Taiwan (6): Di mana Soft-Power Indonesia?
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Di setiap ruang publik Kota Kaohsiung, saya selalu merasa melihat orang Indonesia. Memang, perasaan ini belum tentu benar, karena hanya berdasar tampilan fisik. Tapi, rasa yakin menguat kala mengingat di Taiwan jumlah orang Indonesia relatif banyak. Dengan fakta ini, mendadak terlintas di benak, bagaimana persepsi orang Taiwan terhadap Indonesia?
Memang tidak tersedia data survei. Tapi, sekian sumber membantu identifikasi. Persepsi seseorang biasanya dibentuk oleh sejauh mana pengetahuannya terhadap obyek yang diamati. Dari kesaksian di jagad maya, ketika mendengar Indonesia, setidaknya ada empat kata terlintas dalam benak warga Taiwan: migrant workers, Bali, muslim, dan Indomie. Asosiasi utama dengan migrant workers dapat dimaklumi, karena Indonesia merupakan penyedia terbesar. Dari total sekitar 700 ribu pekerja migran, Indonesia menyumbang 263 ribu pekerja, disusul Vietnam (236 ribu), Filipina (150 ribu), dan Thailand (58 ribu). Profesor Michael Hsiao, Direktur Taiwan-Asia Exchange Foundation (TAEF), mengakui kuatnya stigma warga Taiwan terhadap Indonesia tersebut. Menurutnya, stigma ini harus diubah.
Pengetahuan warga Taiwan terhadap Asia Tenggara, khususnya Indonesia, relatif minim. Penyebabnya, selama ini, kebijakan negaranya lebih berorientasi ke Asia Timur dan Amerika. Salah satu ilustrasi, pada konferensi Internasional “The Journey of Asian Coffee”, di Kaohsiung tahun 2019; penyelenggara sempat menyebut Filipina adalah pusat kopi Asia Tenggara. Saya mengoreksinya, dengan mengatakan bahwa Vietnam dan Indonesia justru masuk empat besar produsen kopi dunia. Bahkan, mereka terkejut saat saya katakan bahwa Pusat Penelitian Kopi dan Kakao berada di Jember, seraya menunjukkan produknya yang sempat saya bawa.
Ketidaktahuan, kadang, memicu persepsi yang keliru. Dengan segala hormat dan maaf kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang telah menyumbang devisa negara; stigma warga Taiwan pada Indonesia ‘hanya’ sebagai penyedia tenaga kerja adalah penyederhanaan yang pejoratif. Stigma ini tak lepas dari terbatasnya informasi. Kini, signfikansi kekuatan (power) negara telah meluas dari sekedar “kaya akan kepemilikan modal” (capital-rich) menjadi “kaya akan penyediaan informasi” (information-rich). Fungsinya, membentuk kekuatan atraktif yang bisa mengundang ketertarikan pihak lain. Joseph Nye, Jr. menyebutnya sebagai soft-power. Di Taiwan, soft-power inilah yang merupakan kelemahan utama Indonesia.
Rilis platform perjalanan digital Agoda (18 Juli 2022) kemarin bisa menjadi titik awal kajian. Dari 10 besar destinasi wisata di Asia Timur, Thailand adalah jawaranya. Dua posisi disabetnya: Bangkok (urutan 1) dan Pattaya (8), disusul Korea Selatan dengan dua tempat: Pulau Jeju (2) dan Seoul (5), Malaysia dua kota: Kuala Lumpur (3) dan Penang (10), Tokyo (5), Singapura (6), Bali (7), dan Manila (9). Persepsi turis asal Taiwan nampaknya selaras dengan urutan ini. Thailand dianggap punya daya tarik lebih daripada Indonesia. Salah satu indikatornya adalah jumlah turis yang datang. Sebelum pandemi, turis Taiwan yang mengunjungi Thailand lebih dari 550 ribu orang, sementara yang ke Indonesia tak lebih dari 200 ribu wisatawan.
Seorang dosen bahasa di Taiwan memberi tambahan ilustrasi. Dari tiga pilihan bahasa asing–Indonesia, Vietnam, dan Thailand–bahasa Thailand selalu menjadi favorit, disusul oleh bahasa Vietnam. Sementara bahasa Indonesia selalu berada di urutan buncit. Hasil selidiknya, bahasa Thailand selalu menjadi favorit mahasiswa karena kekuatan soft-power negaranya, seperti makanan, destinasi wisata, film, dan drama. Sedangkan bahasa Vietnam dipilih mahasiswa lebih karena keturunan. Motivasi utamanya mereka ingin belajar bahasa ibunya. Di Taiwan, jumlah wanita Vietnam yang menikah dengan pria setempat (Vietnamese marriage brides) memang yang terbanyak di antara wanita asing lainnya. Sementara bahasa Indonesia peminatnya sedikit, karena banyak yang mempersepsikannya sebagai bahasa pekerja migran.
Prestasi ekonomi juga bagian dari soft power sebuah negeri. Warga Taiwan, kagum dan selalu tertarik pada Jepang; mengingat fasilitasi negeri ini terhadap kemajuan negaranya. Tapi, mereka juga hormat pada Singapura. Meskipun sebuah negara kecil, Singapura diakuinya sebagai kekuatan ekonomi Asia. Terhadap Korea Selatan, warga Taiwan cenderung segan bercampur heran. Pasalnya, negara yang semula tertinggal, kini menyalipnya baik di bidang ekonomi maupun industri. Sementara Indonesia belum masuk hitungan. Kasus komparasi ini memperkuat proposisi bahwa diplomasi senantiasa bermula dari negeri sendiri.
