Taiwan (13): Elon Musk dan Kedaulatan Negara
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MOFA research fellow di Wenzao Ursuline University
-------
Hubungan Taiwan dan Republik Rakyat China (RRC) memanas lagi. Tapi, kali ini, bukan dipicu oleh aktor representasi negara, melainkan seorang aktor swasta. Sosok itu adalah Elon Musk, pendiri dan Chief Executive Officer (CEO) Tesla. Orang terkaya di dunia ini, memang dikenal kontroversial dan blak-blak-an dalam berbicara.
Tiga hari sebelum bicara tentang masalah Taiwan dengan RRC, Musk telah membuat kontroversi. Hari Selasa, 4 Oktober 2022, melalui polling platform di Twitter dia menawarkan solusi untuk mengakhiri perang Ukraina. Ia menyarankan referendum yang diawasi PBB di empat wilayah timur Ukraina yang dicaplok Moskow.
"Rusia akan pergi jika memang itu kehendak rakyat", katanya. Itu pun tidak cukup. Musk masih menambah syaratnya. Crimea harus tetap di tangan Moskow, dengan jaminan pasokan air dari Ukraina; plus kenetralan negara ini di kancah politik Eropa.
Tak pelak, usulannya ini memicu pertikaian online dengan Presiden Ukraina. Reaksi paling keras diutarakan Duta Besar Ukraina untuk Jerman, Andriy Melnyk, dengan mengatakan: “Persetan, adalah balasan saya yang sangat diplomatis kepada Anda @elonmusk!”.
Hanya berselang hari, Musk bikin kontroversi lagi. Kali ini, menyangkut ketegangan antara Taiwan dan RRC. Dalam wawancara dengan Financial Times, 7 Oktober 2022, ia menegaskan bahwa konflik atas Taiwan pasti akan terjadi.
Guna menghindarinya ia mengajukan rekomendasi: “saya ... membayangkan ada zona administrasi khusus (special administrative zone) untuk Taiwan yang cukup nyaman (di bawah kekuasaan RRC), (meskipun) mungkin tidak membuat semua orang bahagia. Dan itu mungkin, dan saya pikir mungkin, sebenarnya, mereka (warga Taiwan) bisa mempunyai aturan yang lebih lunak daripada (yang berlaku di) Hong Kong".
Usulan Musk tersebut langsung memicu reaksi publik. Salah satunya: “Bukankah Musk selalu pro-China?”. Pasalnya, rekomendasinya mencerminkan tawaran China. Tak heran, Duta Besar RRC di Washington, Qin Gang, girang: "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada @elonmusk atas seruannya untuk perdamaian di Selat Taiwan dan idenya tentang pembentukan zona administratif khusus untuk Taiwan".
Gang menegaskan kembali: "Sebenarnya, reunifikasi damai dan ‘Satu Negara, Dua Sistem’ adalah prinsip dasar kami untuk menyelesaikan masalah Taiwan ... dan (ini merupakan) pendekatan terbaik untuk mewujudkan reunifikasi nasional".
Tak cukup itu saja. Qin Gang lebih lanjut juga melakukan penawaran. Ia menyebutkan: "Dengan syarat kedaulatan China (atas Taiwan diakui), keamanan, dan kepentingan pembangunan (akan) dijamin, setelah reunifikasi (dan) Taiwan akan menikmati otonomi tingkat tinggi sebagai wilayah administrasi khusus, dan ruang yang luas untuk pembangunan”.
Tapi, tawaran tersebut bertepuk sebelah tangan. Elon Musk-pun juga nampak tak peka. Bahkan, ia mungkin tak peduli dengan perkembangan terkini. Taiwan jelas tetap ingin mandiri dengan segala konsekuensi.
Jajak pendapat tahun 2020 menunjukkan sekitar 50% rakyatnya mendukung kemerdekaan formal, meskipun di bawah ancaman serangan dari China. Bahkan, dari jajak pendapat tahun lalu 75% warga siap melawan invasi China.
