Taiwan (4): Gerai Kuliner Dunia
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
Makanan jadi salah satu concern saat pergi ke Taiwan. Alasannya bersifat pribadi. Prinsip ‘saat kerja keras, perut harus puas’, meski sedikit naif, menjadi referensi. Sebenarnya, di Wenzao University ada dormitori. Tapi, saya pilih kost sendiri.
Pilihan pada Gushan district, walau agak jauh dari Wenzao, karena kedai makan lebih bervariasi. Meskipun relatif sering berkelana, sifat ‘ndeso’ saya tetap melekat. Ledekan teman sekampung: ”Koyok umum e wong Jowo, weteng usreg lek gak ketemu sego” (seperti umumnya orang Jawa, perut berontak kalau tak makan nasi).
Sifat ndeso saya pernah sempat menyiksa. Kala terbang ke Amerika Serikat (AS), dari Jakarta saya pakai Garuda airways dan harus stop over di Singapura. Pagi buta, esoknya, dengan Northwest airlines saya menuju kota Minneapolis, Minnesota; dengan transit di bandara Narita, Tokyo.
Dalam perjalanan selama 20 jam itu, praktis makan nasi cuma sekali; ketika pakai Garuda dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Celakanya, saat transit di Minneapolis untuk menuju kota St. Louis, Missouri; badai besar melanda. Akibatnya, semua flght schedule dibatalkan. Dengan delay penerbangan sembilan jam, perut mulai tak toleran. Maklum, dua hari tak terisi nasi.
Namun, rejeki kadang datang tanpo sangkan (tak terduga). Saat membeli roti di bandara, sang penjual-seorang India-American-tahu saya gelisah. Setelah menjawab pertanyaannya bahwa saya pertama kali ke AS dan punya saudara tapi sulit menghubungi, dia berbaik hati. Dia call adik saya-yang sedang menempuh PhD di Ohio State University (OSU), Columbus–lewat handphone-nya. Berbincang dengan adik sesaat, keluhan saya mencuat: “Dimana bisa dapat nasi?!”. Sambil tertawa dia jawab: “Tidak mudah Mas, apalagi di pedalaman Amerika”. Nasehatnya singkat: “Besok sebaiknya pagi-pagi ke kampus. Jika ketemu mahasiswa China, sampeyan akan selamat; karena komunitas China, di manapun, selalu membawa kulturnya; termasuk makanannya, seperti nasi, tofu (tahu), dan noddle (mie)!”.
Esok paginya, setelah menunggu dua jam di kampus Southern Illinois University at Carbondale (SIUC), saya bertemu mahasiswi asal China. Saya lega karena derita perut akan berakhir. Dia menunjukkan Asian grocery satu-satunya di kota kecil itu. Di grocery ini bukan hanya ada nasi dan tofu, tapi juga tersedia Indomie!
Muhibah kali ini ke Taiwan, nasi jelas tak masalah. Pasalnya, nasi adalah bagian dari kultur warga, dan padi merupakan salah satu tanaman pokok. Sewaktu perjalanan ke Taipei dengan High Speed Railways (HSR), di kanan-kiri terhampar luas persawahan padi. Tapi, padi unggulannya berasal dari wilayah timur, khususnya wilayah antara Hualien dan Taitung.
Concern saya justru pada halalnya makanan. Alasannya, isu halal ini sempat bikin saya masgul. Kala mencari makan di Cambodia, di sela-sela workshop di kota Siem Reap; sahabat asal Malaysia mengingatkan bahwa halal juga menuntut alat masak bebas dari sentuhan daging babi.
Jujur, saya tak mampu memenuhi tuntutan ini. Pasalnya, hampir semua kedai makan Taiwan menyediakan menu daging babi. Walhasil, saya terpaksa bersikap ‘moderat’. Jurus pamungkasnya: niat bismillah!
Upaya meraih kehalalan juga bisa dengan memilih makanan. Saya pribadi berusaha hanya mengkonsumsi makanan dari veggies (sayur-sayuran), telur, atau ikan, seperti curry fish steak rice. Harganya terjangkau, rata-rata NT$ 80 (sekitar 40 ribu rupiah) per porsi. Harga yang relatif murah, berkat persaingan ketat.
Di Taiwan–termasuk di Kaohsiung–street food juga boga andalan. Hal ini mengingatkan pada Bangkok-Thailand; yang tersohor dengan street food vendor-nya. Meski tidak se-massif Bangkok, suasana mirip. Di kala petang, apalagi di akhir pekan, vendor makanan menggelar meja-kursi di trotoar pinggir jalan.
Alternatif makanan halal lain adalah masakan Indonesia. Di Taiwan, kedai makanan Indonesia relatif banyak. Jumlah yang wajar, karena terdapat lebih dari 263 ribu warga Indonesia. Mayoritasnya adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Di Central Railways Station-Taipei, saya menemukan satu lorong yang dihiasi deretan kedai Indonesia. Di Kaohsiung saja setidaknya terdapat enam kedai makanan Indonesia. Nuansa Indonesia sangat kental di sini. Salah satunya–Pondok Mak’e–bahkan menyediakan menu tradisional, seperti nasi tiwul lengkap dengan ikan asin, tempe, dan lodeh pedasnya. Menu ini, mengingatkan saya pada masa kecil di kampung. Saat menikmatinya, saya melihat sekeliling banyak pengunjung yang nampaknya para PMI.
Dari perspektif culinary (the art of cooking)–yaitu kajian makanan dari aspek citarasa–taste masakan Taiwan tidaklah spicy. Bahkan, bagi lidah saya rasanya hambar. Untuk menikmatinya saya selalu menambahkan ‘bumbu’ asal Indonesia, seperti kecap manis, salt pepper, dan sambal bawang. Semua bahan ini tersedia di toko Indonesia.
