Tak Gentar Lawan Gas Air Mata, Demonstran Hong Kong Beraksi Lagi
Massa pro-demokrasi Hong Kong kembali terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian. Polisi Hong Kong menembakkan gas air mata untuk membubarkan ribuan pengunjuk rasa. Para demonstran banyak yang mengenakan masker wajah terlarang dan berkumpul di distrik wisata yang terletak di depan Pelabuhan Kowloon, pada Minggu 27 Oktober 2019.
Aksi tersebut dilakukan untuk mengecam kebrutalan polisi yang dirasakan demonstran selama berbulan-bulan kerusuhan.
Polisi anti huru-hara datang lebih awal, memperingatkan para pengunjuk rasa untuk meninggalkan distrik wisata Tsim Sha Tsui, di seberang Peninsula Hotel era kolonial Inggris.
Para polisi membentuk barikade dan memblokir lalu lintas di arteri utama Nathan Road.
Jumlah pengunjuk rasa meningkat dari menit ke menit. Namun, banyak yang melarikan diri setelah gas air mata dan semprotan merica ditembakkan.
Polisi menahan beberapa pengunjuk rasa ketika mereka berkumpul, banyak yang meneriakkan kata-kata kotor sementara polisi menggunakan pengeras suara untuk memperingatkan yang lain.
Kerumunan di tepi pantai sebagian besar telah bubar setelah beberapa jam dan beberapa menuju utara ke Nathan Road, di mana banyak toko-toko merek mewah telah tutup.
Polisi berdiri di sana dengan membawa tongkat, di tengah bentrokan kecil dengan pengunjuk rasa. Seruan para pengunjuk rasa juga untuk melindungi "muslim, jurnalis, dan rakyat".
Sementara itu, aktivis pro-demokrasi dalam beberapa pekan terakhir menyerang polisi dengan bom bensin dan batu dan menebas satu petugas di leher dengan pisau. Polisi merespons dengan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan peluru tajam sesekali, melukai beberapa pengunjuk rasa dan beberapa wartawan.
Polisi menyangkal tuduhan telah brutal, dengan mengatakan mereka telah menahan diri dalam situasi yang mengancam jiwa.
Para pengunjuk rasa marah atas campur tangan China di Hong Kong, bekas koloni Inggris yang kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997 di bawah formula "satu negara, dua sistem."
China membantah ikut campur. Mereka menuduh pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, adalah pihak yang menimbulkan masalah.