Taiwan (5): Terkesima Saudara Tua
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
----------------------------------------------------
Kala naik bis kota, saya melewati stasiun kereta api utama kota Kaohsiung. Stasiun ini sedang berbenah diri. Di tengah reruntuhan material yang terserak, sebuah bangunan tua tetap kokoh berdiri tegak. Kini, posisinya sekarang agak di tepi.
Seorang teman cerita: “Bangunan tua itu peninggalan Jepang. Saat awal pembangunan, gedung tua itu dipertahankan dengan cara menggesernya tanpa merusak penampilannya”. Kala mendengarnya, sikap saya biasa saja. Pikir saya, sudah jamak mempertahankan bangunan lama untuk cagar budaya.
Namun, setelah sekian kali naik Mass Rapid Transport (MRT), sikap saya mulai berubah. Setiap melewati stasiun, pemberitahuan lisan selalu dalam empat bahasa: Mandarin, Hakka, Hokkien, dan Inggris.
Namun, yang menarik, di setiap stasiun besar dan hub-station, petunjuknya ditambah dengan bahasa Jepang. Uniknya, petunjuk dalam bahasa Jepang konon hanya ada di Kaohsiung. Bahkan, saat naik MRT di Taipei, saya tak menjumpai petunjuk berbahasa Jepang.
Kala penasaran mengusik, saya mulai selidik. Dalam kolom Jacky Chen (bukan bintang film), bertajuk “The Cornerstone of History in Taiwan's South--Kaohsiung High School”, ada yang menarik. Lin Shou-shan, seorang alumni dan anggota legislatif kota Kaohsiung, menuturkan: “SMA Kaohsiung, didirikan pada tahun 1922, adalah sekolah negeri pertama di Kota Kaohsiung.
Sama seperti banyak sekolah-sekolah tua Taiwan yang telah berjalan dengan baik pada periode pendudukan Jepang maupun periode setelah penyerahan kembali ke [Republic of] China, alumni SMA Kaohsiung adalah mikrokosmos sejarah Taiwan. Setiap ada temu alumni, lagu sekolah Jepang, lagu sekolah Mandarin, dan medley bahasa Mandarin, bahasa Taiwan, serta bahasa Jepang membuatnya sangat meriah". Sebuah ungkapan kegembiraan dibalut kebanggaan. Ekspresi yang nyaris tanpa kritis, bahkan terhadap apa yang bernuansa Jepang, sang penjajah.
Dibandingkan Indonesia, fenomena di atas sangat kontras. Dalam level mikro, keluarga inti saya bisa jadi ilustrasi. Almarhumah Mbah Putri sangat lanyah berbahasa Belanda.
Turun ke almarhum Bapak, beliau sudah tidak bisa berbahasa Belanda. Pasalnya, ada aturan tak resmi pasca kemerdekaan, apapun yang berbau penjajah harus enyah.
Jatuh ke generasi ketiga, saya setengah mati untuk menguasai bahasa ‘kolonial’ ini. Nasionalisme, memang berwajah ‘janus’. Di satu sisi, bisa memicu sikap heroik cinta negara. Tapi, di sisi lain, kadang juga mendorong retroaksi budaya, termasuk purifikasi bahasa.
Di Taiwan, sikap ramah terhadap penjajah nampaknya menurun dalam budayanya. Saat saya membayar curry fish steak rice sambil berucap “thank you”; sang penjual–seorang ibu tengah baya–membalasnya “Xie xie” (terima kasih) sambil membungkukkan badan (bowing). Mendapati etiket sosial ala Jepang, saya semakin yakin bahwa Taiwan punya ikatan khusus dengan ‘saudara tua’ ini.
