Taiwan (9): Mutasi Bentuk Perang
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
Namanya Kinmen. Dalam sejarah dunia, lebih dikenal sebagai Quemoy. Nama ini merujuk pada kepulauan milik Taiwan. Posisinya menghadap provinsi Fujian, wilayah Republik Rakyat China (RRC). Kepulauan Quemoy seakan merupakan wajah Taiwan yang berhadapan langsung dengan RRC. Fokus pandangannya persis mengarah ke kota Xiamen, milik RRC; yang menatap balik secara tajam dari pantai seberang.
Quemoy merupakan wilayah terluar Taiwan di ujung paling barat. Sementara di utaranya terdapat Matsu–rangkaian 36 pulau yang tergolek di selat Taiwan–berhadapan langsung dengan pantai timur RRC. Sebagai kepulauan terluar, “Quemoy dan Matsu”, secara geografis letaknya memang terpencil. Posisinya justru dekat dengan RRC, mengingat jauhnya dengan pulau utama Taiwan, Formosa, mencapai sekitar 187 km. Sementara jaraknya yang paling dekat dengan pantai RRC hanya dipisahkan oleh selat sempit selebar 2 kilometer!
Meski terpencil, dari segi geopolitik global, “Quemoy dan Matsu” pernah memiliki posisi strategis. Seperti kota Berlin di Jerman dan Panmunjom di De-Militarized Zone (DMZ) perbatasan dua Korea, dua kepulauan tersebut termasuk frontline dunia Kapitalis dalam menghadapi kubu Komunis.
Tirai besi
Signifikasi geopolitik kedua kepulauan tersebut bahkan sempat menjadi perdebatan dua kandidat dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1960. Dengan merujuk Truman Doctrine tentang Containment policy (kebijakan pembendungan) AS terhadap Komunis, Richard Nixon–kandidat partai Republik yang kala itu juga menjabat Wakil Presiden–menegaskan: “Semasa Presiden Truman, 600 juta orang berada di belakang Iron Curtain (Tirai Besi) Komunis, meliputi negara-negara satelit di Eropa Timur dan China. Kami sudah menghentikan mereka di Quemoy dan Matsu, kami menyetopnya di Indochina, kami menghadangnya di Lebanon, dan kami juga telah membendungnya di kawasan lain”.
Sementara saingannya, kandidat Presiden dari partai Demokrat–Senator John F. Kennedy–semula ragu untuk mempertahankan kedua pulau tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Ia menandaskan bahwa “Quemoy dan Matsu adalah tempat yang tidaklah terlalu baik sebagai garis pertahanan AS di Timur Jauh”. Namun, setelah terpilih jadi Presiden, Kennedy berubah pikiran. Ia justru mengikuti andangan Nixon untuk mempertahankan Quemoy dan Matsu sebagai “The Areas of Freedom” (wilayah bebas dari Komunis) di bawah kekuasaan Taiwan, setelah sempat menjadi lokasi perang berdarah tahun 1949 dan hancur akibat bombardemen RRC pada saat krisis Selat Taiwan tahun 1958.
Di era Perang Dingin (Cold War) global, Quemoy adalah benteng terluar Taiwan dalam menghadapi RRC yang Komunis. Sampai tahun 1990-an, kepulauan ini di bawah kendali administrasi militer. Sebagai benteng dan basis militer terluar, di pulau kecil ini Taiwan sempat mengerahkan sampai 100 ribu personil. Berbagai sarana pendukung perang konvensional juga digelar. Selain persenjataan kavaleri, seperti meriam dan tank; barikade anti-tank sebagai antisipasi pendaratan amphibi juga berbaris rapi di pantai Guningtou yang berpasir putih. Quemoy adalah saksi bisu konflik ideologis antara kedua negara, dengan saling serang propaganda. Selain penyebaran pamflet, perang suara (sonic war) dilancarkan menyeberangi selat dengan menggunakan loudspeakers kapasitas super. Loudspeakers Taiwan memancarkan propaganda anti-Komunis, sebaliknya pengeras suara RRC di Xiamen membalasnya dengan mendendangkan pesan-pesan Nasionalis-Komunis.
Ketika Cold War global berakhir pada akhir tahun 1980-an, perang ideologi-pun memudar. Peran strategis geopolitik Quemoy juga mengalami penurunan ralatif. Fungsi utamanya sebagai benteng militer terluar ditanggalkan. Misinya sebagai corong propaganda melalui sonic war terdepan-pun dihentikan. Bahkan, wilayah Quemoy yang semula di bawah kendali militer, pada awal tahun 1990-an pengelolaan administratifnya diserahkan pada otoritas sipil.
Apakah transformasi politik global meredakan ketegangan di selat Taiwan? Ternyata tidak! Cold War hanya berubah cakupannya, dari sifat global menjadi tingkat regional. Di dalamnya, bara konflik antara RRC dan Taiwan tetap menyala. Yang terjadi hanyalah sekedar mutasi bentuk perang. Tekanan narasi bergeser dari tema ideologi menjadi klaim territori. Sementara metode perang bercabang mengikuti perkembangan jaman. Semua ini mengingatkan pada postulat Henry Kisingger: “Pada masa Cold War, garis pemisah [perang] ditentukan oleh kekuatan militer. Pada periode kontemporer, garis pemisah tersebut tidak hanya ditentukan oleh pengerahan kekuatan militer”.
