Tak Dianjurkan, Susu Kental Manis masih Jadi Andalan Ibu
Pekerjaan sehari-hari Isti (30) adalah seorang buruh di Jakarta Barat. Dia mempunyai anak yang masih membutuhkan Air Susu Ibu (ASI). Namun karena jam kerjanya yang padat sebagai buruh, dia tak dapat menyusui anaknya sejak bayi. Alhasil, buruh di pabrik arang ini akhirnya memberikan susu tambahan sejak usia bayi sang anak. Isti memilih memberikan susu kental manis sebagai asupan anaknya di saat ia harus bekerja.
“Kan memang itu (kental manis) susu, saya tahunya itu susu, jadi saya kasih sejak masa cuti saya habis,” jelas Isti.
Isti menjelaskan, ia bekerja mulai dari jam 8 pagi hingga pukul 5 sore. Setiap hari, dia selalu menyiapkan makanan sebelum berangkat kerja untuk anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya. Namun untuk sang anak yang masih kecil, Isti hanya bisa susu kental manis. Dia berpikir kental manis toh sama-sama susu.
Tak berbeda dengan Isti, Dewi seorang pembantu rumah tangga harian yang bekerja lima jam per hari. Dia juga mengaku memberikan kental manis untuk dua orang buah hatinya yang saat ini sudah berusia 3 dan 5 tahun.
“Anak yang gede full ASI sampai 1 tahun, karena waktu itu saya tak kerja. Setelah ASI, sambung susu, maunya dia susu kaleng. Karena awalnya tetangga jual pakai es, jadinya doyan dia,” ungkap Dewi.
Waktu itu, Dewi mengaku tidak tahu bahwa kental manis bukan susu yang baik bila diminum oleh anak. Hingga sekitar dua tahun yang lalu, ia mendengar bahwa kental manis berbahaya untuk anak, ia mencoba menghentikan asupan susu untuk sang buah hati.
“Mau dihentikan anaknya tak mau. Malah menangis kejer. Jadi ya sampai sekarang masih,” jawab perempuan 40 tahun itu.
Sayangnya, kebiasaan minum kental manis sang kakak kini juga mulai diikuti oleh adiknya. Adiknya sekarang ikutan minum. Ada keinginan untuk menghentikan kebiasaan ini. Tapi Dewi tak kuasa karena dirinya harus kerja. Penyebabnya, pagi sampai siang anaknya diajga oleh suami. Suaminya inginnya praktis tak ingin dengar tangis anak, makanya tetap diberi kental manis.
Dua ibu ini dan mungkin kebanyakan ibu lainnya di Indonesia mungkin belum tahu. Kental manis telah sejak lama dilarang dijadikan asupan gizi untuk bayi dan balita. Sebab, kandungan gulanya yang tinggi, sementara kandungan gizinya minim membuat jenis kental manis ini justru berisiko menyebabkan gangguan kesehatan untuk anak, terutama balita.
Menurut Dokter Anak Rumah Sakit Permata Depok, Agnes Tri Harjaningrum, adanya rasa manis yang kuat pada kental manis justru membuat anak ketagihan dan tidak berselera untuk memakan makanan sehat lainnya. Hal tersebut, bertentangan dengan program pemerintah yang sedang menggaungkan pentingnya protein hewani untuk mencegah stunting.
"Hubungannya dengan stunting itu, mereka (kental manis) proteinnya rendah, gulanya tinggi itu kental manis. Itu membuat anak kenyang akhirnya dia tidak mau makan sayur dan lain-lain, hanya makan gula saja jadi kalorinya tinggi," katanya yang juga Ahli Gizi itu.
Menurut Agnes, menurunnya nafsu makan akibat konsumsi kental manis yang berlebihan, memberikan dampak secara bertahap pada anak. Pertama, anak akan mengalami defisiensi makronutrien.
Kemudian anak secara perlahan akan mengalami defisiensi mikronutrien atau kekurangan gizi mikro yang salah satunya adalah zink atau protein hewani yang bisa didapat dari ikan, telur, bahkan susu. Jika berat badan anak terus menurun, maka anak bisa terindikasi terkena stunting akibat kekurangan gizi kronis.
Selain bahaya manis yang berlebihan, ada pula potensi bahaya dari kemasan kaleng kental manis. Sebuah penelitian pernah menyebut jika kandungan logam dari kaleng kemasan kental manis tak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Penelitian ini dilakukan sekitar 2013 yang lalu dan berdasarkan sampling yang dilakukan di Pasar Raya Padang Sumatera Barat.
Perempuan Sulit Tentukan Pilihan
Isti dan Dewi hanya sedikit dari ribuan perempuan yang sulit menentukan pilihan. Di satu sisi, mereka adalah ibu yang harus menyediakan asupan gizi yang cukup untuk buah hatinya. Di sisi lain, mereka juga harus ikut membantu perekonomian keluarga.
Sebagai pekerja, Isti dan Dewi semestinya mendapat perlindungan hukum untuk menjalankan peran mereka sebagai ibu, tanpa harus khawatir dengan ancaman pemecatan di tempat kerja. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana tertera durasi atas cuti melahirkan selama 3 bulan dan cuti menyusui selama 1,5 jam setiap hari selama 6 bulan setelah melahirkan. Namun, tidak semua perusahaan bersedia memenuhi hak-hak ini atau bahkan menyediakan fasilitas yang kurang memadai untuk buruh perempuan.
Buruh perempuan sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan tugas-tugas rumah tangga, terutama ketika mereka memiliki bayi yang masih menyusui. Di sisi lain, kesempatan untuk menyusui anak adalah hak asasi setiap ibu dan merupakan bagian penting dalam memberikan nutrisi yang tepat dan optimal bagi bayi.
Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos mengatakan hak-hak para buruh perempuan sudah seharusnya diperhatikan oleh para pemangku kekuasaan baik perusahaan maupun pemerintah.
“Saya tidak tahu bagaimana fungsi dari dinas-dinas setempat termasuk Kementerian Ketenagakerjaan sebenarnya melakukan, karena mereka sebagai pembuat kebijakan dan pengawas sudah seharusnya menjadi penegak hukum,” ujar Nining.
Mantan Ketua Umum KASBI ini melanjutkan, pemerintah merupakan penegak hukum, namun sering kali penegakannya tidak terealisasikan.
“Sering kali ada satu kebijakan yang sedikit memberikan hak buruh, tapi tidak ada penegakannya. Jadi hukum itu juga hanya sebatas formalitas,” jelasnya.
Sebagai contoh, hal ini terjadi saat Kementerian Kesehatan meluncurkan program Pojok ASI, di mana penyediaan pojok laktasi di tempat-tempat umum dan perkantoran, termasuk puskesmas dan rumah sakit, yang diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012.
Namun banyak yang belum menyediakannya karena berbagai alasan, misalnya pengeluaran biaya lebih untuk membangunnya atau berkurangnya waktu untuk bekerja bagi karyawati yang menyusui atau memerah ASI di kantor.
Nining menjelaskan, sejak dikeluarkannya peraturan tersebut, masih sedikit kantor dan tempat umum yang menyediakan pojok laktasi. Dari yang telah menyediakannya pun, hanya segelintir di antaranya yang membuat pojok itu menjadi nyaman dan sangat memperhatikan privasi ibu menyusui.