Taiwan (8): Drama Nancy Pelosi
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Akhirnya teka-teki itu terjawab. Setelah sempat dirahasiakan, Nancy Pelosi-Ketua Konggres Amerika Serikat (AS) jadi singgah di Taiwan. Sebelumnya, kalkulasi diplomatik dan perhitungan keamanan membalut misteri rencana kunjungan. Bahkan, untuk meredam kemarahan Republik Rakyat China (RRC), dalam press release AS, Taiwan tak tercantum dalam itinerary perjalanan.
Faktor keamanan menjadi salah satu pertimbangan utama dalam kunjungan Pelosi ke Taiwan. Kedatangannya dalam keremangan malam di Songshan Airport, Taipei, jam 22:44; bukan tanpa alasan. Jalur terbang pesawatnya juga menghindari laut China Selatan, karena, seperti diungkapkannya sendiri, militer AS kawatir pesawatnya ”akan ditembak jatuh” oleh RRC. Take-off dari Kuala Lumpur, pesawatnya terbang melintasi Kalimantan, lalu menyusuri lorong udara di timur Filipina. Sementara di laut Filipina, kapal induk USS Ronald Reagan beserta beberapa kapal pendukungnya sudah menunggu dan ‘bersiaga’, dengan dalih melakukan pelayaran ‘rutin’.
Di Taiwan, kunjungan Pelosi mendapatkan sambutan hangat. The 101 Taipei Tower–gedung tertinggi di Taiwan–menggunakan blinking text menyambutnya dengan berbagai ucapan, seperti “Speaker Pelosi, welcome to Taiwan”, “Taiwan hearts US”, dan “Thank you, friend of democracy, firm support for Taiwan”, "Long friendship between the U.S. and Taiwan" and "Maintain World Order together". Dalam pidato sambutannya, Presiden Tsai Ing-wen juga mengatakan benar-benar berterima kasih atas kunjungan Pelosi beserta delegasinya, yang telah “menunjukkan dukungan setia Kongres AS untuk Taiwan".
Di antara muhibahnya ke lima negara Asia, kunjungan Pelosi ke Taiwan memang yang paling menyita perhatian, baik domestik dan internasional. Pasalnya, kunjungan itu dilakukan di bawah bayang-bayang ancaman RRC. Di Taiwan sendiri, atensi publik juga tinggi. Sore menjelang kedatangan Pelosi, dan juga malam hari kala ketibaannya di Grand Hyatt hotel–tempat bermalam delegasi; di luarnya demonstran berkumpul untuk meyalurkan aspirasi.
Demonstrasi mencerminkan opini publik yang terbelah. Tak aneh, mengingat Taiwan adalah negara demokrasi. Dua kelompok berbeda sikap, sehingga memaksa polisi untuk menengahinya dengan sigap. Di satu sisi, serombongan kaum tua yang menentang kunjungan. Kelompok ini membawa beberapa poster, antara lain berbunyi “Ugly America”, “American witch, get out of Taiwan Chinese”, dan “Warmonger Pelosi, don’t make trouble for us, we need peace”. Kelompok ini membawa bendera Taiwan dan bendera RRC. Mereka menentang kedatangan Pelosi karena kawatir memantik kemarahan RRC, yang justru akan berdampak buruk pada Taiwan.
Di sisi yang lain, terdapat demonstran dari kalangan muda yang mendukung kedatangan Pelosi. Beberapa spanduk yang dibawa antara lain bertuliskan “Welcome to Taiwan Republic” dan “Speaker Pelosi, welcome to Taiwan”. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa, sehingga pandangannya lebih kritis. Salah satunya, Cheng Yun-fan, berpendapat realistis. Ia menegaskan bahwa kunjungan Pelosi “tak akan membawa keuntungan riil”, sembari berkata: “Sejujurnya, kunjungan ini tidak berarti apapun, ini hanyalah sekedar ‘perang kata-kata’ (it’s just a war of words). Namun, rekannya–Yang Hsing-Ruei–punya pandangan yang lebih optimistis. Dia justru melihat signifikansi kunjungan Pelosi, dengan harapan kunjungan ini bisa meningkatkan hubungan Taiwan-AS. Bahkan, dia cenderung tak peduli dengan sikap RRC, sembari mengatakan bahwa “pernyataan and komentar China yang penuh kebencian memang selalu muncul. Jadi, kami melihatnya dengan tenang dan tidak terlalu takut”.
