Tak Berciri Ekstremisme dan Radikalisme, Ini Islam yang Murni
Islam Berkemajuan berlandaskan pada Tauhid yang murni. Dalam artian, hanya Allah yang patut disembah, serta tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Tauhid yang murni menjadi inti dari risalah yang dibawa oleh nabi-nabi dan titik sentral kehidupan umat. Tauhid bermakna pembebasan manusia dari paham kemusyrikan, percampuran dan kenisbian agama.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti tidak sepakat dengan asumsi beberapa pihak yang menghubungkan antara Islam yang murni dengan ekstremisme dan radikalisme. Mereka menganggap bahwa Islam yang murni tidak jauh berbeda dengan kelompok militan yang pro terhadap kekerasan. Penilaian seperti ini, ujar Mu’ti, tidak hanya keliru tapi juga menyesatkan.
Pasalnya, perintah untuk menyembah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya berulang kali disebutkan dalam Kitab Suci. Letak masalahnya bukan pada doktrin Tauhid dan Islam yang murni, melainkan pada tataran pemaknaan dan aktualisasi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Bagi Mu’ti, penanaman Tauhid yang murni justru akan membawa segenap umat pada persatuan.
Abdul Mu’ti menerangkan, tatkala menempatkan Allah sebagai satu-satunya pencipta, maka seluruh materi di alam raya ini ialah makhluk. Semua makhluk adalah ciptaan dan konstruksi-Nya. Allah tidak memiliki sekutu dalam tindakan penciptaan dan tidak ada Pencipta alam semesta selain Dia. Hal ini melahirkan satu prinsip yang disebut dengan unity of creation, kesatuan ciptaan.
Semua Makhluk Allah
“Selain Allah, semua itu makhluk. Malaikat itu makhluk, manusia itu makhluk, setan itu makhluk, tumbuh dan hewan juga makhluk. Yang muncul dari Tauhid yang murni itu adalah sikap di mana menempatkan makhluk sesuai dengan posisi masing-masing,” ucap Mu’ti.
Sebagai kesatuan ciptaan, manusia tidak diperkenankan menindas manusia yang lain. Jika manusia menjajah sesama manusia, maka itulah manusia yang tidak bertauhid. Inilah alasan mengapa Islam melarang praktek perbudakan. Dalam sistem perbudakan selalu ada tindakan kekerasan. Karena itulah, Tauhid yang murni melahirkan manusia yang merdeka, yaitu manusia yang tidak melakukan kekerasan terhadap manusia yang lain.
Selain itu, pemahaman terhadap Tauhid yang murni melahirkan insan-insan optimistis. Islam tidak mengajarkan untuk memandang hidup dengan penuh pesimisme.
Sebab, Allah SWT telah melarang orang yang beriman untuk berputus asa dari rahmat-Nya (QS. Yusuf: 87 dan Az-Zumar: 53), ditimpa malapetaka dan musibah (QS. Al-Isra: 83), dan dicabutnya nikmat (QS. Huud : 9).
Berdasarkan ayat-ayat ini, putus asa merupakan perbuatan yang dilarang Allah Swt, bahkan mengindikasikan sebuah kekufuran.
Abdul Mu’ti memberikan materi pada Pengajian Ramadan 1444 H untuk PWM Jawa Tengah
Jiwa orang yang optimis adalah jiwa orang yang beriman. Karena keimanan yang dimiliki seseorang mustahil akan berputus asa atau kehilangan arah.
Dalam Islam, sikap optimistis ditunjukkan dengan berprasangka baik kepada Allah bahwa dalam setiap kesulitan dan permasalahan terdapat kemudahan dan jalan keluar (QS. Al-Insyirah: 5).
“Orang yang beriman dan orang yang bertauhid itu optimistis. Karena hidup dan mati, itu Allah yang menetapkan. Orang-orang yang bertauhid murni adalah mereka yang tidak pernah putus asa di tengah kesulitan, sebab dirinya yakin bersama dengan kesulitan selalu ada kemudahan,” ujarnya, dalam Pengajian Ramadhan PWM Jateng: Risalah Islam Berkemajuan & Aktualisasinya dalam Kehidupan di Universitas Muhammadiyah Surakarta, belum lama ini.
Advertisement