Taiwan (13): Nada Tanya Spiritualitas
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dalam sebuah konferensi di Taiwan, seorang PhD candidate asal Indonesia melakukan presentasi. Temanya, fenomena fund-raising untuk kepentingan sosial; yang sempat menjamur di Indonesia. Moderatornya seorang profesor ilmu sosial, jebolan universitas di Amerika Serikat (AS).
Kebetulan, ia juga merupakan salah satu dosen dari sang kandidat. Selama presentasi, sang profesor menyimak dengan khusyuk apa yang tersaji. Bagi orang Indonesia, gerakan sosial semacam itu mungkin lazim adanya, tapi baginya itu merupakan fenomena yang luar biasa.
Penasaran akan paparan, sang profesor membawa tema itu ke dalam perkuliahan. Di kelas, ia menceritakan presentasi di konferensi pada mahasiswa lainnya. Bahkan, ia meminta sang kandidat untuk mengulangi elaborasinya. Pertanyaan utamanya: “Mengapa di Indonesia antusias publik begitu tinggi untuk beramal melalui berbagai fund-raising?” Sang kandidat menjelaskan: “Salah satu faktornya karena motivasi agama!”
Sang Profesor tetap tak puas dengan penjelasan ini. Alasannya, merujuk pada kasus di negaranya. Ia berkata: “Di Taiwan juga ada agama, tapi mengapa tidak terjadi gerakan amal serupa seperti yang terjadi di Indonesia?”. Sebuah renungan komparatif yang penuh tanda tanya.
Kronik akademik ini menghardik memori saya akan komparasi yang senada. Tahun 2004, Aceh dilanda tsunami, dengan perkiraan korban 167.000 orang mati. Tahun 2005, Kota New Orleans, Lousiana, AS; dihantam hurricane Katrina. Dampaknya, banjir merendam kota dan merenggut sekitar 1.800 korban jiwa.
“Inilah (bentuk) tsunami kami!” keluh seorang warga kota. Dua tahun kemudian, seorang British social worker memberikan kesaksian tentang perbandingan ketahanan (resilience) masyarakat Aceh dan warga New Orleans; dalam menghadapi bencana.
Dalam sebuah wawancara, sang social worker menyebut masyarakat Aceh mempunyai tingkat daya tahan hidup (survival rate) yang lebih tinggi dibandingkan warga New Orleans. Salah satu indikatornya, sesaat setelah tsunami menghantam Aceh, pertolongan tak bisa segera dilakukan. Kerusakan akut sarana komunikasi dan jalan menghambat penyaluran bantuan. Konon, bantuan darurat paling cepat mencapai korban 24 jam setelah tsunami menghantam. Bahkan, dalam beberapa hari setelah kejadian masyarakat di pedalaman belum terjamah bantuan.
Sedangkan di New Orleans, kondisinya agak mendingan. Sarana komunikasi dan angkutan modern yang tetap fungsional, didukung pengerahan garda nasional; memungkinkan pertolongan dan bantuan segera datang. Sebagian besar warga berhasil dievakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Salah satunya, adalah Caesars superdome yang berada di tengah kota.
Yang menarik, sang social worker mengidentifikasi sikap sosial yang berbeda. Di Aceh, di tengah keterbatasan pertolongan dan bantuan, masyarakat tidak gampang mengeluh. Bahkan, secara umum masyarakat Aceh lebih mandiri dalam mengatasi berbagai dampak bencana.
Sebaliknya, di New Orleans, dengan fasilitas bantuan yang jauh lebih baik; warga justru sering mengeluh. Mereka kurang mandiri dan sangat tergantung pada pemerintah. Warga kota mengkritik Federal Emergency Management Agency (FEMA) atas respons yang dinilainya lamban. Padahal, pertolongan sudah relatif cepat dilakukan dan bantuan meluncur dalam hitungan jam. Bahkan, enam tahun setelah kejadian, masih banyak warga kota yang belum bisa memaafkan FEMA yang mereka anggap lamban dalam responsnya.