Kunjungan Pelosi menyulut RRC bereaksi. Selain menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Taiwan, seperti sebelumnya dikawatirkan publik dunia, China juga meresponnya secara militer. Hanya 15 menit setelah Pelosi mendarat di Taipei, RRC mengumumkan latihan militer skala besar selama empat hari (4-7/8) di enam area laut sekitar Taiwan, seakan mengurung dan memblokade negara pulau ini. Terdeteksi 63 pesawat RRC telah melintasi garis median di selat Taiwan. Bahkan, armada lautnya di selatan hanya berjarak 9,5 km dari kota Kaohsiung. Tapi, yang lebih mengerikan, sebelas rudal Du Feng jenis DF-17 sempat ditembakkan dari provinsi Fujian dan Zhejiang. Empat di antaranya bahkan melintas di atas Taipei. Tak mau ambil resiko, Taoyuan International Airport terpaksa membatalkan 51 penerbangan.
Dunia internasional-pun bereaksi. Negara-negara G7 (AS, Canada, Perancis, Inggris, Jepang, Jerman, dan Italy) mengeluarkan statemen mengecam tindakan RRC, “khususnya latihan militer dan pemaksaan ekonomi, yang berisiko eskalasi [ketegangan] yang tidak perlu”. Argumennya, kunjungan Pelosi tak bisa dijadikan dalih untuk aktivitas militer yang agresif di Selat Taiwan. Menlu RRC, Wang Yi, menilai pernyataan G7 itu tak lebih dari sekedar “selembar kertas bekas”, karena isinya “mencampur-adukan yang benar dengan yang salah, dan mengkesampingkan fakta” bahwa RRC adalah “pemerintah Tiongkok yang sah”. Taiwan-pun tak mau kalah. Menlu Joseph Wu, menegaskan Taiwan adalah negara yang berdaulat yang berhak mengundang legislator dari seluruh dunia. Alasannya, mencari teman adalah hak dan penting untuk dilakukan.
Bagaimana memaknai ketegangan selat Taiwan di atas? Setidaknya, ada tiga level penjelasan yang saling menguatkan. Pada level individu, konflik muncul karena terdapatnya dua tokoh asertif dan percaya diri yang saling berhadapan. Nancy Pelosi adalah politisi kawakan yang puritan terhadap demokrasi, dan senantisa kritis terhadap RRC. Saat mengunjungi Beijing tahun 1991, dia singgah di Tiananmen square guna bersimpati pada pejuang demokrasi China yang dibunuh, seraya membentangkan spanduk bertuliskan “to those who died for democracy”. Dalam kunjungannya ke Taiwan kali ini, dalam pernyataan resminya, dia memandang Taiwan sebagai “sistem demokrasi yang hidup dan kuat … [tapi] sedang terancam [oleh China]”.
Sementara di sisi lain, Presiden RRC–Xie Jinping–adalah sosok yang sangat percaya diri. Mengaku sebagai “orang yang paham politik secara mendalam”, sejak berkuasa tahun 2012 dia berhasil mereformasi politik, ekonomi, dan militer, termasuk politik luar negeri yang agresif. Walhasil, tahun 2021 Partai Komunis China (PKC) mendeklarasikan ideologi Xie Jinping sebagai “Esensi Kebudayaan China”. Resolusi ini, tak pelak telah mentahbiskan Xie Jinping setara dengan Mao Ze Dong dan Deng Xiao Ping. Apalagi, menurut mantan PM Australia yang sekian lama berinteraksi dengannya–Kevin Rudd–menggambarkan Xie Jinping, seperti Vladimir Putin, memandang dirinya sebagai “a man of history” (manusia pembentuk sejarah). Di manapun, polarisasi pandangan antara dua orang yang asertif dan overconfident seringkali sulit untuk dijembatani.
Di level nasional, negara yang terlibat dalam konflik ini juga kokoh dengan prinsip dan kepentingan nasional-nya masing-masing. Bagi Pelosi, mengunjungi Taiwan adalah krusial untuk menunjukkan komitmen AS terhadap semua sekutunya. Meskipun mengadopsi One China Policy, sejak tahun 1979 AS juga telah meratifikasi Taiwan Relations Act (TRA). Ditegaskannya, “Amerika harus mengingat sumpah itu [TRA]. Kita harus berdiri di samping Taiwan, yang merupakan ‘an island of resilience’. Sekarang, lebih dari sebelumnya, solidaritas Amerika dengan Taiwan sangat penting”. Apalagi, Pelosi-yang berasal dari Partai Demokrat–dalam kunjunganya ke Taiwan juga membawa misi bipartisan, karena didukung oleh 26 anggota Kongres dari partai Republik.
