Tak Boleh Mencela Pemimpin, Tuntunan bagi Kaum Santri
Pemilihan presiden secara langsung dimaksudkan untuk menentukan pemimpin pemerintahan ke depan. Dalam Pilpres 2024 telah usai dilaksanakan. Masyarakat tinggal menunggu nasilnya, yang akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Terlepas dari itu, pernik-pernik Pilpres dan perayaan demokrasi 2024 telah menjadi bahan perbicangan di tengah masyarakat. Tapi, cukup disayangkan, masih ada yang mencela terhadap calon presiden yang tak didukungnya.
Guna memahami hal itu, Ust Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur memberikan catatan khas seorang kiai pesantren:
Sosok yang saya idamkan memimpin negeri ini sepertinya tidak terpilih dari hitungan sementara (Hasil Pilpres 2024). Tapi banyaknya quick count sepertinya mengarah pada mutawatir. Karena sistem pemilihan ini menyepakati suara yang terbanyak maka saya menerima.
Saya tidak akan mencaci maki atau perbuatan buruk lainnya karena memang dilarang oleh Nabi kita.
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻗﺎﻝ: " «ﻻ ﺗﺴﺒﻮا اﻷﺋﻤﺔ ﻭاﺩﻋﻮا اﻟﻠﻪ ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﺼﻼﺡ ﻓﺈﻥ ﺻﻼﺣﻬﻢ ﻟﻜﻢ ﺻﻼﺡ» ".
Dari Abu Umamah bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Janganlah mencaci maki para pemimpin. Mintakan kepada Allah kebaikan mereka. Sebab kebaikan mereka juga kebaikan untuk kalian" (HR Thabrani)
Siapa pun yang Terpilih dan Dilantik
Maka dialah yang menjadi pemimpin kami yang sah. Di sini juga kami telah berbaiat memilih pemimpin:
وانتخاب الحاكم فى كل عصر قائم مقام البيعة بالخلافة فى صدر الإسلام
Memilih pemimpin di setiap masa sama seperti baiat kepada kh4lifah di masa awal Islam (Fatawa Al-Azhar, 7/359).
Kalau ada teman FB saya yang kecewa karena calonnya tidak terpilih siap-siap saya unfriend jika sampai menjelekkan pemimpin yang terpilih.
Tinta pemilu sudah ada jaminan dari penyelenggara aman untuk wudhu dan Salat, baik bahan atau fungsinya.
Bila ada yang menilai, hasil curang sudah ada mekanismenya di pengadilan. Kalau pun terpaksa menerima maka di Fikih ada istilah "Pemimpin Sah karena darurat," yakni mempertimbangkan yang lebih besar bahaya dan resikonya.
Bagaimana dengan yang tidak memilih kiai alias golput, apakah artinya tidak berbaiat kepada pemimpin. Ya, hukumnya fardhu kifayah, kewajiban kolektif. bukan kewajiban perindividu.
Demikian catatan Ust Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Ulum, Suramadu, Bangkalan Madura.