Sekian informasi mengkonfirmasi. Warga Taiwan, terutama di bagian Selatan; memang hormat pada Jepang sekaligus mengadopsi budayanya. Deng Qingbo–pengamat sosial–juga menegaskan: “Meski secara etnis dan bahasa banyak kesamaan dengan Cina daratan, orang Taiwan lebih cepat menyerap budaya Jepang daripada budaya Cina sendiri”. Tapi, saya masih penasaran. Alasannya, tidak mungkin ada penyerapan tanpa kedekatan.
Sejarah merekam kisah. Menyusul kemenangan perang Jepang atas China, melalui Shimonoseki treaty tahun 1895; Taiwan berganti tuan. Beberapa tokoh lokal Taiwan sempat menolak dan memproklamirkan Republik Formosa. Tapi, umurnya tak lebih dari sepuluh hari. Dukungan politik sepi, resistensi-pun juga mati. Maklum, sampai saat itu, Taiwan belum pernah punya sistem pemerintahan terpusat.
Teringat cerita teman Aceh, kuatnya resistensi Aceh terhadap Belanda tak lepas dari berkah kesultanan Aceh. Proposisi ini punya landasan empiris. Secara komparatif, kaum pendatang kulit putih berhasil menguasai Australia berlandaskan doktrin Columbus: ‘no men’s land” (tanah tak bertuan).
Sama dengan Taiwan, suku Aborigin di Australia secara politis lemah karena tidak pernah punya sistem politik terpusat. Perlawanan yang lama di Thailand Selatan, antara lain, karena esksistensi kerajaan Pattani. Pemberontakan di Filipina selatan juga kuat berkat sejarah kesultanan Manguindanao dan kesultanan Sulu. Struktur politik yang mandiri selalu memberi ruang referensi, inspirasi, dan glorifikasi masa lalu bagi sebuah resistensi.
Tapi, di mata warga Taiwan, Jepang adalah ‘penjajah yang baik hati ‘(benign colonialist). Persepsi ini tak lepas dari visi dan aksi Jepang terhadap negeri ini. Bangkitnya ekonomi dan militer Jepang sejak restorasi Meiji (1868-1912), telah melahirkan ‘doktrin perluasan ke selatan’ (The Southern Expansion Doctrine).
Ambisi ekspansionis ini, menjadikan Taiwan sebagai laboratorium Jepang untuk eksperimen ‘model koloni’. Jepang segera mengganti penguasaan militer dengan pemerintahan sipil.
Dalam program pembangunan, Jepang menegakkan ketertiban sosial, membangun fasilitas kesehatan dan infrastruktur, serta memperkenalkan ekonomi modern. Akibatnya, penjajahan Jepang selama 50 tahun telah membuat Taiwan menjadi tempat paling maju di Asia Timur di luar Jepang sendiri.
Modernisasi Jepang atas Taiwan, nampak lebih berkesan di bagian selatan. Stephen M. Young–diplomat Amerika Serikat yang pernah tinggal di Kaohsiung–membuat testimoni: “Jepang secara metodis telah membangun bendungan, jaringan kereta api, industri, dan sekolah”.
Di Kaohsiung, sekian oral history juga mengklarifikasi. Jepang telah membangun kota lengkap dengan infrastrukturnya; termasuk jalan, pelabuhan, dan fasilitas pendidikan. Sekitar delapan puluh persen dari total sekolah di kota ini, dalam berbagai jenjang, dibangun oleh Jepang.
Strategi modernisasi Jepang atas Taiwan, menarik untuk dicermati. Meskipun keras dalam aspek politik, Jepang relatif lunak dalam manajemen sosial. Tokyo menghindari kebijakan asimilasi terhadap Taiwan. Selain memungkinkan warga Taiwan untuk mengakses ilmu pengetahuan dan tehnologi, strategi ini juga telah membuat mereka nyaman dalam mempelajari bahasa dan menyerap budaya Jepang. Selama setengah abad penjajahan Jepang (1895-1945), filosofi dan cara hidup Jepang telah mengakar dalam masyarakat Taiwan. Bahkan, sebagian besar tetap bertahan hingga kini. Banyak elemen budaya Jepang, seperti etiket sosial dan olah raga telah diadopsi oleh Taiwan. Baseball–salah satu olahraga terpopuler–dikenalkan oleh Jepang.
