Taiwan (7): Hidup di Tengah Ancaman
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD
Rabu siang lalu, istirahat saya terganggu. Ketika lelap tertidur, setelah semalam nglembur, saya terbangun dengan tertegun. Di luar, suara sirine meraung-raung. Sementara alarm handphone saya berbunyi keras. Dengan blinking mode, muncul pesan di layar berjudul Presidential alert! (peringatan Presiden).
Dengan bi-lingual Mandarin dan Inggris, tertulis pesan “WanAn exercise, Missile Alert, Air raid drill!” (Gladi WanAn, peringatan rudal, latihan antisipasi serangan udara). Beberapa kali saya coba mematikan, namun selalu tak mempan. Tapi, sekian menit kemudian peringatan berakhir sendiri.
Dari pesan whatsApp seorang teman, baru saya faham. Latihan tersebut berlangsung setengah jam. Hari itu memang giliran Taiwan bagian Selatan, mencakup wilayah Kaohsiung, Pingtung, dan Tainan. Yang terkesan adalah kedisiplinan. Pasar dan pertokoan senyap. Jalan lengang, karena tak ada orang yang lalu-lalang. Aturannya, yang sedang berada di rumah diminta berlindung ke bunker. Yang dalam perjalanan harus taat aturan.
Penumpang Mass Rapid Transit (MRT) dilarang keluar stasiun. Semua kendaraan menepi, penumpangnya segera mencari tempat berlindung. Tapi, ketertiban itu mungkin juga karena kekawatiran. Pasalnya, merujuk National Defense Act, bagi pelanggar protokol evakuasi, denda sudah menanti. Untuk ukuran Indonesia, besarannya relatif tinggi, berkisar antara 15 sampai 75 juta rupiah.
Gladi WanAn merupakan bentuk mitigasi dampak perang. Tujuannya, meningkatkan kesadaran publik tentang peringatan darurat untuk mengurangi korban jika serangan benar-benar terjadi. Kegiatan ini dilaksanakan tahunan. Tahun 1978, Presiden kedua Taiwan–Chiang Ching-kuo–menginisiasi latihan ini di tengah kekawatiran akan keselamatan negeri; menyusul keberhasilan Republik Rakyat China (RRC) mendepaknya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hampir dua bulan berada di Taiwan, saya telah menerima pertanyaan dua orang teman. Dengan berseloroh, salah satunya menganjurkan segera pulang. Alasannya, RRC akan segera mencaplok Taiwan. Sedangkan yang lain penasaran keadaan di Taiwan.
Pasalnya, dia membaca running text di berita televisi yang tertulis: “Serangan RRC ke Taiwan hanya masalah waktu!”. Tapi, saya tak terlalu mengkhawatirkannya. Alasannya, sejauh ini kehidupan sosial tetap berlangsung normal. Kehidupan ekonomi juga tak pernah berhenti. Apalagi, saya berkalkulasi; RRC tidak akan gegabah untuk menyerang, mengingat dampak sosial-ekonominya yang bukan alang kepalang.
Warga Taiwan nampaknya sudah terbiasa hidup di tengah ancaman. Bukan berarti mereka abai terhadap kemungkinan perang. Tapi, antisipasi penyelamatan orang sipil telah dipersiapkan. Latihan darurat menghadapi serangan secara reguler dilaksanakan. Bunker tempat berlindung dari serangan udara juga telah lama disediakan.
Pemerintah Taiwan baru saja mengumumkan telah membangun 105.000 bunker yang tersebar di seantero negeri, dengan kapasitas 85 juta orang–hampir empat kali lipat dari jumlah penduduknya. Semuanya dibangun dengan perencanaan matang. Lokasinya diatur dengan mempertimbangkan kepadatan penduduk. Kebetulan, di samping kamar kos saya dan di seberang jalan terdapat dua bunker dengan gerbang yang berhadapan. Memang semua bunker belum terbukti tahan terhadap serangan bom. Tapi, laiknya di Jepang, kualitas bangunan di Taiwan dirancang minimal tahan terhadap gempa yang sering mengguncang.
Lain di grassroots, lain pula di level elit politik. Di kalangan petinggi negara, kecemasan Taiwan akan serangan RRC sangat kentara. Hampir setiap hari media nasional, seperti Taiwan News dan Taipei Times, menyuguhkan berita tentang ancaman tersebut dari berbagai sudut. Misal, dua hari lalu (29/8), Taiwan News memberitakan Perdana Menteri Taiwan–Su Tseng-chang–membahas ancaman militer RRC dengan delegasi parlemen Jepang. Hari ini (31/8) Taipei Times, memuat kenaikan 4,09% anggaran pertahanan Taiwan menjadi US$12,78 milyar (sekitar 19 triliun rupiah) menyusul ancaman RRC yang terus meningkat. Taiwan yang luasnya hanya separuh pulau Jawa, ternyata punya anggaran militer hampir tiga kali lipat Indonesia.
Namun, dari segi jumlah personil militer beserta anggarannya, Taiwan jauh tak sebanding dengan RRC. Taiwan mempunyai total personel militer (aktif, cadangan, dan paramiliter) berjumlah 1,831,000 personel, dan RRC punya 4,015.000 personel. Sementara dari segi anggaran pertahanan, RRC mengalokasikan US$ 229,5 milyar, lebih dari 17 kali lipat besaran milik Taiwan. Dengan postur kemiliteran yang timpang ini, tak heran jika negara pulau ini senantiasa gelisah menghadapi ancaman negara tetangganya tersebut.
