Tajul Muluk, Memulihkan Semangat Kekerabatan yang Terkoyak
Ada berita menarik (24 September 2020): Tajul Muluk dan kawan-kawan yang pernah mengikuti ajaran Syiah telah kembali keajaran semula: Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja). Ia bersumpah tidak bertaqiyah (strategi berpura-pura) dan menyadari selama ini dalam kesesatan.
Ia dan kakaknya Rais beralih ke Syiah setelah mengaji di Pesantren YAPI Bangil yang tidak disadari ternyata bukan Aswaja. Rais terlebih dahulu sadar kembali ke Aswaja dan berkat Rais-lah, masyarakat mengetahui bahwa terjadi proses Syiahisasi di Tegineneng (satu desa di Sampang). Dampaknya terjadilah konflik seperti yang pernah kita dengar.
Pasca-konflik di Tegineneng itu, PBNU pada 2013 menerjunkan tim terdiri Ketua Lembaga Kajian Pendidikan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam, salah satu lembaga di lingkungan NU, Red) Yachya Maksum dan Lilies Azies untuk mendampingi masyarakat Tegineneng bekoordinasi dengan PCNU khususnya Rais Syuriah KH Syaefudin Abdul Wahid dan Lakpesdam Sampang. Strateginya pada initinya adalah membangkitkan kepercayaan diri dan semangat kekerabatan yang telah terkoyak.
Langkah yang dilakukan antara lain memperbaiki madrasah di empat titik lokasi dan sentuhan perberdayaan ekonomi melalui bantuan ekonomi dengan dana yang dihimpun oleh (Lembaga Amil Zakat dan Sedekat Nahdlatul Ulama (LazisNU) yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Mashuri Malik. Tujuannya adalah pada suatu saat , masyarakat Tegineneng akan menerima kembali saudara saudaranya yang berada dalam “tempat pengungsian di Surabaya.”
Sayang untuk Tajul dan kawan-kawan yang berada di pengungsian di Surabaya terlanjur dibina oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berafiliasi asing. Mereka lebih menonjolkan kebebasan agama sesuai dengan paradigma internasional, melalaikan proses dalam mencapai tujuan. Padahal di balik isu kebebasan, ada prinsip atau budaya masyarakat yang diabaikan khususnya pola dakwah taqiyah, suatu cara dakwah menyembunyikan tujuan yang sebenarnya.
Penghormatan terhadap budaya adalah kunci toleransi umat beragama di Indonesia , sehingga tidak pernah terjadi konflik agama, kecuali insiden kecil dalam lingkup sempit.
Kalau pola dakwahnya tidak mencederai budaya, konflik tidak akan terjadi. Di tempat lain juga ada kelompok masyarakat Syiah, tetapi tidak terjadi kisruh karena hidup selaras budaya.
Kejadian di Tegineneng itu bisa menjadi pelajaran, cara dakwah seperti di atas, tidak mendukung kebersamaan dan ketertiban. Dalam negara Pancasia, cara dakwah harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila antara lain terbuka, jujur, tidak eksklusif tanpa kekerasan/paksaan, damai, selaras dengan budaya.
Di sini perlunya “code of conduct“ yang perlu diupayakan menjadi kesepakatan bersama untuk mengantisipasi dakwah pada era globalisasi. Code of conduct tersebut sebagai pelengkap terhadap Undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama.
“Penghormatan kepada budaya atau kearifan lokal adalah kunci” dalam menegakkan toleransi, di samping keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Dr KH As'ad Said Ali
(Pengamat Sosial Politik, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015)
Advertisement