Tak Bosan Akrabi Naskah, Gandrik Siap Pentas di Surabaya
Di tengah suasana berkabung, Teater Gandrik tak henti berolah rasa dan menguatkan rasa kreatif. Dalam susana duka atas meninggalnya Djaduk Ferianto, Kamis lalu, para pendukung Teater Gandrik justru mencoba untuk lebih mengakrabi naskah.
Naskah dimaksud adalah Para Pensiunan, karya Agus Noor dan Susilo Nugroho. Meski selama ini, Djaduk Ferianto berperan sebagai sutradara, namun kebersamaan dalam berkreasi yang menjadi pengikat Teater Gandrik.
"Ya, mengakrabi naskah merupakan proses yang kelihatan ringan. Tapi, justru di situlah, substansi dari lakon yang dipanggungkan," tutur Kasan Ali, Tim Kreatif Teater Gandrik.
Dalam suasana berkabung itu, persiapan untuk menyajikan yang terbaik bagi publik di Surabaya, tak luntur. Teater Gandrik Sambang Surabaya, akan melakonkan Para Pensiunan di Ciputra Hall, 6-7 Desember 2019 mendatang. Pergelaran kali ini digagas ngopibareng.id, kerja sama Ciputra Hall Surabaya.
Teater Gandrik merupakan kelompok teater Indonesia yang mengolah konsep dan bentuk teater tradisional dengan semangat panggung teater kontemporer. Teater Gandrik dibentuk di Yogyakarta, 12 September 1983.
Dalam perjalanannya, periode 1980-1990 merupakan tahun-tahun produktif Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan, seperti: Pasar Seret (1985), Pensiunan, Sinden (1986) Dhemit, Isyu (1987) Orde Tabung, Juru Kunci, (1988), Upeti, Juragan Abiyoso (1989) yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu.
Teater Gandrik menyuguhkan tema-tema sosial yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari, dengan menggunakan "guyon parikena", yaitu sindiran secara halus, seperti mengejek diri sendiri.
"Seni peran dengan gagasan Teater Gandrik ini, oleh beberapa kritikus, disebut sebagai estetika sampakan, di mana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung "memain-mainkan karakter", sehingga tak ada batasan yang jelas antara "aktor sebagai pemain" dengan "watak yang dimainkannya".
Para personel Teater Gandrik memang tumbuh dalam lingkungan tradisi Jawa yang kental. Lingkungan tradisi inilah yang kemudian banyak memberi warna pada pementasan-pementasan Teater Gandrik.
Tradisi itu juga menjadi jalan bagi Teater Gandrik untuk mencari dan pada akhirnya menemukan identitas estetik.
Tetapi, seperti dikatakan pula oleh Dr. Faruk, para personel Teater Gandrik juga mengalami modernisasi, yang mengakibatkan mereka memiliki keinginan untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, tempat mereka kemudian memasuki sebuah dunia baru yang bernama Indonesia.
Sebagai komunitas kreatif, Teater Gandrik sangat fleksibel dalam keanggotaan. Dengan manajemen kelompok yang fleksibel itu, soliditas kelompok dan iklim kreatif dapat terus terjaga.
Beberapa eksplorasi pencarian dengan berbasis naskah-naskah luar negripun pernah ditelorkan, seperti: Mas Tom, yang merupakan adaptasi dari Tom Jones, karya penulis Inggris Hendry Fielding (1707-1754). Begitu juga lakon terjemahan Keluarga Tot (2009) karya penulis Hungaria, István Örkény yang berpijak pada mazab realism.
Pada tahun 1999, Teater Gandrik mendapatkan kesempatan mementaskan Brigade Maling di Monash University, Australia. Sebelumnya, pada tahun 1990 dan 1992, Teater Gandrik juga mementaskan lakon Dhemit dan Orde Tabung di Singapura.
Sebagai salah satu kelompok teater yang paling konsisten mementaskan karya-karya, Teater Gandrik rutin menyapa penontonnya.
Berikut adalah pertunjukan 6 tahun terakhir: Pan-Dol (2011), Gundala Gawat (2013), Tangis (2015), Orde Tabung-Dramatic Reading (2016). Pada 2017, Teater Gandrik tampil kembali dengan lakon Hakim Sarmin karya Agus Noor. Sebuah lakon yang dikonsepkan dengan bentuk baru yang lebih segar, memadukan seni peran dengan nuansa musik. Kini, 6-7 Desember 2019 menentaskan lakon Para Pensiunan di Surabaya.