Bagi RRC, kunjungan dan pernyataan Pelosi telah mengusik mimpi besarnya. Menyusul sumpah Xie Jinping tahun 2017, bagi RRC reunifikasi Taiwan–menurut Rudd–merupakan a total article of faith (sebuah pasal keyakinan). Argumennya, pembaharuan bangsa China tak akan pernah tuntas tanpa memasukkan Taiwan di dalamnya. Sementara Taiwan juga kukuh dengan pendiriannya sebagai negara yang berdaulat. Presiden Tsai Ing-wen menegaskan: “Menghadapi ancaman militer yang meningkat, Taiwan tidak akan mundur. Kami akan melakukan [langkah] apapun untuk memperkuat kemampuan pertahanan diri Taiwan”.
Sementara pada level internasional, rivalitas negara adidaya sangat kentara. Dalam krisis Taiwan saat ini, RRC tidak mau lagi tunduk terhadap tekanan AS. Apalagi, Rusia secara tegas mendukungnya. Meningkatnya asertivitas RRC bisa diukur mulai dari testimoni Newt Gingrich, the US House Speaker periode 1979-1999. Saat mau berkunjung ke Taiwan tahun 1997, dia memperingatkan Presiden RRC–Jiang Zemin–dan PM Li Peng: “Kami [AS] ingin Anda mengerti, kami akan membela Taiwan”. Kala itu, RRC hanya menjawab: “Ok, noted! Karena kami tidak bermaksud menyerang, anda tidak perlu membela. Mari kita lanjutkan dan bicarakan tentang bagaimana kita akan menyelesaikan masalah ini". Kali ini, sikap RRC sangat kontras. Ketika Pelosi akan berkunjung ke Taiwan, Xie Jinping justru memperingatkan AS: “Jangan bermain api!", karena kunjungan semacam itu itu akan dihadapi RRC dengan “langkah-langkah tegas dan kuat untuk menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial-[nya]”.
AS gusar terhadap asertivitas RRC. Apalagi, kini, Rusia membelanya. Tak pelak, Pelosi-pun bertekad untuk tetap berkunjung ke Taiwan. Yang menarik, narasi yang dipakainya bersifat global guna menyudutkan aliansi RRC–Rusia. Ditegaskannya: “Kita tidak bisa berdiam diri saat PKC terus mengancam Taiwan–dan demokrasi itu sendiri … [k]ami melakukan kunjungan ini pada saat dunia menghadapi pilihan antara otokrasi dan demokrasi. Saat Rusia mengobarkan perang ilegal melawan Ukraina, [p]enting bagi Amerika dan sekutu kami untuk menjelaskan bahwa kami tidak pernah menyerah pada otokrat”. Meski Joe Biden irit bicara, penegasan Pelosi mudah diterka sebagai cerminkan sikapnya sebagai Presiden, dengan dua alasan. Pertama, Pelosi dan Biden sama-sama berasal dari partai Demokrat. Kedua, yang lebih penting, narasi biner “demokrasi versus otokrasi” sebenarnya adalah narasi Biden sejak kampanyenya dalam pemilihan Presiden.
Kunjungan Pelosi 19 jam ke Taiwan bak sebuah drama. Namun, muhibah ini sarat simbolisasi. Clifford Geertz (1980) pernah merajut istilah ‘theatre state’. Ini bukanlah sebuah teori, tapi hanya sebuah model abstrak untuk memahami. Dalam krisis Taiwan ada kemiripan, setidaknya, sebagai an organized spectacle (sebuah tontonan yang terorganisir); di mana para aktor utama sibuk mendramatisir status dan superioritas mereka. Tapi, dramatisasi kali ini bukan tanpa resiko, karena telah menggunakan pemaksaan dan persenjataan. Peringatan Menlu ASEAN di Phnom Penh Rabu lalu (3/8) menjadi sangat relevan, bahwa kebuntuan dalam krisis selat Taiwan “dapat mengacaukan kawasan dan akhirnya menyebabkan salah perhitungan, konfrontasi serius, konflik terbuka, dan konsekuensi tak terduga di antara negara-negara besar”! (bersambung)
*) Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University