Di Taiwan, keunggulan soft-power Vietnam dan Thailand juga terletak pada makanan. Dengan gastrodiplomasi yang lebih digerakkan masyarakat (society-driven gastrodiplomacy), restoran Vietnam umumnya menyasar kelas ekonomi menengah Taiwan. Berdasar informasi terkini, saya merevisi asumsi. Semula, saya berfikir bahwa berkembangnya gastrodiplomasi Vietnam berkat ‘koloni’ diasporanya di berbagai negara; yang dulunya merupakan pengungsi perang Vietnam. Untuk kasus Taiwan, aspek antropologi ternyata juga berkontribusi. Diaspora Vietnam punya ciri yang berbeda dengan diaspora Indonesia. Jika berhasil secara ekonomi, diaspora Indonesia biasanya mengirim uangnya ke keluarganya di tanah air. Sementara, diaspora Vietnam justru mengajak kerabatnya untuk ikut bermukim di Taiwan. Tak heran, jika koloni diaspora Vietnam selalu berkembang dan positif bagi gastrodiplomasi negaranya.
Thailand, punya strategi gastrodiplomasi tersendiri. Gaung jargonnya sebagai “The Kitchen to the World” dan “The food basket of Asia” sangat terasa. Di Taiwan, kulinernya bahkan telah merambah segmen konsumen kelas atas. Banyak restoran Thailand yang menembus mall terkenal, bahkan hotel berbintang. Dengan ditopang kebijakan negara (state-driven gastrodiplomacy), keunggulan gastrodiplomasi Thailand terletak pada tatakelola (governance)-nya yang baik. Selain menjamin rantai pasokan bahan dan bumbu asli masakan, pemerintah Thailand juga mendorong native Thai chef untuk bekerja di berbagai restoran Thailand di Taiwan. Upaya Thailand ini memang tidak selalu berjalan mulus. Namun, komitmen tersebut selalu menyediakan peluang alternatif. Rapeeporn Sillapakit, native Thai chef restoran Sukothai di Grand Sheraton Hotel, Taipei; bersaksi bagaimana sulitnya bumbu asli Thailand masuk ke Republik Rakyat China (RRC). Menghadapi kesulitan ini, dia akhirnya memutuskan untuk pindah ke Taiwan.
Good governance gastrodiplomasi Thailand punya serangkaian dampak positif. Pertama, memenuhi misi promosi tentang citra dan citarasa masakan aslinya. Matthew Fulco–seorang gastronom–menuturkan, awal tahun 2000-an di Taiwan hanya terdapat ‘restoran Thailand tiruan’ (fake Thai restaurants). Tapi, sekarang mudah menemukan restoran yang menyajikan masakan dengan citarasa otentik Thailand. Selain itu, pasokan bahan makanan dan bumbu asli juga memungkinkan menyediaan beragam masakan, tanpa terpaku pada makanan unggulan. Chef Sillapakit sekali lagi menegaskan: “Makanan klasik Thailand (street food) dan masakan kerajaan Thailand (Thai royal cuisine) keduanya tersedia [di restoran ini], mewakili apa yang disajikan di Thailand hari ini”. Bahkan, masakan muslim dari Thailand selatan–seperti beef massaman curry–juga mampu disuguhkan. Dampak lain, yang tak kalah penting; penyediaan bahan dan bumbu asli juga memfasilitasi masakan Thailand naik reputasi. Chef Ya–native Thai chef di restoran Thai Made, Taipei; menegaskan: “Kami [memang] bertujuan untuk menghadirkan street food Thailand terbaik dengan kemasan ala restoran”.
Dalam era globalisasi, masakan dengan citarasa otentik semakin menjadi urgensi. Pasalnya, selain mewakili identitas diri, masakan juga berkaitan dengan tempat dan mobilitas orang. Semakin banyaknya turis Taiwan yang mengunjungi Thailand membuat mereka ketagihan masakan negeri ini dengan citarasa asli. Chao Chun-teng, pemilik restoran Thai & Thai, menandaskan: “Banyak anak muda Taiwan yang mengunjungi Thailand untuk liburan, dan mereka sangat ingin mencoba makanan asli Thailand. Mereka datang ke restoran ini karena ingin merasakan jenis makanan yang sama dengan yang mereka nikmati saat bepergian ke Thailand”. Meskipun restoran juga menyediakan menu pesanan, citarasa asli tetap menjadi andalan. Chef Ya menimpali: “Meskipun menyediakan hidangan dengan rasa sesuai permintaan, [restoran] Thai Made ini tetap menyajikan masakan dengan citarasa asli seperti yang ada di Thailand; karena, bagaimanapun, itulah yang diinginkan sebagian besar pelanggan kami!" .
Bagaimana dengan gastrodiplomasi Indonesia? Dari sekian banyak kedai makan Indonesia di Taiwan, dari segi citarasa asli masakan relatif sudah mewakili. Tapi, untuk menjadi ujung tombak gastrodiplomasi mereka masih perlu dibenahi, khususnya menyangkut kemasan dan promosi. Pasalnya, pada umumnya orientasi utama mereka masih terbatas pada melayani diaspora Indonesia (inward-looking practice). Padahal, esensi gastrodiplomasi adalah untuk meraih konsumen mancanegara (outward-looking practice). Belajar dari gastrodiplomasi Vietnam dan Thailand di Taiwan, penting bagi gastrodiplomasi Indonesia–Indonesia Spices Up the World–untuk secara kreatif, dan juga imaginatif, mengantisipasi salah satu fenomena globalisasi; yakni kaitan erat antara makanan (food), tempat (places), dan orang (people). (bersambung)
*) Penulis Adalah Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University