Dua kasus perbandingan di atas meninggalkan sebuah puzzle yang rumit. Taiwan dan Indonesia, sama-sama masyarakat beragama, namun perilaku sosialnya berbeda. Sementara Aceh dan New Orleans mengalami bencana serupa, tapi tingkat resilience masyarakatnya tidak sama. Keduanya menunggu penjelasan: Mengapa?
Salah satu eksplanasi, mungkin, terletak pada eksistensi social capital di masing-masing komunitas. Menurut Berger dan Hefner, dalam social capital bercokol spiritual capital sebagai sub-species. Sayangnya, jenis capital terakhir ini secara akademis relatif kurang mendapat atensi dibandingkan dengan elemen modal sosial yang lain. Padahal, argumennya sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles pernah menegaskan bahwa: “Sesuatu tidak mungkin menjadi baik tanpa kehati-hatian (prudence), dan tidak akan ada kehati-hatian tanpa kebajikan moral (moral virtue)”.
Tapi, manusia tidaklah sebatas, kata Adam Smith, sebagai “moral beings” (makhluk bermoral). Manusia juga merupakan sosok “spiritual beings” (makhluk spiritual). Dalam konteks orientasi, moralitas cenderung bersifat inward-looking, sedangkan spiritualitas lebih bersifat outward-looking. Max Weber, misalnya, pernah menelaah peranan spiritual capital dalam ekonomi melalui bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Namun, signifikansi spiritual capital tidak terbatas dalam ranah ekonomi. Malloch (2010), justru melihat spiritual capital dalam dimensi yang lebih luas. Postulatnya, “iman adalah sumber (dari) kehidupan yang memiliki tujuan” (faith is the wellspring of purposeful living). Menurutnya, faith penting dalam kehidupan sosial karena bisa mendorong lahirnya dua kategori kebajikan (virtues). Hard virtues, antara lain, mencakup kepemimpinan, keberanian, kesabaran, ketabahan, ketekunan, dan disiplin. Sedangkan soft virtues, meliputi rasa kasih sayang, kemauan memaafkan, rasa syukur, dan kerendahan hati (humility).
Masalahnya, mengapa spiritual capital secara sosial tidak eksis? Setidaknya ada dua argumen hipotetis yang bisa diajukan. Pertama, masyarakat tidak mau atau tidak mampu mengubah latensi spiritual capital menjadi etos sosial yang termanisfestasi dalam kearifan praktis (practical wisdom). Kedua, etos sosial bisa jadi sempat termanifestasi. Tapi, practical wisdom-nya menghilang perlahan, karena tergerus modernisasi dengan berbagai proses derivatif-nya.
Dalam kasus Taiwan dan Amerika Serikat, argumen yang kedua terkesan lebih dominan. Pasalnya, peran negara semakin luas. Salah satu faktornya, dampak dari welfare state. Sejak akhir 1980-an secara evolutif Taiwan mengadopsi konsep ini.
Sementara AS telah menerapkannya sejak tahun 1930-an di bawah Presiden Franklin Delano Roosevelt. Tujuannya memang mulia, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, bila penetrasi negara menihilkan ruang warga untuk menentukan pilihan reflektif (reflective choice), maka tak pelak akan menggerus otonomi sosialnya. Walhasil, kemampuan dan kreativitas sosial warga semakin tumpul, sehingga ketergantungannya pada negara semakin tinggi.
Jika proposisi hipotetis di atas secara empirik benar, maka kita perlu menajamkan nalar. Modernisasi bukanlah resep baku yang secara total harus diadopsi. Apalagi, negara juga bukan sebuah panacea. Secara sosiologis, masyarakat punya potensi untuk mandiri.
Demi kelestarian hidupnya, mereka bukan hanya lihai meracik elemen social capital, namun juga cerdas dalam merajut budayanya. Oleh karena itu, guna membangun kemandiriannya, perlu membiarkan masyarakat untuk tetap memiliki ranah privat dan otoritatif di dalamnya. Argumennya, kemandirian masyarakat, dengan berbagai bentuk kebajikan yang dimilikinya; merupakan komplemen berharga bagi negara dalam menjalankan fungsinya. Wallahu’alam ... (bersambung).
*Penulis adalah Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
Advertisement