Tak Ada Gejala, Jurnalis BBC Didiagnosa Autis di Usia 60 Tahun
Sue Nelson berprofesi sebagai jurnalis desk Science BBC News. Ia terinfeksi Covid-19 pada Januari 2022 lalu. Tetapi, alangkah terkejutnya ia begitu dokter mendiagnosa dirinya mengidap autis. Hancur, kaget, dan malu. Bayangkan saja, Sue Nelson diketahui idap autis di usia 60 tahun.
Sue Nelson menyebut gejala autis pertama muncul saat dia masih anak-anak. Hanya saja gejala tersebut tidak mampu dikenali. Sementara, seiring berjalannya waktu, Sue Nelson tidak menunjukkan ciri-ciri autis. Ia mengaku tidak kesulitan dalam interaksi sosial dan komunikasi. Ia juga tidak mengalami kesulitan dengan transisi dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Bahkan, ia fokus pada detail dan reaksi yang tidak biasa terhadap sensasi.
Selama bekerja, Sue Nelson mampu berinteraksi sosial dengan baik. Dia cerewet, menjadi pembawa acara podcast dan dapat memberikan ceramah publik. Bahkan Sue Nelson tidak mempunyai masalah dalam melakukan kontak mata.
Selain Sue, salah satu tokoh autis yang terkenal berprestasi adalah aktivis lingkungan, Gretha Thunberg. Di sisi lain, pakar autisme baru menyadari diagnosis yang kurang di masa lalu. Anak perempuan hanya dinilai berdasarkan pengamatan perilaku lawan jenis. Sehingga kemungkinan diagnosisnya tidak akan selalu dengan mencentang kotak yang "benar".
Semenara, sejak diagnosis, Sue perlahan-lahan membingkai ulang enam dekade hubungan, tindakan, dan perilakunya. Melalui refleksi dirinya pemahaman tentang bagaimana dan mengapa dirinya berperilaku mulai berkembang. Hal ini baik hal baik dan yang mengerikan.
Anti Cahaya, Suara Keras, dan Interaksi Dekat
Sue Nelson mengingat, kala berada di luar ruangan perempuan berambut pirang ini akan mengenakan kacamata hitam. Sebab, matanya sensitif terhadap cahaya terang. Tak hanya itu, semasa kecil Sue Nelson pernah menolak berangkat ke sekolah karena suara murid kala makan terlalu keras.
“Saya tidak suka pada tekstur dan suara tertentu. Meskipun lapar, saya juga pernah meninggalkan piring Sashimi saya setelah tersedak. Saya pun mengonsumsi sup tomat dan pudding cokelat sebagai makanan utama selama bertahun-tahun,” katanya.
Tak hanya itu, dalam berinteraksi Sue Nelson tidak nyaman jika ada orang yang terlalu dekat secara fisik. Sue menganggap hal tersebut seolah-olah akan menyerang ruang tubuhnya. Namun, ketidaknyamanan tersebut tersamarkan oleh ramahnya jabat tangan dan senyuman saat berkenalan.
“Untuk interaksi yang ekstrem seperti mencium atau memeluk saya akan panik. Saya pernah meminta rekan saya mundur dengan nada tegas saat dia mendekati pipi saya untuk berkenalan,” bebernya.
Tak Bisa Dekatkan Warna Tertentu
Sue Nelson merinci, dia memiliki kebiasaan warna tersendiri. Sue tidak bisa menyandingkan makanan oranye dan kuning bersama-sama. Kala memesan sarapan khas Inggris dia memastikan kacang dan telur tidak disajikan di piring yang sama.
“Jangan tanya kenapa. Saya merasa seperti karakter komik Alan Partridge, pemecah gelombang sosis. Tidak heran saya keluarga saya memberi julukan saya aneh,” katanya.
Terpaksa Berpura-pura
Di balik layar sebagai jurnalis, Sue Nelson mengalami kesulitan berpura-pura tertarik pada topik yang tidak dia pedulikan. Sue Nelson pun sangat buruk dalam obrolan ringan. Hal ini menyebabkan perasaan isolasi, kesepian dan penolakan yang intens.