Tak dipungkiri, militer RRC memang telah berkembang semakin kuat. Analis strategi maritim, Alessio Patalano, menegaskan bahwa dalam kurun dua dekade terakhir, geliat armada lautnya sangat terlihat. Tak pelak, perkembangan mutakhir ini menebar ancaman di wilayah laut sekitar. Selain kualitas amunisi yang mumpuni, dan jangkauan dan presisi rudal semakin handal, cakupan gelarannya juga semakin lebar. Tak heran, jika armada RRC diprediksi menjadi hegemon regional, bahkan bisa berkembang menjadi kekuatan global.
Tapi, kekuatan militer bukanlah satu-satunya sarana perang. Latihan militer besar-besaran dengan mengepung Taiwan, menyusul kunjungan Nancy Pelosi minggu lalu, hanyalah salah satu bentuk tekanan. Pada saat yang sama RRC telah memperlebar medan pertempuran. Dalam bidang ekonomi, perang juga dilakukan. RRC telah melarang impor 2000 jenis makanan asal Taiwan, setara dengan 75 persen ekspor makanan Taiwan ke China daratan.
Perang Opini
Di sisi lain, perang opini merupakan front baru pertempuran. Dalam konteks ini, RRC melancarkan ‘cognitive attack’ (serangan kognitif). Direktur divisi cyber security di Taipei–Tzeng Yi-suo–mengarisbawahi bahwa sasaran serangan ini adalah otak dan cara berpikir orang Taiwan untuk mengubah perilaku yang Beijing harapkan. Metodenya, dengan mengerahkan pasukan online untuk menyebarkan informasi yang salah (misinformation) guna memanipulasi opini publik. Targetnya, terutama kalangan generasi muda yang sikapnya cenderung semakin menjauh dari RRC karena merasa “terlahir secara mandiri”, dan merasa tak punya ikatan dengan China. Tak pelak, perwakilan Taiwan di Washington, Bi-khim Hsiao, ikut berteriak: “China juga telah meluncurkan serangan siber, disinformasi, perang kognitif dan psikologis pada orang-orang Taiwan, yang bertujuan melemahkan tekad kami untuk membela diri dan juga mencoba menabur perpecahan dalam masyarakat kami!".
Dalam perang opini ini, nampak ironi kelemahan demokrasi dalam berhadapan dengan otokrasi. Ketika negara demokrasi seperti Taiwan menjamin arus bebas informasi, pada saat itu pula negara ini rentan terhadap serangan cognitive war dari China. Tapi, sebaliknya, negara demokrasi sulit untuk membalasnya, karena dengan sistem otokrasinya China mampu mengontrol secara ketat semua struktur media dan internetnya, sehingga relatif kedap terhadap serangan balik. Akibatnya, dalam setiap perang opini, negara demokrasi cenderung dalam posisi defensif.
Perang opini yang dilancarkan RRC merupakan bagian dari ambisi globalnya. Sejak tahun 2015, China memang telah memperkuat strategi propagandanya. Pemimpin kantor berita Xinhua–Zhu Muzhi–mengakui bagaimana para pemimpinnya telah menandaskan bahwa “China perlu meningkatkan pertempuran untuk memenangi opini dunia”. Pada Februari 2016, Xie Jinping menegaskan: “Di mana pun pembaca berada, di mana pun pemirsa berada, di situlah saluran propaganda harus melebarkan tentakelnya”. Merriden Varrall (2020), dalam laporan investigatif-nya menceritakan bahwa transformasi China Central Television (CCTV) menjadi China Global Television Network (CGTN) adalah perombakan dalam aspek institusionalnya. Dalam peluncurannya, Presiden Xie Jinping mendesak channel tersebut untuk “tell China’s story well, spread China’s voice well, let the world know a three-dimensional, colourful China, and showcase China’s role as a builder of world peace” (cerita kisah tentang Tiongkok secara baik, menyebarkan suara Tiongkok dengan bagus, mengabarkan pada dunia tentang Tiongkok tiga dimensi yang penuh warna, dan menunjukkan peran Tiongkok sebagai pembangun perdamaian dunia).
Dengan metode perang yang semakin berkembang, negara dituntut mengantisipasi secara rinci. Bidang pertahanan yang multidimensi pada gilirannya menuntut aspek yang terdiversifikasi. Aspek kemiliteran hanyalah salah satu sisi dari keamanan. Negara harus mampu mengontrol komuditas strategis, finansial, serta infomasi dan tehnologi secara mandiri. Aspek yang terakhir tak kalah penting dari yang lainnya. Alasannya, mengutip Meidyatama Suryodiningrat–Direktur Utama LKBN Antara; di masa information glut dan di era Post-truth serta Alternative facts (Alt-facts) seperti sekarang ini, informasi bukan lagi sekedar aset tetapi justru merupakan ‘senjata’. Jadi teringat pada novel fiksi yang terkenal: Ghost Fleet!. Karya P.W. Singer dan August Cole ini kaya akan imaginasi perang masa depan. Tapi, jangan-jangan, sebagian indikasinya kini memang sudah berjalan. (bersambung)
Advertisement