Saya juga sempat mencoba dua macam mi instant Taiwan yang, konon, mendekati citarasa Indonesia. Namun, dua macam mi instant tersebut masih juga terasa kurang spicy. Terbersit dalam fikiran, rempah nampaknya memang keunggulan makanan Indonesia. Selain bisa sebagai elemen identitas kuliner nasional, saya optimis, makanan berempah akan mempunyai ceruk pasar global. Apalagi, coretan ilmiah yang tayang di universitas Melbourne, menegaskan bahwa spicy bukan sekedar rasa (taste), tapi juga sebuah sensasi: “Unlike sweetness, saltiness and sourness, spiciness is a sensation … [because] stimulates receptors in our mouth called Polymodal Nociceptors and trigger a reaction”.
Sementara dari sudut gastronomy (the art of eating)–yakni kajian makanan dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi––kuliner Taiwan juga menawan. Bahkan, observasi dan fieldwork telah merevisi asumsi awal saya. Salah satunya tentang fenomena vegetarian.
Sekian kali saya membeli veggies, aneka masakannya selalu beragam. Tapi, rasanya semua cenderung hambar. Hasil selidik menunjukkan bahwa hal itu terkait dengan keyakinan. Rasa hambar masakan veggies, antara lain, dikarenakan sebagian vegetarian Taiwan menghindari bawang, baik itu bawang bombay, daun bawang, maupun bawang putih. Alasannya, bawang diyakini dapat merangsang indera manusia secara berlebihan.
Selain itu, saya mendapati pembeli veggies selalu ramai. Semula saya berasumsi, vegitarian lebih didorong alasan kesehatan. Ternyata, faktor agama juga menentukan. Mayoritas konsumen veggies adalah penganut Buddha, khususnya aliran Mahayana.
Buddhisme merupakan salah satu agama terbesar di Taiwan. Jumlah pemeluknya sekitar delapan juta jiwa–sepertiga dari total penduduk–mayoritasnya berasal dari sekte Mahayana. Dari tafsirnya terhadap ajaran Buddha Gautama, aliran ini melarang membunuh hewan apapun. Dari sudut kepercayaannya terhadap karma, makan daging dianggap tidak baik. Bahkan, pelanggaran pantangan ini dianggap dosa.
Oleh karenanya, Buddhist Mahayana menganjurkan penganutnya menjadi vegetarian. Besarnya kebutuhan akan veggies memaksa Taiwan untuk mengimpornya. Info yang saya dapatkan, pasokan sayur bahkan ada juga yang berasal dari kampung halaman saya–di Batu sana.
Identitas kuliner Taiwan juga menarik untuk dibincangkan. Semula, saya berasumsi kulinernya merupakan refleksi makanan China. Bahkan, ada yang mengatakannya sekedar ‘regional cuisine of China’. Namun, setelah di Taiwan, saya merevisi asumsi ini. Nalar memicu pertanyaan liar. Jika asumsi saya semula benar, mengapa beef noddle soup justru menjadi makanan terpopuler di Taiwan, kok bukan, misalnya, “pork noddle soup”? Meski minum teh merupakan tradisi Asia Timur, tapi mengapa bubble tea yang terkenal itu berasal Taiwan, dan bukan dari Cina daratan?
Untuk mengulas, perlu kajian gastronomi yang lebih luas. Taiwan punya sejarah kuliner yang kompleks. Imigrasi dan kolonialisasi membentuk melting-pot culture negara ini. Dampaknya, antara lain, bisa dilihat pada makanannya yang variatif.
Hijrahnya komunitas Hakka, dari China daratan, membawa kultur makanan pokok, seperti padi, tofu, dan mie. Kedatangan bangsa Barat, seperti Portugis, telah mengenalkan Portugese egg tarts. Penjajahan Jepang juga punya jejak boga, seperti rice ball, sashimi, dan miso soup. Penguasaan singkat Amerika telah mengenalkan beef sebagai alternatif pork. Kopi-pun bukan tanaman asli, tapi didatangkan dari Jawa dan Hawaii.
Lalu, di mana identitas kulinernya? Ternyata, terletak pada inovasi kreatifnya! Pakar setempat berujar: “Taiwan adalah pulau kecil, sehingga mudah menerima dan mentransformasi berbagai budaya dari luar”. Dari sini saya jadi faham, mengapa di Taiwan punya kuliner yang mendunia, seperti beef noddle soup, bubble tea, dan sea-salt cream coffees.
Tapi, inovasi barulah salah satu sisi. Aspek lain adalah jaringan. Sekian culinary supply chains, seperti Taiwan 85C Bakery Café, Mr. Brown Coffee, dan Bubble tea, telah menggurita lintas negara. Dukungan politik juga simpatik. Di masa Presiden Chiang Kai-shek (1950-1975), jamuan makan negara (state banquets) nuansanya dominan China; mulai dari menu, furnitur, sampai dekorasi. Namun, sejak pemerintahan Presiden Chen Shui-bian (2004) jamuan makan kenegaraan telah menyajikan berbagai jenis kuliner yang berasal dari seluruh bagian Taiwan.
Sinergi berbuah prestasi. Di panggung internasional, Taiwan dihormati sebagai salah satu tujuan kuliner terbaik di dunia. Tahun 2015, majalah Conde Nast Traveler mentahbiskan negeri ini sebagai "destinasi kuliner 2015". National Geographic juga memujinya sebagai "salah satu pusat kuliner dunia", dengan reputasinya sebagai “surga makanan”. Di mata saya, Taiwan nampak bak gerai kuliner dunia yang luas, dihiasi puncak-puncak inovasi dan kreativitas. (bersambung)