Tak heran, jika usulan Musk mendapat reaksi keras di Taiwan. Kritik bergaung bak orkestra, mulai dari massa sampai petinggi negara. Akun Twitter @FangYu_80168, misalnya, berkata: “Tidak, terima kasih, Tuan Musk. Taiwan adalah negara demokrasi penuh dan negara berdaulat, bukan zona admin (special administrative zone). Dunia juga harus memahami bahwa China tidak akan menerima proposal apapun bahwa Taiwan bukan bagian darinya. Bahkan, China sendiri tidak bisa menepati janjinya terhadap Hong Kong. (Jadi) membuat kesepakatan dengan China selalu merupakan ilusi”. Maklum, kasus Hong Kong jadi perhatian warga. Di kampus, saya mendapati gerakan solidaritas mahasiswa terhadap demokrasi di Hong Kong yang mengalami represi.
Kritik juga muncul dari kalangan elite politik. Bahkan, politisi dua partai utama yang biasanya berseberangan, sekarang punya pendapat senada. Legislator Democratic Progressive Party (DPP) yang berkuasa, Wang Ting-yu, menolak dengan nada tanya: “Mengapa mereka (Musk dan RRC) harus dengan santai mengabaikan kebebasan demokratis, kedaulatan, dan cara hidup 23 juta orang Taiwan? ... Taiwan tentu saja tidak akan mengizinkannya”.
Sementara, ketua kaukus Partai Kuomintang (KMT) yang beroposisi, William Tseng, menegaskan bahwa saran Musk itu tidak aplikatif; seraya menambahkan bahwa Taiwan adalah negara yang berdaulat dan mandiri, dan partainya akan melindungi kedaulatan, demokrasi, dan kebebasan yang dimilkinya.
Ungkapan elegan muncul dari Hsiao Bi-Kim, Duta Besar de facto Taiwan di Washington. Seakan menjawab tawaran Duta besar RRC untuk Amerika Serikat, dengan tegas ia menyatakan: “Taiwan (memang) menjual banyak produk, tetapi kebebasan dan demokrasi kita tidak untuk dijual”; sembari menimpali bahwa: "setiap proposal abadi untuk masa depan kita harus ditentukan secara damai, bebas dari paksaan, dan menghormati keinginan demokratis rakyat Taiwan".
Bagaimana menjelaskan rekomendasi Elon Musk tentang Taiwan? Akan naif, jika kita memandangnya hanya akibat dari sifatnya yang blak-blakan dan senang kontroversi. Apalagi, jika kita sekedar melihatnya sebagai iseng demi sensasi. Diduga kuat, pernyataannya berhubungan dengan kepentingannya.
Ia nampak sangat sadar bahwa keputusan bisnis erat kaitannya dengan pertimbangan geopolitik dan jaminan keamanan. Apalagi, pabrik Tesla di Shanghai-China memasok 30-50% dari total produksi globalnya. Kalkulasinya, invasi China akan menghantam 30% ekonomi dunia. Artinya, perang Taiwan-RRC akan berdampak besar pada Tesla.
Masalahnya, kepentingan Multi-National Corporation (MNC) ala Tesla senantiasa berpotensi mengganggu kedaulatan negara. Persis mencerminkan proposisi liberalisme, bahwa globalisasi ekonomi cenderung menggerus otonomi negara.
Padahal, MNC sejatinya adalah perusahaan nasional yang beroperasi global. Melalui organisasi, dengan didukung teknologi, uang, dan ideologi; dia selalu berupaya untuk mengelola dunia dalam satu kesatuan yang terintegrasi.
Sejak awal, Barnet and Müller melalui bukunya Global Reach (1974) sudah memperingatkan: “Korporasi global adalah organisasi manusia paling kuat yang dirancang untuk menjajah masa depan!”.
Memang, dalam era globalisasi, peranan MNC dalam ekonomi nasional tak bisa dipungkiri. Namun, sebagai antisipasi, proposisi merkantilisme penting untuk diresapi; bahwa negara tetap, dan harus selalu, mengendalikan korporasi global.
Argumennya, negara secara normatif mewakili kepentingan publik, sedangkan korporasi global lebih mewakili kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, semangat berdikari senantiasa perlu tetap digaungkan, karena semangat ini selalu mengingatkan kita akan pentingnya dekolonisasi masa depan. (bersambung)