Kelemahan senantiasa membawa perasaan tidak aman. Kegelisahan Taiwan tak lepas dari kesalahan geo-strategi, atau setidaknya kekeliruan kalkulasi, Amerika Serikat sebagai sekutu dekat. Pada tahun 1970-an, di kala RRC masih lemah; untuk pertahanannya Taiwan berniat bikin senjata nuklir sebagai kekuatan penggetar (deterrence).
Tapi, Amerika Serikat melarangnya, karena kawatir terjadi proliferasi nuklir. Tahun 1980-an, Taiwan berupaya untuk membuat bom yang mematikan. Tapi, sekali lagi, sekutu dekatnya ini melarangnya. Akhirnya, di tengah penurunan relatif kekuatan global Amerika, Taiwan hidup di tengah ancaman dengan gundah gulana.
Kesempatan sering tidak datang dua kali. Kini, Taiwan hampir tak mungkin lagi membangun senjata nuklir, karena RRC dengan kekuatannya akan mampu menjegalnya. Satu-satunya metode pertahanan yang tersisa adalah risk strategy. Maknanya, jika ada serangan setidaknya mampu membuat kerugian besar pihak lawan. Strategi ini berulang kali ditegaskan petinggi Taiwan. Perwakilannya di Washington, Bi-khim Hsiao, menandaskan: “Setiap serangan militer China akan menghadapi perlawanan yang mematikan”.
Dari segi geopolitik, Taiwan memang berada dalam kawasan yang tidak menguntungkan. Orang boleh mengatakan Perang Dingin (Cold War) telah berakhir. Namun, saya memandang pendapat itu terlalu menggeneralisir. Argumennya, Asia Timur laiknya sebuah ‘a Cold War sanctuary’ (cagar alam Perang Dingin). Kawasan ini adalah satu-satunya pojok dunia di mana dua perang–Korean war (1953-1955) dan perang China Komunis versus China nasionalis (1949)–berakhir tanpa ada perjanjian damai. Tak pelak, Cold War tetap berjalan, dengan pihak-pihak yang selalu berkoar menebar ancaman.
Terlebih lagi, situasi di Barat sedang tidak bersahabat. Perang Ukraina juga bergema dalam konflik Taiwan versus China. Bi-khim Hsiao sekali lagi mengatakan: “Seperti semua orang di dunia, kami memperhatikan situasi [perang Ukraina] dengan penuh perhatian dan kecemasan”.
Alasannya, “Taiwan memiliki keadaan sejarah dan geopolitik tersendiri, dan perlu untuk fokus pada prioritasnya guna memperkuat pertahanan diri”. Bahkan, Presiden Taiwan–Tsai Ing-wen–menugaskan National Security Council membantukan task force untuk mengkaji bagaimana ketegangan antara Rusia dan Ukraina dapat mempengaruhi konflik Taipei dengan Beijing.
Memang, China nampaknya belajar dari Rusia. Kala menyerbu Ukraina, Vladimir Putin menghindari istilah “perang”, tapi menggunakan ‘operasi militer khusus’ (special military operation). Tak pelak, langkah ini menginspirasi RRC. Presiden Xie Jin-ping telah menegaskan bahwa tentaranya bisa melakukan ‘operasi militer selain perang’ (military operations other than war–MOOTW).
Eugene Kuo Yujen, seorang analis kebijakan, menilai langkah ini menjustifikasi kegiatan RRC di ‘area abu-abu’-nya (grey area). Implikasinya, militer China bisa beroperasi dengan misi melindungi klaim China atas kedaulatan dan integritas teritorial di sepanjang perbatasan darat dan wilayah maritim yang dipersengketakan.
Secara geopolitik, MOOTW punya implikasi yang luas. Bagi RRC, kebijakan ini untuk menghindari kata invasi beserta konsekuensinya. Sebaliknya, bagi Taiwan ini menambah keseriusan ancaman. Analis politik independen China–Wu Qiang–menegaskan bahwa dengan kebijakan itu invasi ke Taiwan bukanlah masuk kategori ‘perang’, melainkan sekedar ‘kelanjutan perang saudara yang belum selesai pada tahun 1949’.
Pada saat yang sama, kebijakan nasional tersebut juga berimplikasi regional. Bagi negara-negara yang mempunyai sengketa wilayah dengan China, kebijakan ini adalah ancaman yang serius, tak terkecuali Indonesia, yang beberapa kali bersinggungan dengan China menyangkut eksplorasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natura Utara. Yujen sekali lagi menegaskan, bahwa kebijakan itu “mengirimkan sinyal yang sangat mengancam ke Taiwan, Jepang dan negara-negara lainnya di Laut China Selatan”.
Lesson learned-nya, kajian teori geopolitik tampaknya tak pernah usang, bahkan merupakan tugas yang menantang. Terkadang, kajiannya memang agak spekulatif. Tapi, dalam perspektif strategik pertahanan hal ini tetap diperlukan. Bahkan, analisa imaginatif perlu dikembangkan. Banyak orang mungkin dulu tak berpikir bahwa Jepang yang digdaya akan merosot kekuatannya.
Publik semula juga tak menduga bahwa RRC akan berhasil menjadi kekuatan dunia. Mengutip konsep Realis dari Mearsheimer, salah satu misteri dalam hubungan internasional adalah kita tak tahu pasti kemauan negara lain, terutama niatnya di masa depan. Seperti kata Thomas Hobbes, masa depan adalah kekosongan yang tak terjangkau, hanya dengan teori kita bisa menentukan apa yang mungkin terjadi. (bersambung)
* Penulis adalah Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
Advertisement