Taiwan (2): Negeri Etalase Yang Kesepian
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan
Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
--
Istilah “etalase” di sini adalah metafora. Dalam bisnis, posisi etalase selalu di depan. Fungsinya, sebagai tempat display barang yang dijual. Caranya, barang dipajang se-apik mungkin, dengan tujuan mengubah penonton menjadi pembeli. Begitu juga dengan Taiwan. Sejak kemenangan Komunis—yang diketuai Mao ZeDong—pada tahun 1949, Taiwan menjadi basis kaum nasionalis di bawah pimpinan Chiang Kai-shek, setelah sekitar 2000 pendukung setia Kuomintang mundur dari China daratan (mainland China) ke pulau Formosa (Taiwan).
Akibatnya, selat Taiwan menjadi pemisah antara dua pihak yang berlomba menawarkan ‘barang’ yang berbeda. Dengan dukungan Amerika Serikat, Taiwan merupakan frontline state yang menjadi etalase sistem Kapitalis dalam rivalitasnya dengan Republik Rakyat China (RRC) yang Komunis.
Elaborasi di atas, selalu memantik intensi saya untuk komparasi. Alhamdulillah, saya pernah mengunjungi kedua negara tersebut. Tahun 2016, guna presentasi di konferensi internasional saya berkesempatan terbang ke Kunming, Yunnan; dengan stop over semalam di Guang Zhou. Sementara, ke Taiwan malah sudah dua kali.
Tahun 2018, datang untuk merintis kerja sama dengan Sun Yat-sen University. Tahun 2019, berkunjung lagi karena diundang sebagai salah satu pembicara dalam konferensi internasional bertema “The Journey of Asian Coffee”. Namun, semua ini tak serta merta menghentikan rasa kepo saya terhadap kedua negara tersebut.
Oleh karena itu, saat booking ticket kali ini; saya ingin tiba di Taiwan pagi atau siang hari. Tujuannya, sekedar bisa observasi guna memperkaya kontemplasi. Tapi, semua maskapai dengan pesawat berbadan lebar—seperti China airlines, Cathay Pacific, dan Singapore airlines—kedatangannya malam hari. Akhirnya, saya terpaksa memilih Scoot, Low Cost Carrier (LCC) anak perusahan Singapore airlines, yang berangkat malam dengan transit di Changi airport.
Hitung-hitung, sudah lama juga saya tidak transit di Changi, karena lebih sering lewat Kuala Lumpur International Airport (KLIA) atau Suvarnabhumi airport, Bangkok. KLIA jadi pilihan transit, karena memang banyak penerbangan alternatif. Sahabat Malaysia pernah berbisik, ini karena ambisi Malaysia menjadikannya sebagai flight hub di Asia Tenggara, menyaingi Changi Singapura.
Take-off pukul 19.55 dari Terminal 3 bandara Soekarno-Hatta (Soetta), jam 22.55 landing di Changi. Waktu Singapura satu jam lebih awal dari Jakarta. Lebih dari satu dasawarsa tak lewat Changi, kondisi terminal relatif tak berubah. Penumpang ramai, dan pelayanannya tetap profesional.
Tapi, dari segi kondisi bangunan dan asesoris, terminal 3 Soetta terkesan lebih mewah. Dengan catatan, saat itu, terminal 4 Changi belum dibuka kembali karena pandemi. Lewat tengah malam, pesawat take off menuju Taipei, yang ditempuh dalam waktu 5 jam.
Sesaat setelah landing di Taoyuan International Airport (TIA), Taipei; saya agak heran. Pasalnya, sebagai bandara sebuah ibu kota, terminalnya tidaklah begitu besar. Bahkan, tidak lebih besar dari Terminal 1 bandara Juanda, Surabaya. Dari jumlah penumpang yang lalu lalang juga tak begitu ramai. Dari frekuensi penerbangan, ternyata TIA memang kalah jauh dari bandara internasional Hongkong-Kai Tak-yang merupakan flight hub di Asia Timur.
Namun, setelah keluar bandara Taoyuan, kala taksi menapak naik di jalan tol, tersuguh panorama yang mempesona. Di sebelah kiri terlihat Taipei tergolek berselimut tipis kabut pagi. Ibu kota Taiwan yang berpenduduk sekitar 2,6 juta jiwa ini terletak di sebuah lembah, diapit gunung Datun dan Qixing¾gunung tertinggi di negeri ini. Di sebelah kanan, terhampar selat Taiwan. Kincir angin besar penggerak turbin berbaris sepanjang di pantai Barat ini. Taiwan tengah giat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) ala negara-negara Skandinavia di laut Utara, sebagai alternatif pembangkit Tenaga Tenaga Air (PLTA).
Alasannya, semakin tingginya kebutuhan listrik akibat industrialisasi dan menurunnya kapasitas PLTA. Konon, awal tahun ini, minimnya curah hujan memicu kurangnya debet air penggerak turbin PLTA. Akibatnya, listrik sempat mati sehingga ada disrupsi kegiatan industri dan kehidupan sehari-hari di seantero negeri.
Perjalanan darat Taipei-Kaohsiung sejauh 350 km terasa cepat. Dengan laju taksi minimal 100 km/jam, waktu tempuh yang biasanya lima jam bisa dipersingkat empat jam. Padahal, lalu lintas menuju Kaohsiung begitu ramai. Selain dipadati mobil pribadi¾kebanyakan luxury cars¾truk dan trailer kargo juga nampak mendominasi. Maklum, Kaohsiung adalah kota kedua terbesar dan pelabuhan ekspor utama Taiwan.