Sementara sastra Jepang, seperti narasi film, pop-culture, dan novelnya; juga banyak diakulturasi warga Taiwan. Semua proses ini, pada gilirannya, menekan budaya dan bahasa China.
Dari aspek sosial, dampak akulturasi budaya Jepang bisa dirasakan sampai kini. Berkat massifnya akulturasi budaya Jepang ini, lambat laun menjadikan generasi pasca Perang Dunia II sampai yang millenial semakin terasing terhadap Republik Rakyat China (RRC).
Sementara, hingga kini RRC belum pernah benar-benar merebut kembali hegemoninya dalam budaya dan sastra Taiwan. Tak heran, jika RRC pusing dengan kekaguman dan kedekatan kultural Taiwan dengan Jepang.
Kepeningan RRC bertambah, karena realitas budaya akhirnya berimbas pada ranah politik. Semakin teralinasinya generasi millenial Taiwan terhadap budaya China daratan, telah menggerogoti asosiasinya dengan RRC. Proses alinasi ini berkontribusi membentuk identitas politik baru. Menguatnya dukungan Democratic Progressive Party (DPP)–partai pro-kemerdekaan dan sedang berkuasa saat ini–sedikit banyak merupakan refleksi proses alinasi tersebut.
Dalam policy speech-nya di Jakarta beberapa hari lalu, Menteri RRRC–Wang Yi–menegaskan lagi bahwa Taiwan adalah ‘wilayah suci’-nya, dan negaranya tidak akan pernah mengesampingkan kemungkinan penggunaan kekuatan militer untuk merebutnya. Ancaman ini, antara lain, bisa dipahami dalam konteks kegelisahan terhadap realitas budaya dan politik di atas.
Kematian mantan PM Jepang–Shinzo Abe–minggu lalu menambah ilustrasi. Wakil Presiden Taiwan, Lai Ching-te, menyempatkan diri terbang ke Jepang guna memberikan penghormatan terakhir. RRC memprotes Jepang atas kunjungan pejabat tinggi Taiwan ini, seraya menuntutnya untuk memperjelas posisi diplomatiknya terhadap Taiwan.
Kunjungan ini memang menunjukkan kedekatan antara Taiwan dan Jepang. Reportase Associated Press cukup mewakili: “Abe dikenal sebagai pendukung setia Taiwan, sebuah koloni Jepang selama 50 tahun di mana sentimen publiknya sangat condong ke Tokyo”. Narasi ini adalah penegasan yang tak terpungkiri,
Menjelang akhir guratan pena ini, terlintas puzzle komparatif yang pelik. Di Taiwan, penjajahan telah membuat peradabannya berkembang baik secara linier-kumulatif. Salah satu akibatnya, negeri ini berhasil meraih kemajuan yang signifikan.
Di Indonesia, sebaliknya, nasionalisme justru menjadi disrupsi peradaban. Pasca penjajahan, nasionalisme telah menegasikan apapun yang berbau kolonial. Ironisnya, derivasi nasionalisme–patriotisme–juga selalu menghadirkan penegasian berikutnya dalam setiap pergantian rejim. Tampilnya orde Baru, diikuti dengan pembersihan apapun yang berbau orde Lama.
Sementara reformasi, sekali lagi, juga disertai penegasian terhadap apapun yang berbau orde Baru. Tak pelak, peradaban kita tidak pernah berkembang secara linier-kumulatif, melainkan berproses laiknya garis zig-zag yang patah-patah. Akibatnya, kita sering hanya berjalan di tempat meski berkeringat. Apakah ini ekspresi dari excessive patriotism?! Entah! Apakah diperlukan re-inventing Indonesian nationalism?! Mungkin! (bersambung)