Sebelum siaran, Sue Nelson menderita kram perut karena gugup dan mengalami serangan panik. Tak hanya itu, Sue sering mengkhawatirkan hal-hal yang dia lakukan tidak akan berjalan sesuai rencana. Hal tersebut membuatnya stres.
“Yang bisa menyadari apa yang saya rasakan cuma suami saya saja. Tak banyak yang mengetahui apa yang saya rasakan,” katanya.
Setelah tampil di panggung dan video siarannya selesai Sue Nelson menenangkan diri dengan cara berbaring. Banyak interaksi sosial membuatnya lelah secara fisik. Rupanya tindakan Sue Nelson ini juga sering dilakukan banyak perempuan autis.
“Kami menutupi atau memalsukannya. Kami menyembunyikan ketidaknyamanan kami di bawah lapisan keramahan dan mempelajari perilaku sosial,” jelasnya.
Covid-19 Mengubah Segalanya
Sue Nelson mulai melakukan pengecekan ke medis setelah mengalami kelelahan mental akibat pagebluk. Saat pandemi melanda, Sue memulai memproduksi dokumenter radio mingguan untuk BBC World Service dengan tim OS (Sumber Luar) jaringan.
Saat semua orang berjuang memahami realitas baru dengan menyatukan orang-orang dari seluruh dunia untuk berbagi percakapan yang sangat bermakna. Banyak dari percakapan itu mentah dan emosional. Akibatnya Sue terpaksa harus mendengarkan rekaman wawancara berulang kali untuk diedit. Kisah inilah yang memicu buruknya kondisi mental Sue Nelson.
“Pada dini hari saya mendengar cerita dokter rumah sakit di India tidak bisa menyelamatkan ayahnya dari Covid. Kesepian yang dialami oleh mereka yang terisolasi di padang rumput Kanada atau pedalaman Australia. Kesedihan yang tak tertahankan dari mereka yang orang yang dicintainya meninggal sendirian,” katanya.
Mendengar kisah itu, Sue Nelson menderita insomnia selama hampir satu tahun. Dia pun mengalami depresi. Dia pun secara tidak langsung tiba-tiba terobsesi dengan jamur.
“Saya bisa berjalan berjam-jam untuk menemukan jamur tertentu. Keunikan sensorik saya kacau, suara dengung kipas kamar mandi yang menembus dinding kamar tidur sangat menyiksa secara fisik dan mental. Setiap hari saat bekerja saya sering menangis,” tuturnya.
Diagnosa Autis
Dari kelelahan mental yang dialaminya selama pandemi membuat Sue Nelson merasa ada yang tidak beres. Dia memutuskan mendatangi dokter untuk berkonsultasi. Dokter tersebut merujuknya ke tim kesehatan mental. Dari diagnosa tersebut Sue Nelson diduga autis.
Untuk meyakinkan diagnosanya, Sue Nelson membayar jasa perusahaan terkemuka untuk penilaian pribadi. Ini melibatkan beberapa kuesioner ekstensif dan konsultasi dengan psikolog. Agar hasilnya valid dan akurat. Selain Sue Nelson, ibunya juga diwawancarai selama beberapa jam tentang perilaku.
Dari hasil tersebut Sue Nelson diketahui secara efektif melakukan monolog dan kontak matanya tidak selalu bagus.
“Saya dulu ternyata tidak berbicara sampai saya berusia 18 bulan. Rambut saya juga rontok karena stres saat saya berusia 11 atau 12 tahun,” paparnya.
Diagnosa autis membantu Sue Nelson dan suami dalam memahami perilaku dan kecemasannya. Dia berharap dapat mengetahui hal ini lebih awal sebagai pencegahan. Kendati terhitung terlambat, Sue Nelson pun mengaku lega dan mampu menerima diagnosa tersebut.
“Inilah mengapa saya mempublikasikan tentang autisme. Pemahaman baru tentang kehidupan ini adalah hadiah besar. Memang, saya masih memproses semuanya tetapi tidak lagi menganggap diri saya tidak berguna. Saya hanya terhubung secara berbeda dan itu tidak masalah,” tutupnya.