Tapi, nyamannya, lalu lintas tetap lancar dan bebas macet. Penyebabnya, selain lebar dengan enam jalur; jalan tol juga tak terhambat gerbang tol. Pasalnya, Taiwan adalah negara pertama di dunia yang mengganti sistem tol manual menjadi sistem Electronic Toll Collection (ETC). Toll payment didasarkan pada akumulasi deteksi kamera yang dikoleksi dalam tagihan bulanan. Pembayarannya bisa dilakukan di retail stores, seperti 7-Eleven.
Keberhasilan pembangunan ekonomi Taiwan tak lepas dari kecemasan akan masa depannya. Rasionalisasinya bertumpu pada kalkulasi geopolitiknya. Pertama, posisinya yang selalu terancam oleh RRC dengan kekuatan ekonomi dan militernya yang berkembang pesat. Kedua, keraguan bahwa bantuan ekonomi dan perlindungan keamanan dari Amerika Serikat tak bisa diandalkan selamanya. Salah satu buktinya, tahun 1971 posisinya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB berhasil digusur oleh RRC.
Apalagi, adopsi One China Policy yang disyaratkan RRC bagi negara yang mau menjalin hubungan diplomatik dengannya, juga telah mengucilkan Taiwan. Dampaknya, Taiwan kini ‘kesepian’ dengan hanya memiliki hubungan diplomatik dengan 13 negara dari 193 negara anggota PBB.
Dengan background di atas, keberhasilan ekonomi adalah satu-satunya pilihan Taiwan dalam rivalitasnya dengan RRC. Langkah awalnya, adalah akselerasi transformasi ekonomi. Jika sampai tahun 1960-an Taiwan masih terpaku pada policy ‘substitusi impor bersubsidi’ (subsidized import-substitution), maka sejak tahun 1970-an mulai beralih ke strategi ‘pertumbuhan ekonomi berorientasi ekspor’ (export-led growth).
Di sektor politik-pun dilakukan reformasi. Seiring dengan demokratisasi sejak tahun 1980-an, jaminan terhadap pekerja juga diperbaiki. Dengan jayanya sektor industri, perusahaan diwajibkan berkontribusi dalam pembayaran premi asuransi pekerja dengan rasio proporsi 7:2:1 antara majikan, karyawan dan negara. Untuk jaminan sosial, perusahaan juga diharuskan membayar sedikitnya 6% dari upah karyawannya.
Jalanan yang penuh dengan luxury cars dan dominasi angkutan truk dan trailer kargo di atas mencerminkan kemakmuran ekonomi sekaligus kekuatan industri Taiwan. Dalam tiga dekade terakhir ini, Produk Domestik Bruto (PDB)-nya rata-rata tumbuh 8%. Tiga sektor industri penyumbang terbesar adalah Information and Communications Technology (ICT), layanan keuangan, dan infrastruktur. Tak mengherankan, jika pada tahun 2015 perekonomian Taiwan tercatat menduduki peringkat tertinggi di Asia.
Selain itu, tahun 2020, negeri ini juga dinobatkan sebagai kampiun yang tak tertandingi dalam industri semikonduktor dunia. Alasannya, Taiwan menguasai lebih dari 50% pasar global. Berkat perencanaan dan manajemen ekonomi yang mumpuni, industri pada gilirannya berimbas pada kemakmuran ekonomi. Tingkat inflasi dan pengangguran tetap rendah, sementara cadangan devisanya-pun terbesar keempat di dunia.
Rilis The United Nation’s Sustainable Development Solutions Network tentang The 2022 World Happiness Report Maret lalu, sekali lagi, menunjukkan prestasi Taiwan. Untuk kurun waktu 2019-2021, Taiwan telah ditahbiskan sebagai bangsa paling bahagia (the happiest nation) di Asia Timur, dengan mengalahkan rival terdekatnya, RRC dan Hongkong. Dalam peringkat dunia bangsa yang paling bahagia, dari 146 negara Taiwan bertengger di-ranking ke 26.
Sementara itu, RRC berada jauh di bawahnya, yaitu di urutan ke 72; dan Hongkong malah turun ke urutan ke 81.
Laporan di atas, tak pelak memantik ragam komentar di jagad maya. Dalam Twitter, misalnya, akun @pybaubry bahkan melontarkan komentar yang bernada provokatif: “Sungguh sebuah keajaiban bahwa "Taiwan, [yang di klaim sebagai] provinsi China" mendapat peringkat #26 di World Happiness Report 2022 sementara "China" di peringkat #72 dan "Hong Kong SAR of China" di urutan #81 (!). Atau mungkin karena Taiwan, sesungguhnya, bukanlah "provinsi China"?!. Ungkapan sarkastis ini nampaknya sindiran terhadap Figure 2.1 tentang the ranking of happiness yang ada dalam laporan tersebut, dimana di urutan ke 26 tertulis: “Taiwan Province of China”.
Selain di bidang sosial-ekonomi, Taiwan juga jawara di aspek kebebasan dan demokrasi. Negeri pulau ini juga menempati urutan jauh di atas dibandingkan rival-rivalnya tersebut, baik dalam global Freedom Index, Global Economic Index, World Press Freedom Index, maupun EIU Democracy Index. Oleh karena itu, dalam kaitan The 2022 Happiness Report di atas, tak aneh jika kemudian juga memicu komentar dalam Facebook: “Jika seseorang lebih menghargai kebebasan, mereka akan bahagia, jika seseorang lebih menghargai uang tunai, mereka tidak akan bahagia”.
Sebuah komentar yang menyiratkan pentingnya dimensi nilai dalam meracik kebahagiaan. Yang jelas, dengan semua indikator yang tersaji, Taiwan patut berbangga diri. Pasalnya, sebagai sebuah negeri ‘etalase’, setidaknya sampai saat ini, Taiwan tetap leading dari negara-negara tetangganya. (bersambung)
Advertisement