, tak hanya dibutuhkan skill yang mumpuni saja, tapi juga kemampuan menyentuh hati warga. Wajar, karena selama bertahun-tahun Papua dan Papua Barat, masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat. Baru pada era Presiden Joko Widodo, Papua dan Papua Barat mendapatkan perhatian serius.